Rubrik Opini – Koran Solidaritas Edisi III, September 2015
Oleh: Mugiyanto
Palaksan Senior untuk HAM dan Demokrasi INFID
Korban Penculikan 1997-1998
Barisan Pengingat
Perempuan-perempuan itu telah sangat renta. Tetapi semangat mereka tak pernah pudar. Sejak bulan April 1977, setiap hari Kamis, mereka berdiri atau berjalan memutari Casa Rosada atau Istana Pink, di Plaza de Mayo. Istana di Buenos Aires itu kini dihuni oleh Cristina Fernandez Kirchner, Presiden Argentina yang kebijakannya dinilai sangat ramah dengan hak asasi manusia. Walau telah ada perubahan yang sangat menonjol terkait hak asasi manusia, para perempuan Las Madres de Plaza de Mayo ini masih terus melakukan “Aksi Kamisan”, walau dengan tuntutan yang berbeda. Bila dihitung secara matematika, mereka telah melakukan demonstrasi sebanyak 2.280 kali (38 tahun).
Di Jakarta, di depan Istana Negara yang jaraknya 15.225 km dari Buenos Aires, setiap hari Kamis sore seratusan orang berpakaian serba hitam, dengan payung yang bertuliskan tuntutan-tuntutan keadilan, juga tengah melakukan aksi, Mereka berharap Presiden Jokowi sudi menemui atau mendengarkan suara mereka, atau setidaknya bersedia meluangkan waktu barang 10 menit membaca surat yang selalu mereka sampaikan melalui Paspampres saat aksi. Pada hari Kamis tanggal 3 September 2015, aksi diam yang diinisiasi oleh para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM ini telah mencapai 410 kali (dimulai 18 Januari 2007).
Pertanyaan kritis yang sering muncul dari aksi-aksi yang dipelopori keluarga korban pelanggaran HAM (khususnya perempuan) di Plaza de Mayo, Argentina dan di Istana Negara, Jakarta antara lain adalah “untuk apa mereka melakukan itu? Bukankan lebih baik melupakan persoalan masa lalu, supaya bisa move on, dan melanjutkan hidup?”
Ketia dicanangkan pada tahun 1977, para perempuan di Plaza de Mayo menggelar “Aksi Kamisan” untuk menuntut pemerintahan saat itu (Pemerintahan Junta Militer 1977 – 1983) mengembalikan anak-anak mereka yang diculik, disekap, disiksa lalu dihilangkan oleh agen-agen rahasia.
Hal yang sama terjadi di Jakarta. Salah satu inisiator Aksi Kamisan Maria Catarina Sumarsih, Ibunda Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan yang merupakan korban peristiwa semanggi I tahun 1998, mengatakan, “Aksi Kamisan ini dimaksudkan untuk memgingatkan pemerintah dan masyarakat bahwa ada berbagai kasus pelanggaran HAM yang harus dituntaskan secara adil”. Bagi Ibu Sumarsih, aksi pengingat ini sangat penting, “Bahkan ketika yang melakukan Aksi Kamisan tinggal saya sendiri, saya akan tetap melakukannya, selama fisik saya mampu. Negara dan masyarakat tidak boleh lupa atas apa yang telah terjadi pada masa lalu, pada anak saya dan korban-korban yang lain”.
Mengenai Aksi Kamisan dan kegiatan-kegiatan advokasi yang lain, almarhumah Tuti Koto, Ibunda Yani Afri, korban penghilangan paksa tahun 1997 berkali-kai menegaskan, “Kita harus tahu dan ingat bahwa Rian (panggilan kesayangan untuk Yani Afri) pernah ada, dan ia telah menjadi korban akibat tindakan negara. Negara tidak boleh lupa dan harus bertanggung jawab, supaya tidak ada Rian-Rian lain di kemudian hari”.
Ibu Tuti Koto kini telah tiada, walaupun belum mendapatkan kabar kejelasan tentang nasib Yani Afri anak kesayangannya. Mami, panggilan akrab almarhuman Tuti Koto telah dengan sangat baik mengajarkan kita tentang arti penting mengingat, seperti yang pernah dikatakan oleh Edmund Burke, seorang Negarawan Irlandia bahwa “Mereka yang tidak mengetahui sejarahnya, akan dikutuk untuk mengulanginya”.
Bukan Melupakan, Tetapi Mengingkari
Wacana yang selalu berkembang pada masa pemerintahan paska kediktatoran terkait pelanggaran HAM masa lalu sebenarnya bukan pada persoalan apakah kita hendak melupakan atau mengingatnya. Tetapi lebih pada apakah kita mau menjadikannya sebagai pelajaran atau tidak. Masa lalu adalah masa lalu. Ia telah terjadi dan tidak bisa kita anggap tidak pernah ada. Yang memungkinkan untuk bisa kita lakukan atas masa lalu adalah “berusaha untuk melupakannya”, tetapi tidak bisa benar-benar melupakannya. Dan yang besar kemungkinannya untuk dilakukan atas masa lalu adalah dengan mengingkarinya.
Akan tetapi, mengingkari adanya pelanggaran HAM di masa lalu memiliki konsekuensi untuk menolak belajar darinya, sehingga pelanggaran-pelanggaran tersebut akan selalu kita ulangi. Kalau kita mempelajari kronik pelanggaran HAM di Indonesia sejak Orde Baru berkuasa, kita akan mendapatkan contoh otentik, bagaimana pelanggaran HAM it uterus kita ulang dan kita reproduksi.
Pengingkaran atas adanya pemenjaraan, penyiksaan, perampasan, penghilangan paksa dan pembunuhan di luar prosedur hukum terhadap golongan Sukarnois dan mereka yang dianggap komunis pada tahun 1965-1967 telah menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM serupa, dalam skala yang berbeda, di Aceh, Papua, Peristiwa Mei 1998, pembunuhan aktivis buruh Marsinah (1993), pembunuhan wartawan Udin (1996), pembunuhan Munir (2004) dan sebagainya.
Jadi kalau sekarang sering kita dengar saran “bijak” bahwa kita harus “move on” dan “melupakan masa lalu”, maka kita seperti sedang memerintahkan seorang nahkoda kapal untuk segera berlayar, tanpa melepas ikatan tambatan kapal. “Move on” yang diartikan bergerak maju, yang dalam konteks negara transisi paska kediktatoran dimaksudkan sebagai “transisi menuju demokrasi yang menghargai hak asasi manusia”, maka syarat utamanya adalah menyelesaikan (dealing with) masa lalu, bukan dengan menghindari, apalagi mengingkarinya. Pemerintahan Presiden Jokowi bahkan menggunakan terminologi yang sangat elegan di dalam Nawacita, “penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu”.