Indonesia berduka dengan kepergian Buya Syafii Maarif. Semasa hidupnya, Buya Syafii mewariskan nilai-nilai penting untuk kemajuan bangsa yang harus tetap dirawat dan dilanjutkan.
Demikian inti sari perbincangan sejumlah tokoh dalam “Mengenang Warisan Buya Syafii Maarif” yang digelar DPP Partai Solidaritas Indonesia, Senin 30 Mei 2022.
“Kalau saya kerucutkan pada hal yang paling substansial itu, keinginan beliau untuk berjuang menjadikan nilai keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan itu dalam satu helaan nafas. Anda bisa menjadi muslim otentik, 100 persen muslim, kemudian bisa menjadi 100 persen orang Indonesia dan bisa menjadi orang yang memperjuangkan kemanusiaan,” kata Sekretaris Dewan Pembina PSI, Raja Juli Antoni.
Toni menyebut keakraban dirinya dengan Buya Syafii terbangun sejak tahun 2000. Kala itu, Toni terpilih menjadi Ketua Umum Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Buya Syafii sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Keakraban Toni dan Buya Syafii semakin kuat lantaran banyak tugas dan pekerjaan organisatoris yang mengharuskan keduanya bertemu.
Puluhan tahun mengenal dan akrab dengan Buya Syafii, Toni memandang Buya Syafii sebagai sosok intelektual muslim yang mampu menghadirkan corak Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Oleh karenanya, tak heran jika Buya Syafii kerap lantang mengkritik kelompok-kelompok Islam yang memperalat agama untuk meraih kekuasaan.
“Karena itu Buya sangat ‘rewel’ kepada kelompok-kelompok Islam yang menurut beliau menjauhkan Islam dari Al-Quran, termasuk di dalamnya upaya-upaya memolitisasi agama dan memperalat agama dalam proses-proses politik,” imbuh Toni.
Selain itu, di persyarikatan Muhammadiyah, Toni mengenang Buya Syafii sebagai senior yang mendorong kader-kader juniornya untuk mengabdi lebih luas kepada bangsa dan masyarakat.
“Ada jargon di Muhammadiyah, kader Muhammadiyah itu harus jadi kader persyarikatan, kader umat dan kader bangsa. Oleh Buya Syafii Maarif itu diubah, kaya Buya yang paling penting itu harus jadi kader bangsa, kemudian kader umat, baru kader Muhammadiyah,” ucap Direktur Eksekutif Maarif Institute periode 2005 – 2009 itu.
Toni pun mengatakan, PSI dilahirkan karena terinspirasi pemikiran moderat dan berkemajuan Buya Syafii Maarif.
“Nilai yang kita perjuangkan di PSI persis seperti apa yang selalu kita perbincangkan di Maarif Institute dan sekarang jadi DNA PSI. Maarif Institute berjuang untuk melawan intoleransi dan korupsi,” tambahnya.
Diskusi yang dimoderatori Direktur Eksekutif DPP PSI, Andy Budiman, turut mengundang Rohaniawan Katolik, Romo Franz Magnis-Suseno.
Romo asal Jerman itu mengaku kagum dengan Buya Syafii, yang menurutnya potret positif tokoh muslim.
“Dia sosok muslim yang tidak hanya saya kagumi, tapi banyak membuka mata. Kalau kita mau mengerti orang dari agama lain, kita harus melihat kepada mereka yang paling positif. Kalau saya ingin tahu orang Islam itu bagaimana, ya saya melihat Buya Syafii. Dia orang yang positif, kritis, dan terbuka,” ujar Romo Magnis.
Hal lain yang membuat Romo Magnis mengagumi mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu adalah kejernihan Buya Syafii melihat hubungan Islam dan Pancasila yang kompatibel sehingga tidak relevan untuk dipertentangkan.
Senada dengan Toni, Romo Magnis menggarisbawahi sosok Buya Syafii sebagai tokoh muslim yang keras menolak politisasi agama.
“Buya mencerminkan sesuatu yang amat penting. Ia bisa dua hal sekaligus, sebagai intelektual dan cendekiawan ia sangat kritis, tetapi ia selalu positif, kritis untuk tidak merusak, tetapi untuk membantu dan memperbaiki. Ia juga kritis menolak kezaliman dalam pakaian agama atau pakaian kebaikan yang kita sebut kemunafikan,” tambah Romo Magnis.
Untuk isu pemberantasan korupsi, menurut Romo Magnis, sikap Buya Syafii sangat jelas, yaitu menolak pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi UU KPK pada 2019 lalu.
Sementara narasumber lain, Hamid Basyaib, berujar bahwa banyak keteladanan yang bisa diambil dari Buya Syafii, terutama tentang kesederhanaan sebagai jalan hidup. Meski sebagai tokoh muslim penting dan dekat dengan kekuasaan, Buya Syafii tak silau dengan uang, harta dan jabatan.
“Dia seperti tokoh dongeng, karena kejujurannya yang tanpa ampun dan sikapnya yang sama sekali tidak silau pada harta dan jabatan, padahal andainya dia begitu (hidup mewah) orang bisa maklum,” kata penulis kenamaan yang juga dekat dengan Buya Syafii itu.
Dari pengalaman panjang bersama Buya Syafii, Hamid Basyaib mengatakan, Buya Syafii tidak hanya kritis dengan kebijakan negara, tapi juga terhadap Muhammadiyah sendiri.
Ini memperlihatkan keteguhan sikap Buya Syafii dalam menyampaikan kebenaran dan membela kepentingan orang banyak.
“Buya Syafii tidak membabi buta terhadap Muhammadiyah, tetap kritis dengan Muhammadiyah. Dia sering mengkritisi itu, apalagi dalam omongan pribadi, tentang elite Muhammadiyah yang begini-begitu, kegiatan-kegiatan organisasi Muhammadiyah yang kurang efektif, dan sebagainya,” lanjut dia.
Turut memadatkan perbincangan, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Siti Ruhaini Dzuhayatin, membagi kisah mengharukan soal rencana pemakaman Buya Syafii di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata yang urung dilakukan karena permintaan Buya Syafii sendiri.
Menurutnya, kendati Buya Syafii berhak dimakamkan di TMP, namun almarhum lebih memilih Pemakaman Husnul Khotimah milik Muhammadiyah di Kulon Progo sebagai tempat peristirahatan terakhir.
“Di dalam keyakinan dan juga keotentisitasan Buya, Buya sendiri merasa bahwa beliau tidak cukup otentik kalau misalnya beliau harus terlepas dari falsafah hidup yang memang beliau yakini, yaitu bahwa sebetulnya kehidupan Buya adalah kehidupan untuk mengabdi, kehidupan yang dekat dengan masyarakat,” pungkas Ruhaini, mantan mahasiswi Buya Syafii.