Rubrik Opini – Koran Solidaritas Edisi VI, Desember 2015
Oleh Abd Rohim Ghazali*
Kepo adalah singkatan dari knowing every particalar object yang diterjemahkan secara bebas menjadi “mau tahu aja”. Kepo dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) tak sekadar ingin mengetahui seluk beluk Pilkada, tapi juga mengontrol semua proses yang terjadi dalam Pilkada.
Pilkada merupakan pertaruhan jalannya demokrasi di wilayah/daerah tempat Pilkada berlangsung khususnya, dan di Indonesia pada umumnya. Demokrasi yang baik di suatu wilayah/daerah, salah satunya harus dibangun dengan proses Pilkada yang baik pula.
Secara formal, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah yang diisi orang-orang terpilih. Pengawasannya dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang juga diisi orang-orang terpilih. Tapi, keterlibatan orang-orang terpilih ini belum bisa menjamin Pilkada akan berjalan dengan baik dan fair karena Pilkada senantiasa diikuti orang-orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang belum tentu baik untuk semua orang.
Bagi kandidat, mengikuti Pilkada adalah pertaruhan politik yang mahal. Sejak awal proses pencalonan sudah banyak mengeluarkan biaya. Untuk meningkatkan pengenalan publik terhadap dirinya (popularitas) melalui berbagai kegiatan “amal” dan lain-lain; dan untuk meningkatkan kemungkinan keterpilihannya (elektabilitas), sudah pasti membutuhkan biaya yang mahal.
Pada saat harus maju melalui partai politik, ia juga dituntut membayar “mahar” yang tidak sedikit. Begitu pun jika harus melalui jalur perseorangan, proses pengumpulan dukungan dengan foto copy KTP yang terverifikasi sesuai jumlah yang ditentukan, membutuhkan biaya yang mahal. Jika dijumlahkan seluruhnya, untuk sampai tahap menjadi kandidat yang resmi, biayanya sampai puluhan miliar.
Setelah itu, masih dituntut mengeluarkan biaya yang mungkin akan jauh lebih banyak karena harus mengikuti kampanye. Bagi kandidat petahana, biaya kampanye akan terbantu dengan modus-modus penggunaan anggaran daerah dengan cara misalnya, pembangunan infrastruktur digalakkan dan pengeluaran dana bantuan sosial (bansos) dibengkakkan pada masa kampanye.
Tapi, investasi politik yang sangat mahal itu akan terbuang sia-sia pada saat di ujung kompetisi KPU mengumumkan ia kalah dalam Pilkada. Oleh karena itulah para kandidat kepala daerah yang mengikuti Pilkada biasanya akan menempuh berbagai cara untuk memenangkan pemilihan, dari cara-cara yang baik dan benar hingga cara-cara yang tidak baik dan diharamkan.
Setiap investasi, apa pun bentuknya, menuntut pengembalian keuntungan yang lebih besar di masa mendatang. Dari sinilah mata rantai kejahatan korupsi terbangun, karena ada tuntutan untuk mengembalikan investasi dan upaya untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari investasi itu. Yang terjadi kemudian tak hanya korupsi yang akan dilakukan, tapi juga pengabaian aspirasi rakyat yang seharusnya direalisasikan oleh setiap pejabat publik.
Maka, jika seorang kandidat berhasil memenangkan Pilkada, dalil Lord Acton, power tends to corrupt, menemukan lahan aktualisasinya yang sempurna. Hanya kandidat kepala daerah yang istimewa yang bisa terhindar dari besarnya biaya investasi, dan hanya kepala daerah yang luar biasa yang bisa terhindar dari mata rantai korupsi. Karenanya jangan heran jika sampai Desember tahun lalu saja sudah ada 343 kepala daerah yang terjerat masalah hukum baik di kejaksaan maupun di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Inilah alasan mengapa seluruh komponen masyarakat seyogianya berperan serta dalam mengontrol Pilkada. Menyerahkan Pilkada hanya kepada KPU dan Panwaslu bukan tindakan yang bijak. Sumber daya manusia yang dimiliki KPU dan Panwaslu sangat terbatas, begitu pun anggaran yang mereka terima dari pemerintah. Keterlibatan masyarakat dalam mengontrol jalannya Pilkada menjadi keniscayaan untuk meminimalisasi berbagai modus pelanggaran yang kemungkinan bisa terjadi.
Banyak cara mengontrol Pilkada, gerakan kepoin Pilkada yang dipelopori Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie, dan sejumlah akademisi dan aktivis lembaga swadaya masyarakat, bisa menjadi salah satu model dalam mengontrol Pilkada yang efektif jika dilakukan secara masif dan sistematis. Masif artinya dengan melibatkan orang sebanyak-banyaknya di wilayah/daerah seluas-luasnya, dan sistematis artinya dengan perencanaan yang baik dan matang, serta dilakukan dengan pola-pola gerakan yang efektif.
Mengontrol Pilkada secara efektif sama artinya dengan berupaya memutus mata rantai korupsi yang melilit pemerintah daerah. Kalau tidak memutus, setidaknya bisa meminimalkan peluangnya.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina, Peneliti Senior The Indonesian Institute; dan Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah