Rubrik Kebudayaan – Koran Solidaritas Edisi I, Juli 2015
Oleh: E.S Ito (Novelis dan Penulis Film)
Pada awal dekade 80-an, pemerintah Orde Baru giat mencanangkan doktrin “mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga”. Daoed Jusuf, kala itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, memberikan sedikit koreksi dengan mengatakan “mestinya olahraga dimasyarakatkan dulu tentang arti dan fungsinya, baru setelah masyarakat sadar mengenai hal itu baru mereka bisa berolahraga”. Terasa rumit bagaimana pemerintah saat itu merumuskan olahraga bila dibandingkan dengan masa sekarang yang minus pemikiran hanya bergulat dengan persoalan bonus dan uang pembinaan. Tetapi sejarah membuktikan, sepanjang era itu hingga jatuhnya rezim Suharto kita merajai olahraga di Asia Tenggara, berbicara di tingkat Asia dan cabang bulu tangkis langganan prestasi dunia. Perlu diingat pula prestasi olahraga di zaman orde lama, dari sepak terjang tim nasional sepakbola kita di olimpiade Sidney 1956 hingga menjadi peringkat dua Asian Games Jakarta 1962. Prestasi-prestasi itu sekarang tertutup debu-debu pelatnas kilat demi prestasi sesaat yang tidak juga didapat.
Tentu saja kita bertanya-tanya, dimanakah posisi olahraga dalam peri kehidupan berbangsa dan bernegara? Adakah korelasi positif antara olahraga dengan demokrasi, pertumbuhan ekonomi atau aspek-aspek kebudayaan lainnya? Kenapa justru ketika angin demokrasi bertiup kencang justru olahraga kita tumbang. Atau kenapa pula ketika begitu banyak insentif untuk atlet, prestasi mereka malah melempem. Dan adakah yang bisa menjelaskan ketika semua orang latah menerjemahkan nasionalisme dalam sumbu kebebasan, olahraga kita malah tampak seperti layangan putus. Jangan-jangan olahraga itu seperti militer, lebih membutuhkan komando dibandingkan suara berisik. Beragam komando tertinggi (Koti) di zaman Sukarno atau Kopkamtip di era Suharto terbukti membuat olahraga kita berbicara di tingkat kawasan dan dunia. Rezim serba komando dengan informasi satu arah cenderung melahirkan satu gagasan tunggal tentang nasionalisme. Lewat panji tunggal itu merah putih berkibar di setiap panggung olahraga. Lantas, apabila demikian, jangan-jangan alam reformasi ini tidak memberi tempat untuk olahraga?
Kita perlu mendudukan kembali olahraga pada tempat yang semestinya. Memang sulit untuk mengaitkan olahraga dengan demokrasi misalnya. Tiongkok yang menganut sistem partai tunggal sekarang ini bersaing ketat merajai olimpiade dengan Amerika. Korea Utara yang serba minus di mata dunia, terbukti beberapa kali lolos dalam putaran final piala dunia. Dalam beberapa kasus, prestasi olahraga sama sekali tidak terkait dengan isu-isu demokrasi, pertumbuhan ekonomi, kebebasan dan lain sebagainya. Olahraga memiliki posisi yang unik di setiap negara. Ketimbang isu-isu di atas, olahraga lebih mencerminkan gagasan sebuah bangsa. Tidak peduli apakah gagasan itu murni milik masyarakat atau manipulasi rezim. Gagasan itu berkembang menjadi aspirasi budaya yang membuat satu negara berusaha mendapatkan tempat istimewa di antara negara-negara lain di dunia ini. Dan prestasi adalah puncak dari aspirasi budaya tersebut.
Bila kita berkaca pada prestasi olahraga Indonesia saat ini, tentu kita layak bertanya adakah kita memiliki gagasan yang sama tentang Indonesia. Jangan-jangan atas nama kebebasan kita benar-benar sudah salah kaprah sehingga gagasan pun tidak bisa disamakan. Jangankan mengejar prestasi, sekedar mencari bentuk saja olahraga kita tidak mampu. Bila sudah begini, rasa-rasanya masalah olahraga kita bukan terletak pada para atlet tetapi justru pada kita masyarakat Indonesia. Dan pernyataan Daoed Jusuf di atas, layak untuk diajukan sebagai pertanyaan pada masa sekarang ini.