Kementerian Perdagangan diharapkan lebih berhati-hati dan peka terhadap petani ketika mewacanakan impor beras. Terlebih dalam situasi panen raya. Hal ini disampaikan Anggota DPRD Provinsi Banten dan Wakil Ketua DPW PSI Banten, Maretta Dian Arthanti, dalam diskusi online yang digelar DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bertajuk “Impor Beras: Laporan dari Berbagai Daerah”.
“Harapan saya, pemerintah lebih peka, tahu kondisi di lapangan, tahu data-data daerah, kemudian mengambil kebijakan yang strategis di pusat itu benar-benar berdasarkan dari kondisi aktual di daerah,” kata Maretta, Selasa 23 Maret 2021.
Diskusi yang dimoderatori Koordinator Juru Bicara DPP PSI, Kokok Dirgantoro itu, secara khusus ingin mendengar suara petani dan para pengurus PSI di sejumlah daerah, terkait wacana impor 1 juta ton beras.
Lebih jauh, Maretta mencontohkan, sejauh ini stok beras di Banten masih aman, bahkan cenderung surplus. Namun dari aspirasi para petani di 7 Kabupaten/Kota (Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Tangerang, Kota Cilegon, dan Kota Serang) penghasil beras terbesar di Banten, wacana impor beras tersebut dengan cepat membuat harga gabah kering panen (GKP) turun.
Kondisi itu, tentu saja, menyulitkan petani di Banten yang pada bulan Maret ini melakukan panen raya.
“Informasi yang saya dapatkan, masih ada surplus dari panen bulan Maret. Memang April akan ada sedikit penurunan, karena di beberapa tempat ada yang terserang hama. Bagi beberapa daerah lainnya yang aman, penurunan harga gabah sangat terasa, harga gabah biasa di kisaran Rp 3 ribuan, kualitas bagus masih bisa Rp 4 ribu,” papar dia.
“Dari neraca ketersediaan dan kebutuhan sampai tahun 2021, masih ada surplus beras di Banten,” imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, petani sekaligus pendamping kelompok tani asal Grobogan, Jawa Tengah, Eko Mrapen berpendapat, wacana impor beras saat sebagian besar daerah di Indonesia tengah melakukan panen raya itu, justru menambah pelik kesulitan petani.
Pasalnya, menurut Eko, ketika wacana itu berembus, tengkulak dan kartel gabah di wilayah Grobogan memainkan harga gabah petani untuk keuntungan pribadi.
Kendati demikian, bukan berarti dirinya anti-impor beras. Menurut Eko, pemerintah harus memperhatikan betul momen dan waktu panen raya.
“Yang ditakutkan petani itu bukan hanya gagal panen, tapi tiba-tiba pemerintah punya rencana impor beras. Impor beras boleh-boleh saja, sifatnya situasional, tapi ketika impor itu direncanakan pas bareng panen raya itu musibah buat kita. Jangankan beras sudah datang, baru sebatas isu saja sudah dimanfaatkan kartel-kartel,” jelas Eko.
Di samping wacana impor beras yang tak tepat momen, Eko juga mengeluhkan masalah klasik yang dihadapi para petani, yang sampai hari ini belum terselesaikan oleh pemerintah pusat, yaitu ketersediaan dan distribusi pupuk subsidi.
“Pupuk subsidi mulai langka, kalau pun ketemu pupuk subsidi harganya sudah 2 kali lipat. Kalau pupuk subsidi itu ada, jadwal pupuk itu sudah lewat, makanya tahun ini tahun yang luar biasa buat petani,” sesalnya.
Sementara Seno Trigona, petani asal Sukoharjo, Jawa Tengah, juga berkeluh dengan penurunan harga gabah kering panen yang cukup drastis. Harga GKP di wilayahnya anjlok dari Rp 4.200 / Kg menjadi hanya Rp 3.500 / Kg.
“Panen awal kita masih dapat harga (gabah kering panen) di Rp 4.200 / Kg, sebelum ada isu (impor beras). Nah kemarin, di wilayah Weru ini harga sudah turun jadi Rp 3.500 / Kg,” ucap dia.
Sepakat dengan Eko Mrapen, menurut Seno, selain tidak tepat momen dan waktu, Menteri Perdagangan seharusnya juga memberikan penjelasan dan penghitungan detail stok beras nasional, sehingga opsi impor beras itu diwacanakan.
“Sangat berat isu itu datangnya di musim seperti ini, panen raya yang bersamaan dengan musim hujan. Sawah tadah hujan panen, sawah kering juga tetap panen, ini yang sangat berat bagi kami. Kami bisa menerima kalau isu ini muncul pada saat kemarau. Pada saat pasca-tanam ini, masih bisa panen sekali. Setelah itu, silakan wacanakan impor untuk lumbung berikutnya, yang tidak bisa tercukupi dari panen raya ini,” tambah Seno.
Lalu, ada Wakil Ketua DPD PSI Bojonegoro, Ridwan Habibi, yang turut menyampaikan aspirasi. Habibi menilai, problem lain di kalangan petani Bojonegoro adalah soal regenerasi. Hampir semua petani di sana adalah generasi tua yang sulit berinovasi.
Akibatnya, ongkos produksi melambung tinggi, diperparah dengan sederet permasalahan lain, seperti musibah banjir dan kelangkaan pupuk subsidi.
“Petani di Bojonegoro ini generasi tua, gak ada yang generasi muda, orang-orang tua semua. Karena mereka adalah orang-orang tua, tenaganya minim, sehingga biaya untuk tanam padi semakin mahal, dibarengi dengan pupuk yang langka, ada juga daerah-daerah yang kebanjiran,” papar Habibi.
Selain pandangan di atas, Ketua DPW PSI Sulawesi Tenggara, Kasra J. Munara, justru menyorot peran dan posisi Bulog dalam tata kelola stok beras nasional.
Berangkat dari aspirasi petani di Kabupaten Kolaka, Kolaka Timur, Konawe Selatan dan Bombana, Kasra menemukan fakta bahwa petani enggan menjual gabah ke Bulog karena Bulog tidak bisa menawarkan harga kompetitif.
Dampaknya, harga gabah dikendalikan penuh oleh tengkulak. Dia pun menyayangkan kemampuan Bulog yang hanya sanggup menguasai 3 – 9 persen stok beras nasional.
“Harga gabah dikuasai tengkulak, (peran) Bulog sangat kecil dan itu memang terjadi. Saya sempat menanyakan kenapa Bulog tidak bisa menyerap hasil panen petani? Alasannya, menurut petani, Bulog membeli di harga lebih rendah daripada tengkulak, ini aneh,” ungkapnya.
Ketua DPD PSI Kabupaten Bengkayang, Sumi Lia, yang turun menjumpai petani menangkap kegelisahan yang sama. Petani di Bengkayang, Kalimantan Barat, pun tak kalah terkejutnya mendengar wacana impor beras pemerintah itu.
Menurutnya, wacana impor beras langsung menekan harga padi dan beras di pasaran, dan itu semakin menyulitkan kesejahteraan para petani Bengkayang.
“Petani di Bengkayang merasa sangat keberatan dengan rencana impor beras, karena panen raya dimulai sejak bulan Februari – April. Kalau pemerintah impor, petani akan kecewa sekali, harga padi atau beras pasti akan turun,” papar Sumi Lia.
Pertanyaan serupa juga dilontarkan Kepala Divisi DPD PSI Tangerang Selatan yang sedang bertugas di Karawang, Lerru Yustira. Dia mempertanyakan alasan pemerintah melempar wacana impor beras, padahal banyak daerah sedang panen raya dan mencatatkan surplus beras.
Lerru menyebutkan Karawang, sebagai daerah yang selalu surplus dan mengirim beras ke daerah-daerah sekitar, termasuk ke Jakarta. Dari data yang dia himpun, Karawang punya 97 ribu hektar dan menghasilkan 1,3 juta ton gabah kering panen (GKP) per tahun, itu setara dengan 800 ribu ton beras per tahun.
Kebutuhan bagi 2,37 juta warga Karawang per tahun mencapai 300 ribu ton, yang berarti surplus 500 ribu ton beras.
“Para petani dan penggilingan padi pastinya waswas. Wacana impor beras di tengah panen raya ini sangat menyedihkan bagi kawan-kawan petani, belum lagi permasalahan pupuk,” pungkasnya.
Pekan lalu, PSI mempertanyakan dan dengan tegas menolak rencana Kementerian Perdagangan yang akan mengimpor 1 juta beras. Melalui Koordinator Juru Bicara PSI, Kokok Dirgantoro, PSI menilai kebijakan itu tidak tepat untuk dilakukan sekarang.
Menurut Kokok, stok beras nasional masih terbilang aman karena ditopang dua kali panen raya (April – Mei dan Oktober – November). Jika dipaksakan, kesejahteraan petani justru makin tertekan.
“PSI akan mengerahkan semua struktur yang dimiliki di wilayah untuk mengecek harga gabah. Beberapa jaringan petani yang kami kontak memberikan informasi harga gabah cenderung rendah,” kata Kokok.
Sikap PSI itu juga disuarakan di dunia maya. Tagar “#PSITolakImporBeras” bahkan jadi trending topic di jagat Twitter pada Sabtu 20 Maret 2021.