Rubrik Opini – Koran Solidaritas Edisi II, Agustus 2015
Oleh: Fajar Riza Ul Haq (Direktur Eksekutif MAARIF Institute)
Dalam diskusi “Obama dan Pluralisme” yang dimoderatori penulis pada pertengahan Maret 2010 di Jakarta, cendekiawan Muslim Azyumardi Azra optimis bahwa terpilihnya Barack Obama sebagai presiden pertama Amerika dari kalangan Afro-Amerika sejak merdeka tahun 1776 akan berdampak besar pada diskursus pluralisme di dunia. Ada semacam konvensi tidak tertulis di negara Paman Sam itu, presiden harus berasal dari warga kulit putih, beragama Protestan, dan keturunan Inggris. Terpilihnya sosok Obama telah meruntuhkan mitos yang sudah membatu itu. Yang menarik, Guru Besar Sejarah Universitas Islam Negeri Jakarta ini percaya bahwa suatu keniscayaan nanti Presiden Indonesia terpilih dari kalangan minoritas (Tribunnews, 27/3/2010).
Gejalanya dapat dicermati dari bermunculannya para kepala daerah yang memiliki latar belakang etnis dan agama yang berbeda dengan mayoritas pemilih di wilayahnya. Fenomena kepemimpinan gubernur di Kalimantan Tengah (Teras Nanang), Kalimantan Barat (Cornelis), dan DKI Jakarta (Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama) merupakan fakta-fakta yang menegaskan bahwa pluralisme sosiologis Indonesia sedang mengalami transformasi ke ranah politik-kenegaraan. Pluralisme tidak sebatas menghormati perbedaan yang melekat pada kelompok-kelompok warga bangsa yang beragam namun juga sudah mencapai level pengakuan (recognition) atas identitas dan hak-hak politiknya.
Pluralisme sendiri merupakan salah satu modal penting budaya kewargaan. Menurut Gabriel Almond dan Sidney Verba: masyarakat yang memiliki modal budaya yang mendukung nilai-nilai kewargaan cenderung bisa berdemokrasi dengan baik. Diantara nilai-nilai tersebut adalah saling percaya, rasa bangga menjadi warga negara, mampu mengemukakan pendapat secara bebas, berpartisipasi dalam pemilihan, toleran terhadap kelompok berbeda, dan bekerjasama, dan terlibat aktif dalam organisasi politik (Assyaukanie, 2013: 21). Keberterimaan masyarakat terhadap fenomena kepala daerah dari kalangan minoritas seperti disebutkan di atas memperlihatkan adanya modal budaya yang memungkinkan nilai-nilai kewargaan dapat tumbuh kuat.
Pada kenyataannya, jaminan konstitusi itu berdampak problematik jika dihadapkan dengan konsep kepemimpinan politik dalam arus utama pemikiran Islam, mengingat mayoritas populasi negeri ini adalah Muslim. Pandangan kepemimpinan politik Islam masih sangat dipengaruhi oleh rumusan teori Muslim klasik seperti al-Mawardi, al-Juwaini, dan ibn Khaldun. Mereka bertiga memasukan keyakinan sebagai syarat mutlak memilih seorang pemimpin. Syarat lain diantaranya memiliki pengetahuan yang luas, bersikap adil, mampu melaksanakan tugas sebagai kepala negara, sehat dan memiliki panca indra lengkap, serta keturunan Arab-Quraisy. Masalah lainnya adalah pakem tidak tertulis selama ini bahwa Presiden Indonesia harus seorang Muslim dan berdarah Jawa.
Asas non-diskriminasi dan hak asasi manusia telah menjadi nilai-nilai konstitusi. Inilah kredo bernegara kita. Namun pada prakteknya, preferensi primordial/sektarian dalam proses politik masih menjadi ganjalan bahkan seringkali dijadikan kuda troya sebagai konsekwensi logis dari demokrasi prosedural. Kita masih ingat bagaimana pasangan Jokowi-Ahok dibombardir isu-isu sektarian pada pilkada Gubernur DKI 2012. Kasus serupa menimpa Jokowi-JK pada pilpres lalu. Beruntung publik masih berpihak pada akal sehat. Namun mentalitas kumuh yang mengeksploitasi isu-isu agama demi kepentingan politik harus diamputasi karena menciderai peran profetik agama dan menggerus ikatan solidaritas kebangsaan.
Akhir Pebruari lalu, sejumlah ulama dan intelektual Muhammadiyah berkumpul di Jakarta membahas isu kepemimpinan non-Muslim. Perlu ada pandangan yang lebih memadai guna menjawab tantangan realitas kepemimpinan politik yang tidak monolitik dalam kerangka negara-bangsa Pancasila. Pertemuan itu melahirkan rumusan krusial: memilih pemimpin non-Muslim diperbolehkan.
Rumusan ini mengacu pada pendapat ulama terkemuka abad ke-13 ibn Taimiyah dan tokoh pembaharu Islam abad ke-20 Muhammad Abduh. Ibn Taimiyah menegaskan prilaku adil merupakan syarat terpenting memilih pemimpin ketimbang soal keyakinan. Ayat-ayat al Quran yang secara eksplisit melarang memilih pemimpin non-Muslim merupakan larangan yang bersifat kondisional, yaitu manakala pihak non-Muslim melakukan penistaan dan bertindak dholim terhadap umat Islam (Wahid, Fikih Kebinekaan, 2015: 325). Sikap sama dikemukakan Ketua MUI Amidhan. Jika memang ada calon non-Muslim yang telah teruji keadilannya maka boleh memilihnya kecuali ada calon Muslim yang sama-sama dinilai adil (Beritasatu, 7/8/2012).
Menjadi jelas, tidak ada larangan memilih pemimpin politik yang berbeda agama sepanjang yang terbukti bertindak adil dan berani melindungi hak-hak kelompok minoritas dan marjinal. Ini prinsip universal. Langkah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mempraktekkan prinsip kesetaraan politik di tingkat kelembagaan partainya patut diapresiasi. Sebuah eksperimentasi politik berani yang mencerminkan distingsi karakter politiknya kelak. Dengan begitu, mungkin kita tidak harus menunggu terlalu lama untuk bisa mengikuti capaian Amerika dalam kematangan berdemokrasi. Inilah salah satu sisi dari puncak liberasi atas pengakuan kita terhadap kebinekaan Indonesia.