Oleh: Dr. Dea Tunggaesti, SH, MM (Plt. Sekjen Partai Solidaritas Indonesia)
Setelah lima pemilihan umum berjalan demokratis, saatnya kita bicara tentang bagaimana cara memperkuat demokrasi dan melahirkan stabilitas kebijakan dan politik jangka panjang.
Inilah saat paling tepat memulai percakapan mengenai kehidupan bernegara kita ke depan, melampaui perdebatan mengenai masa jabatan presiden apakah dua atau tiga periode. Ini saatnya memikirkan ulang sistem presidensial yang kita terapkan sambil mencoba mempelajari kembali sistem parlementer itu.
Presidensialisme vs Parlementer
Ada sejumlah alasan kenapa sistem parlementer patut kita pelajari kembali. Pertama, sistem ini relatif bisa melawan ancaman gelombang populisme politik. Sistem presidensial membuka peluang terpilihnya kandidat dengan ideologi ekstrem ke puncak kekuasaan. Membuka ruang lebih luas kepada para demagog untuk membajak demokrasi dengan menunggangi gelombang sentimen ras atau agama agar terpilih menjadi presiden.
Sistem parlementer relatif mampu menjaga politik di arus mainstream –karena elemen-elemen ekstrem akan difilter ulang dalam proses rekrutmen internal partai mau pun melalui proses politik parlemen.
Alasan kedua, sistem presidensial lebih rentan konflik. Pengalaman dunia memperlihatkan, pemilihan dua kandidat presiden yang berlangsung sengit melahirkan masyarakat yang terbelah. Menciptakan ketegangan terus menerus dan berpotensi menciptakan konflik terbuka. Kalau kita ingin kehidupan masyarakat kembali normal –agar ketegangan politik tidak termanifes dalam bentuk konflik jalanan, maka alternatifnya adalah mengembalikan politik ke ruang-ruang perdebatan di gedung parlemen.
Alasan ketiga adalah mengupayakan agar politik tidak terlalu banyak menyebabkan guncangan ekonomi karena kebijakan yang berganti-ganti setiap lima tahun. Beberapa penelitian memperlihatkan, sistem parlementer –dibanding presidensial– lebih mampu menciptakan stabilitas kebijakan jangka panjang.
Studi memperlihatkan sistem presidensial memiliki sejumlah masalah. Pertama soal adanya persaingan legitimasi antara presiden dengan parlemen, karena keduanya merasa dipilih secara langsung oleh rakyat. Jika terjadi perbedaan pendapat atau konflik tajam diantara keduanya, maka pemerintahan terancam mengalami kebuntuan. Kelemahan lainnya, jika presiden terpilih mempunyai kecenderungan otoriter, ia akan terus menerus mencari cara memperluas kekuasan dan menjadikan dirinya diktator. Sistem presidensial juga tidak menyediakan fleksibilitas karena presiden terpilih meski pun kinerjanya buruk, tidak bisa diganti di tengah jalan –kecuali melanggar konstitusi– hingga masa jabatannya berakhir.
Dalam konteks Indonesia, situasi menjadi semakin rumit karena kita menerapkan presidensialisme dengan multipartai. Akibatnya sulit menciptakan kemiripan mayoritas, karena presiden terpilih bisa berasal dari partai yang tidak memenangkan pemilu atau tidak memiliki kursi mayoritas di parlemen.
Skenario politik yang biasanya terjadi adalah kawin paksa antar partai yang berseberangan, baik secara ideologi atau kebijakan, demi melahirkan koalisi mayoritas di parlemen. Semakin besar koalisi semakin butuh biaya politik besar karena semakin banyak hal dikompromikan, dan pada gilirannya menciptakan situasi rentan korupsi.
Setelah terpilih, sepanjang masa jabatannya, presiden harus terus menerus bernegosiasi dengan berbagai kekuatan di parlemen, agar kebijakannya mendapat persetujuan. Akibatnya, pemerintahan terancam tidak bisa berjalan efektif.
Suka atau tidak suka, parlemen dan partai politik adalah elemen utama demokrasi. Demokrasi yang sehat harus dimulai dari partai politik. Kita tidak bisa terus menerus mengeluh pada keadaan, ini saatnya memaksa partai politik berubah.
Demokrasi menyediakan kesempatan kepada warga untuk menghukum partai yang tidak amanah dengan cara tidak memilihnya kembali –bahkan setiap warga punya hak untuk berkampanye mengajak orang agar tidak memilih partai bersangkutan pada pemilu berikutnya. Inilah kekuatan utama demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat. Pergunakanlah kekuatan dalam bentuk suara itu untuk memaksa mengubah partai-partai politik. Hukum partai yang tidak bekerja dengan baik, pilih partai yang bisa lebih memberi harapan bagi perbaikan.
Sistem parlementer akan memaksa partai politik untuk berubah. Mendorong demokratisasi internal. Memaksa partai mencari calon anggota parlemen dengan kualitas terbaik agar bisa mengalahkan calon partai lain. Kompetisi yang meningkat akan memperbaiki kualitas parlemen. Hubungan antara pemilih dengan anggota parlemen terpilih juga akan semakin dekat, yang ujungnya akan memaksa anggota parlemen terus menerus mendengar suara konstituen jika ingin kembali terpilih pada pemilu berikutnya.
Melihat Kembali Kegagalan Politik era `50an
Kita memang pernah gagal ketika melaksanakan sistem demokrasi parlementer pada era 1950-an. Tapi mari kita lihat dengan pikiran yang jernih tentang hal-hal yang melatari kegagalan itu. Masalah terbesar adalah, kita melaksanakan sebuah sistem pada saat berbagai syarat dasar bagi terlaksananya sebuah demokrasi belum tersedia.
Pada masa awal pembentukan republik, partai politik dengan beragam warna ideologi yang saling antagonistis bersaing ketat memperebutkan dominasi di ruang politik. Situasi ini menyebabkan pertentangan tajam di antara partai politik di parlemen. Pada sisi lain, presiden Soekarno sendiri memiliki konsepsi berbeda tentang kepresidenan dengan idenya mengenai Demokrasi Terpimpin.
Dalam konteks politik hari ini pertentangan tidak setajam pada masa lalu, karena semua kekuatan politik relatif telah menerima prinsip dasar bernegara yakni Pancasila, sehingga perdebatan di dalam parlemen tidak akan setajam dan menyangkut hal-hal yang sangat prinsipil sebagaimana politik era 50an.
Penyebab lainnya adalah kondisi sosio ekonomi pada masa pelaksanaan demokrasi parlementer sangat lemah. Studi memperlihatkan, semakin baik kondisi sosial ekonomi masyarakat –akan semakin bisa membuat demokrasi bertahan lebih lama. Saat ini, kondisi sosio ekonomi kita jauh lebih baik, demikian pula kondisi keamanan yang stabil.
Lima pemilu terakhir yang kita jalankan, adalah pemilu yang demokratis. Inilah momentum baik untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dalam memperbaiki demokrasi kita. Hari ini, kita sudah memiliki berbagai syarat dasar bagi keberlanjutan demokrasi. Ini saatnya berdiskusi tentang hal-hal yang lebih fundamental, tentang kehidupan bernegara di masa yang akan datang.