Oleh: Jeffrie Geovanie
Semakin dekat waktunya dengan pemilihan umum (Pemilu) akan semakin banyak bermunculan isu-isu politik di ranah publik, baik yang positif maupun negatif. Membangun kesadaran kritis yang konstruktif menjadi keniscayaan untuk membangun peradaban.
Kalau kita cermati, isu yang muncul pada saat menjelang Pemilu 2014 lalu, direproduksi dengan sedikit modifikasi, dan disebarluaskan kembali dengan tujuan untuk mempengaruhi opini publik, yang paling menonjol misalnya soal antek asing (terutama China), kriminalisasi ulama, dan kebangkitan komunisme.
Mengapa isu-isu bernuansa ideologis ini dimunculkan, diduga kuat karena adanya kompetitor petahana yang mengalami krisis kepercayaan. Kepercayaan diri seorang kandidat muncul pada saat memiliki visi dan misi yang jelas dan dengan itu ia mampu meyakinkan masyarakat. Absennya visi dan misi akan menjadikan kandidat kehilangan kepercayaan, dan untuk tetap eksis di arena kandidasi, cara yang ditempuh adalah dengan menyebarkan isu-isu negatif yang bertujuan untuk mendiskreditkan sang petahana.
Yang membuat kita prihatin, masih banyak kalangan yang termakan isu-isu negatif disebabkan karena kurang piknik (baca: minimnya wawasan dan pergaulan), atau mungkin karena memiliki kepentingan yang sama dengan sang penyebar isu, lantas serta merta ikut serta menyebarluaskan isu tersebut tanpa klarifikasi dan sensor.
Padahal, semakin banyak isu negatif disebarluaskan, akan semakin sulit bagi kita untuk menanggulangi daya rusaknya. Isu negatif bagaikan wabah gizi buruk yang menghambat kesehatan masyarakat.
Daya rusak isu negatif di tengah-tengah masyarakat seperti api membakar jerami di musin panas, cepat meluas dan sulit dikendalikan. Kalau pun bisa dikendalikan atau dimatikan apinya, akan tetap meninggalkan residu yang tidak bisa dihilangkan, entah berupa jelaga atau pencemaran udara dan lingkungan sekitarnya.
Janganlah hanya demi meraih kekuasaan politik sesaat, kita korbankan peradaban. Cara-cara berpolitik yang sehat hilang di tengah-tengah upaya membangun sistem yang demokratis, adil, dan beradab.
Dalam menghadapi fenomena seperti ini, yang perlu kita lakukan adalah membangun kesadaran kritis masyarakat melalui beragam cara, misalnya melalui pendidikan literasi secara massal. Literasi tidak hanya membaca dan menulis, tapi juga cara berpikir dan bersikap yang didasarkan pada sumber-sumber informasi yang benar dan akurat.
Di era sekarang, sumber-sumber informasi makin beragam, selain cetak juga visual, digital, dan auditori yang semuanya harus dicerna secara kritis, disandingkan satu sama lain sehingga kita bisa dengan mudah mengetahui mana lebih partut dipercaya dan dicerna sebagai sumber informasi yang sehat dan konstruktif.
Banyak komponen pendidikan literasi yang perlu dikembangkan, selain literasi informasi, yang juga penting adalah literasi budaya. Keragaman budaya yang menjadi keunggulan bangsa kita harus dijaga dengan cara menumbuhkan kesadaran hidup bersama yang harus terus-menerus diperkokoh melalui pendidikan literasi budaya.
Pendidikan literasi bisa dimulai dari lingkungan keluarga, lembaga-lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, dan lain-lain, juga bisa dilakukan dengan memanfaatkan ruang publik dengan menuliskan pesan-pesan yang konstruktif.
Seluruh komponen masyarakat, terutama kekuatan civil society harus bergerak bersama-sama melalakukan upaya yang konstruktif untuk meningkatkan kesadaran literasi publik.
Cara lain adalah dengan membudayakan “saling nasihat-menasihati dalam kebenaran” (tawashau bilhaq). Setiap menemukan siapa pun di antara teman/saudara/handaitolan yang menyebarkan isu negatif kita ingatkan untuk menariknya kembali dengan memaparkan dampak-dampak negatifnya jika terus dilakukan.
Residu yang ditinggalkan isu negatif akan merusak cara berpikir dan bertindak generasi baru yang belum memahami dunia politik secara komprehensif. Politik dianggap sebagai dunia yang terbiasa dengan isu negatif, dan pada giliran berikutnya akan menumbuhkan apatisme. Demokratisasi yang terus menerus kita bangun akan mengalami erosi kepercayaan di mata masyarakat, terutama kaum mudanya.
Residu negatif yang sudah berkembang hanya bisa diminimalisasi dengan membalik arah, yakni menyebar berita positif sebanyak-banyaknya. Kebalikan dari isu negatif, penyebaran berita positif akan menumbuhkan optimisme dan semangat bekerja untuk kebaikan bersama.
Membangun kesadaran kritis menjadi tuntutan yang niscaya jika kita menginginkan terbangunnya sistem demokrasi yang sehat dan konstruktif bagi masa depan peradaban politik kita. Karena itu, kesadaran kritis yang dibangun tidak sekadar kritis pada setiap fenomena yang ada di sekitar kita. Kesadaran kritis yang kita butuhkan adalah yang konstruktif bagi peradaban politik kita kini dan mendatang.
Jeffrie Geovanie
http://jeffriegeovanie.com
Anggota MPR RI 2014-2019