Penulis: Asta Purbagustia*
Siang itu, ponsel saya berbunyi dan ternyata ada pesan dari mas Jauhari Mahardika. Ada apa gerangan editor kece Voxpop itu mengirim pesan kepada bocah ingusan seperti saya? Pertama kali, saya menduga bahwa pesan tersebut adalah jawaban dari artikel yang tempo hari saya kirim. Ternyata bukan. Ia hanya mengajak berbincang.
Tapi ini bukan perbincangan soal rencana pembentukan tim sukses untuk masKokok Dirgantoro yang konon bakal nyapres pada 2019. Juga bukan obrolan tentang wacana pembentukan komunitas penggemar Awkarin dan Anya Geraldine se-Jabodetabek. Kami bincang-bincang santai soal PSI.
Ada apa dengan PSI? PSI atau Partai Sosialis Indonesia adalah sebuah partai yang dibentuk pada 1948 oleh Sutan Sjahrir. Partai Sosialis Indonesia tentunya berhaluan kiri. Tapi PSI yang kami maksud bukan itu. Kami sadar betul membicarakan sesuatu yang berbau ‘kiri’ sama bahayanya dengan berenang di kolam penuh buaya. Selain alergi toleransi, negeri ini juga alergi terhadap semua yang berbau ‘kiri’.
Yang kami perbincangkan adalah PSI yang lain dan kebetulan tidak ‘belok kiri’. PSI alias Partai Solidaritas Indonesia. PSI ini bisa dibilang fenomena baru di dunia politik Tanah Air. Sebuah partai dimana para petingginya adalah anak muda. Sesuatu yang tak lazim di partai manapun di negeri ini, bukan?
PSI baru saja dinyatakan lolos seleksi badan hukum yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Keputusan ini adalah jawaban yang ditunggu cukup lama sejak PSI mulai mengumbar diri ke publik. Berjualan ideologi segar dan berjiwa muda, termasuk kepada para pecandu gadget dan pengerat gaya hidup hedonis.
Untuk lolos verifikasi Kementerian Hukum dan HAM tidaklah mudah. PSI bahkan harus menyiapkan 43 kontainer berisi berkas sebagai syarat menjadi partai politik. Setelah semua itu, PSI kini telah berbadan hukum dan siap ikut berpesta pada Pemilu 2019.
Selain ideologinya, PSI memiliki senjata lain yang mampu menyedot perhatian publik. Dia adalah Grace Natalie. Sosoknya tidak asing lagi, jika anda pernah memiliki sebuah kotak ajaib bernama televisi. Sepertinya Surya Paloh yang menganggap PSI bukan ancaman pada Pesta Demokrasi 2019 harus segera menarik ucapannya.
Grace sudah sejak lama menghiasi layar kaca. Ia adalah pembawa berita di beberapa stasiun televisi swasta ternama. Setelah lama berkecimpung di dunia jurnalis televisi, akhirnya ia memutuskan untuk menyeburkan diri ke dunia politik. Grace Natalie kemudian mendirikan PSI pada 2014.
Melalui PSI, perempuan berusia 34 tahun ini ingin menegaskan bahwa apa yang cetar diucapkan oleh Soekarno tentang pemuda itu benar. Jangan pernah menganggap pemuda itu selalu buta terhadap politik dan tidak mampu berpolitik.
Para pemuda bukan lagi sebagai objek politik ‘orang tua’. Pemuda yang berpolitik adalah mimpi buruk bagi sistem politik yang selama ini menganaktirikan anak muda. Bukan suatu yang mustahil ‘darah muda’ menggerakkan roda politik bangsa ini. Lagipula, bukankah peran anak muda sangat besar dalam memerdekakan bangsa? Memandang anak muda sebelah mata adalah ahistoris.
Keberadaan Grace sebagai ketua umum juga seolah ingin menyatakan bahwa sudah seharusnya perempuan juga bisa bicara lebih banyak di kancah politik Indonesia. Selama ini, iklim politik kita tidak begitu ramah dengan keberadaan perempuan. Selain Grace, di balik PSI juga banyak diisi tokoh perempuan lain. Sebut saja IsyanaSarasvati Bagoes Oka dan Nova Riri. Apa ini juga sinyal bahwa PSI mengusung ideologi feminisme?
Yang pasti, PSI sudah siap menyambut Pemilu 2019. Saya membayangkan bagaimana nantinya PSI dengan gejolak kawula mudanya berkampanye? Jika partai klasik biasanya berkampanye tak jauh-jauh dari pentas musik dangdut, PSI mungkin saja menggelar pentas musik yang lebih gaul sesuai ideologinya. Bukan menghadirkan biduan-biduan dangdut, melainkan pesohor dari generasi masa kini: Young Lex dan Awkarin.
Kalau kelahiran PSI menjadi perayaan bagi generasi muda, tapi tidak bagi generasi tua khususnya bagi mereka yang masih setia menggemari karya-karya Rhoma Irama. Kontras dengan PSI, para penggemar Bang Haji tentunya sangat kecewa, karena partai buatan sang idola harus kandas setelah gagal dalam verifikasi Kementerian Hukum dan HAM. Bersama Partai Rakyat, Partai Rakyat Berdaulat, dan Partai Kerja Rakyat Indonesia, Partai Islam Damai Aman tidak lolos menjadi partai politik.
Partai Islam Damai Aman alias Partai Idaman adalah partai yang didirikan oleh ‘Raja Dangdut’ Rhoma Irama pada 2015. Saya yakin kegagalan ini banyak yang kecewa, karena sosok Rhoma Irama adalah sosok yang inspiratif.
Tengok saja karya-karya yang sudah belio hasilkan selama ini. Banyak lagu yang terselip pesan positif untuk rakyat Indonesia. Siapa tokoh besar di Indonesia yang peduli dengan orang yang begadang lebih dari Rhoma Irama? Lagu-lagunya bukan sekadar hiburan, melainkan dakwah bagi umat. Sungguh disayangkan belio tidak bisa ikut Pemilu 2019.
Kharisma yang terpancarkan dari sosok Rhoma Irama membuat terbentuknya basis dukungan yang sangat besar. Coba sebutkan kapan setiap kali Rhoma Irama pentas pernah sepi penonton? Akan selalu hadir banyak orang yang meneriakkan namanya sembari teriak air, air dan air.
Jumlah penggemarnya yang membludak seharusnya menjadi pertanda bahwa Rhoma adalah sosok yang dicintai – tak hanya oleh Ani – tapi seluruh rakyat Indonesia dan bisa berpotensi menjadikan Rhoma Irama sebagai kandidat kuat calon presiden republik ini. Jika Rhoma menjadi presiden, maka rekor SBY sebagai presiden yang pernah menelurkan album akan segera terpecahkan.
Secara pribadi yang saya sayangkan dari kegagalan Partai Idaman adalah gagalnya Kementerian Hukum dan HAM melihat pesan yang coba disampaikan oleh Rhoma Irama melalui logo partainya. Simbol hati yang diperagakan oleh Rhoma Irama adalah wujud cinta untuk rakyat Indonesia.
Pimpinan grup band Soneta ini ingin menyampaikan bahwa sosok pemimpin itu harus lebih sering menebar cinta ketimbang resah. Setiap kali ada rakyat yang kesulitan, belio akan segera memperagakan simbol hati dengan tangannya seperti gaya selebrasi gol Gareth Bale. Mendadak hati rakyat akan teduh dipenuhi cinta.
Kini ‘Sang Satria Bergitar’ mungkin memandang sinis kepada Grace Natalie dan PSI. Melihat bagaimana darah muda akan ikut berpesta pada pemilu nanti mengingatkan Rhoma Irama tentang lagu berjudul ‘Darah Muda’.
Mungkin gagal lolosnya Partai Idaman ada hubungannya dengan nama partai. Sebab, idaman itu terlalu ideal. Karena idaman tak akan pernah menjadi kenyataan. Mungkin mengganti nama partai bisa jadi solusi. PSI, misalnya.
Oh bukan, bukan bikin PSI tandingan atau masuk ke PSI-nya Grace Natalie. PSI di sini adalah Partai Soneta Indonesia. Jika sudah ganti nama tapi masih gagal juga, sungguh terlalu…
*. Asta Purbagustia adalah seorang penulis di voxpop.id