Opini Koran Solidaritas Edisi 11, 2017
Belakangan ini kita sering menyaksikan bagaimana kebiasaan sosial anak-anak muda lewat sosial media begitu nyata. Kita pun melihat terjadinya perubahan. Banyak gerakan sosial berupa aksi-aksi lokal menonjol di kalangan anak muda. Kebiasaan kolektif mereka tersusun dari kebiasaan-kebiasaan individu mengelompok meski seperti tak beraturan. Generasi terkini menggunakan internet dan media sosial untuk gerakan–gerakan itu.
Beberapa contoh terlihat dari aksi-aksi penggalangan bantuan ala anak muda yang digerakkan lewat gadget, seperti donasi untuk orang-orang yang membutuhkan karena faktor ekonomi atau keterbatasan mental dan fisik. Bukan hanya bantuan semacam sedekah rombongan, gerakan membangun kesadaran publik juga muncul beriringan, seperti ada komunitas “Daripada Ngemis”, gerakan ini mengajak netizen yang banyak bergerak di sosial media Instagram untuk membeli produk/jasa dari siapa pun yang tertangkap kamera dan di upload. Banyak sekali aksi sosial semacam itu, ada pula komunitas mengajar dan traveling yang aktif lewat akun @1000_guru. Inilah gejala sosial baru di Indonesia, gerakan kolektif kaum muda yang bersifat lokal tapi ada di mana-mana.
Gerakan sosial kekinian, layak disematkan pada aktivitas generasi milenial ini. Gerakan sosial itu bisa saja menjelma jadi beragam bentuk, termasuk dalam kehidupan politik. Sudah nampak terlihat oleh kita saat seorang anak muda di Hongkong mampu memimpin sebuah aksi dengan simpati yang besar. Tak mustahil, gerakan sosial anak muda milienal Indonesia akan muncul menyeruak, cepat, lebih masif dan mengagetkan banyak pihak. Dapat dikatakan demikian karena faktor pendukungnya sudah tersedia seperti jaringan internet dan sosial media sangat cepat menjangkau kemana saja, gerakan yang menyulut emosi dan simpati kemanusiaan akan cepat menyebar menjadi viral.
Jika anak muda Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan mempunyai isu soal kemerdekaan sebuah bangsa, lalu pada masa sebelum tumbangnya orde baru mempunyai isu besar perubahan atas tirani Soeharto. Maka saat ini kesadaran generasi milenial sesungguhnya sadar jika ada kondisi yang tidak nyaman. Ketidaknyaman generasi pada fakta adanya korupsi, ketimpangan, intoleransi, hingga masalah ekonomi, menjadi nyata dalam beragam ekspresi.
Kalau ada yang bilang anak muda sekarang tidak sama daya kritisnya dengan anak muda zaman dulu, bisa dipastikan yang bilang begitu adalah orang yang kurang gaul dalam dunia kekinian, dunia para generasi milenial.
Anak muda saat ini lebih baik gizinya, bro! Lebih kritis, lebih canggih, bahkan bisa bertindak di luar kebiasaan. Lihat saja ketika ada kasus merusak kamera pewarta TV, berbondong-bondong kritik muncul, bahkan lebih dari sekedar kritik. Namun, pada kasus intoleransi, apakah semua teriak? Pada kasus korupsi besar semacam E-KTP kok diam?
Kini semua mudah diakses, kejadian-kejadian penting di negeri ini cepat didapat, generasi muda sekarang nyaris tanpa sekat soal informasi. Orang-orang di Jakarta belum tentu lebih duluan mengakses berita soal operasi tangkap tangan oleh KPK. Sekarang, persoalan informasi hanya soal siapa yang duluan mencari tahu. Nah, generasi milenial bukan diam tanpa makna, mereka sesungguhnya tahu atas yang sedang terjadi, mereka diam bisa jadi jengah dengan situasi seperti itu.
Kita dapat melihat denyut protes-protes kecil kalangan muda Indonesia, hal itu sesungguhnya protes besar mereka pada sistem dan kondisi yang sedang berjalan. Kesadaran kolektif sesungguhnya akan berproses dan menemukan bentuknya dikalangan anak muda Indonesia. Namun, jika tidak ada yang mempersatukan mustahil menjelma menjadi perjuangan kebajikan yang manis buahnya.
Menjadi pertanyaan sekarang, gerakan apa yang akan muncul dari kaum muda Indonesia? Apakah PSI mampu menjadi penghubung atau bahkan katalisator sehingga gerakan generasi milenial Indonesia menjadi lebih progresif. Ayo, mau bagaimana gerakan generasi milenial Indonesia?
Oleh Rano Rahman
Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Wilayah PSI Kalimantan Tengah