Rubrik Kebudayaan – Koran Solidaritas Edisi II, Agustus 2015
Oleh: E.S Ito (Novelis dan Penulis Film)
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing/Diktat-diktat hanya boleh memberi metode/tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan/Kita mesti keluar ke jalan raya/keluar ke desa-desa/mencatat sendiri semua gejala/dan menghayati persoalan yang nyata. (W.S. Rendra : Sajak Sebatang Lisong)
Sajak Deklamatif Rendra di atas terasa menjadi kontemplasi panjang pada saat ini. Ketika gelombang informasi melebihi kecepatan peristiwa melanda setiap belahan dunia, kita bertanya-tanya masih adakah ruang untuk kebudayaan nasional. Bukankah setiap gejala yang terjadi saat ini, turut mengikut pusaran global yang ditentukan oleh negara-negara produsen teknologi dan informasi. Sementara kita, tidak hanya membeli rumus dan diktat tetapi juga contekan jawaban dalam bentuk barang-barang konsumsi.
Kebudayaan kita saat ini lebih terlihat sebagai sekresi konsumsi. Lahir dari cara menggunakan barang-barang produksi lalu tumbuh menjadi perploncoan ekonomi. Nilai seorang manusia tidak ditentukan oleh kemampuannya menciptakan nilai tambah di tengah-tengah masyarakat tetapi dinilai dengan kemampuan konsumsinya. Dalam kondisi seperti ini, inovasi dan kreatifitas seringkali tidak mendapat tempat yang semestinya. Kebudayaan kemudian mengalami penyempitan makna jadi sekedar masalah-masalah tren, pertunjukan seni dan hal-hal lain yang tampak sangat ketinggalan di tengah dunia yang semakin menyatu ini. Kesimpulan itu terlihat wajar, sebab bila cara hidup kita ditentukan oleh barang yang kita konsumsi, apa bedanya kita dengan hewan pemamah biak? Gagal merumuskan keadaan sebab mulut senantiasa ingin mengunyah.
Sejarah telah mengajarkan pada kita, kebudayaan senantiasa lahir dari proses mencipta. Saat kita ingin menciptakan sebuah negara merdeka, revolusi dengan segala pernak-perniknya menjadi budaya nasional. Ketika bangsa ini lepas landas, pembangunan berikut lika-liku doktrinisasi dan represi membudaya selama 32 tahun. Lalu kita menginginkan demokratisasi, muncullah reformasi. Kebudayaan belum sempat dirumuskan gelombang teknologi informasi tetiba menyeragamkan cara pandang kita. Hingga kita sampai lupa dengan keinginan sendiri. Lalu orang-orang mulai mengeluh tentang nasionalisme dicekik oleh konsumerisme. Tentang generasi sekarang yang lebih ingin menjadi warga global ketimbang jadi bangsa sendiri. Sementara persoalan nyata soal kemampuan mencipta luput dari kajian budaya.
Kebudayaan tumbuh dari gagasan, berkembang dengan kerja dan kemudian dimekarkan oleh inovasi. Bila kita ingin kembali merumuskan kebudayaan nasional maka kita harus memunculkan lagi gagasan-gagasan bangsa ini, mengisinya dengan kerja kolektif sekaligus mendorong munculnya inovasi-inovasi baru dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang terjadi. Jargon-jargon revolusi (dan atau bahkan represi) mungkin bukan milik generasi sekarang tetapi inovasi, demokrasi dan tentu saja nasionalisme harus menjadi genderang kebudayaan nasional kontemporer.