Pemerintah didesak segera meratifikasi sejumlah konvensi ILO tentang pemenuhan perlindungan terhadap perempuan pekerja. Demikian disampaikan komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani, dalam diskusi online dengan tema “Perjuangan Panjang Buruh Perempuan” yang digelar Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Senin 3 Mei 2021.
“Komnas Perempuan sekarang juga sedang melibatkan teman-teman jaringan masyarakat sipil, serikat pekerja, dan serikat buruh untuk membuat instrumen pemantauan perlindungan maternitas 183 dan membuat kajian konvensi ILO 190, dan kita sudah berproses melakukan FGD dan mempersiapkan rentetan tindak lanjut. Tujuannya sebagai basis data yang akan kita dorong kepada pemerintah untuk melihat ini persoalannya, ini kebutuhannya, ini kepentingannya dan ini tanggung jawab negara. Itu yang akan kita rumuskan, sehingga kita mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi ILO 190 yang memang berisi muatan substantif untuk pemenuhan perlindungan bagi perempuan pekerja,” kata Tias dalam diskusi untuk memperingati Hari Buruh Sedunia itu.
Konvensi-konvensi ILO yang dia maksud adalah konvensi ILO 183 tentang perlindungan maternitas dan cuti haid di tempat kerja, dan konvensi ILO 190 tentang penghapusan/pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja. Ada pula konvensi ILO 177 tentang pekerja rumahan dan 189 tentang kerja layak bagi pekerja rumah tangga (PRT) yang juga urgen untuk diratifikasi.
Terkait perempuan yang kerap menjadi objek kekerasan di dunia kerja, itu disebabkan oleh adanya pelanggengan diskriminasi. Menurut Tias, kekerasan terhadap perempuan di dunia kerja tak hanya soal kekerasan fisik, tapi juga bisa dalam bentuk ketimpangan upah antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan.
Berangkat dari kasus-kasus di atas, Tias menegaskan, ada urgensi agar pemerintah segera meratifikasi konvensi ILO 190. Menurutnya, konvensi tersebut bisa mengikis kekerasan (non-fisik) yang dialami perempuan di dunia kerja.
“Penting bagaimana konvensi ILO 190 dalam upaya penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja tidak hanya dilihat dari kekerasan fisik, gitu, tapi bagaimana kekerasan psikis, kekerasan ekonomi, kekerasan berbasis diskriminasi, dan kekerasan yang berujung pada pelanggengan budaya patriarki di dalam masyarakat itu harus dilihat sebagai persoalan yang utuh,” papar aktivis buruh perempuan itu.
Diskusi yang dimoderatori Koordinator Juru Bicara DPP PSI, Kokok Dirgantoro itu, sekaligus meluruskan anggapan bahwa perempuan pekerja identik dengan buruh.
Melampaui sektor tertentu (manufaktur), perempuan yang menerima perintah, upah atas apa yang dikerjakan dan terikat dalam hubungan dunia kerja, maka dia adalah perempuan pekerja.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Jumisih, menyoroti kasus pelecehan seksual terhadap perempuan yang banyak terjadi dalam lingkungan kerja.
Permasalahan itu kian pelik karena melibatkan relasi kuasa antara atasan dengan bawahan. Pun juga dengan perkembangan teknologi, yang memudahkan pelecehan seksual terjadi, misalnya, berkirim gambar, ucapan atau ajakan yang tidak dikehendaki oleh perempuan.
“Di dunia kerja (pelecehan seksual) kerap terjadi karena ada relasi kuasa antara atasan dengan bawahan (perempuan pekerja). Dia menggunakan kuasanya sebagai atasan di perusahaan atau di pabrik untuk mengajak kawan-kawan buruh perempuan untuk kencan, dan itu difasilitasi oleh kemajuan teknologi. Ancamannya (kalau menolak) itu keberlanjutan kerja. Itulah sistem kerja kontrak berdampak juga terhadap bagaimana buruh perempuan sangat punya ketergantungan ingin bekerja, tapi di sisi lain sangat tidak nyaman dengan hal itu,” terangnya.
Jumisih melanjutkan, perjuangan menghapus praktik-praktik pelecehan seksual di dunia kerja semakin berat. Pasalnya, surat edaran Menteri Ketenagakerjaan terkait pencegahan pelecehan seksual tidak secara gamblang memuat sanksi tegas kepada pelaku pelecehan.
Karena itu, dia sangat berharap pada pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), serta ratifikasi konvensi ILO 190 tentang penghapusan/pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja.
Bukan tanpa upaya nyata, Jumisih mengaku jika dia dan sesama aktivis telah beraudiensi dengan anggota DPR RI soal ratifikasi konvensi ILO 190. Dari pertemuan itu, kata Jumisih mengulang pernyataan anggota dewan, masih terdapat harmonisasi di tingkat eksekutif, sehingga belum bisa dibahas bersama di DPR RI.
“Kami di SPBI-KPBI bagian dari aliansi stop kekerasan di dunia kerja, minggu yang lalu sempat ke DPR RI, kami mencoba bertemu anggota dewan untuk mendorong hal ini, tapi anggota dewan menyampaikan saat ini bolanya masih di eksekutif (pemerintah), belum sampai di DPR, masih butuh harmonisasi di tingkat eksekutif,” ucapnya.
Lebih jauh dia menjelaskan, konvensi ILO 190 ini akan memberi manfaat besar bagi perempuan, terlebih perempuan pekerja korban KDRT. Perusahaan harus melindungi, mendukung dan membuka ruang kepada perempuan korban KDRT untuk menyelesaikan kasusnya, tanpa boleh diintimidasi oleh perusahaan dengan alasan produktivitas kerja.
“Di konvensi ILO 190 ini menyatakan, kalau misalnya buruh menjadi korban KDRT, maka dia diberi keleluasaan untuk mengurus kasusnya dan dia tetap dilindungi. Jadi dia tidak bisa di-PHK dan dikasih ruang untuk menangani kasusnya, dan itu akan mendorong buruh perempuan yang menjadi korban KDRT itu percaya diri, karena selama ini isu KDRT dianggap terpisah dari isu perburuhan,” ujar dia.
Hal lain yang dibicarakan, ialah nasib pembahasan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang mandek selama 17 tahun terakhir.
Menurut Tias, mestinya, RUU PPRT itu dapat segera rampung, karena kekhawatiran soal upah pekerja rumah tangga harus sesuai dengan UMP bukan hal yang krusial.
RUU PPRT, imbuh Tias, lebih fokus pada pengakuan kepada pekerja rumah tangga sebagai pekerja profesional, pemberian jaminan sosial (BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan) dan kontrak kerja yang menguntungkan kedua belah pihak (pemberi kerja dan pekerja rumah tangga).