Kuota 30 persen perempuan untuk pengurus partai politik hanya di level pusat tidak sampai ke daerah (provinsi, kabupaten/kota) seperti diatur dalam pasal 173 ayat (2) huruf E UU 7/2017 tentang Pemilu merupakan kemunduran dalam demokrasi.
Demikian disampaikan Komisioner Komnas Perempuan Riri Khariroh saat dihubungi, Kamis (24/8). Bahkan menurutnya, idealnya kuota terhadap perempuan sama dengan laki-laki karena dari situlah perempuan bisa diberikan kesempatan yang sama untuk berperan aktif dalam ikut membangun bangsa dengan aktif di partai politik.
“Dari situ kita melihat bahwa sebenarnya partai politik sejak awal tidak siap untuk melakukan kaderisasi terhadap politisi perempuan sejak dini,” ujarnya.
Dia mengakui pengalaman pada Pemilu 2014 lalu sulit bagi partai politik untuk merekrut perempuan hingga ke tingkat daerah dijadikan pengurus partai.
“Sehingga terkesan ini taktik dari partai politik lama menghilangkan kuota 30 persen perempuan di derah karena jika tidak terpenuhi kuota itu maka mereka bisa kehilangan suara di Pemilu,” ujarnya.
Padahal, dia menjelaskan, sebenarnya partai politik seharusnya mendorong perempuan semakin aktif di partai politik. Karena jika tidak peran serta perempuan dalam roda pembangunan akan semakin menurun.
Sebelumnya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggugat UU Pemilu pada pasal 173 ayat 2 huruf E ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur keterwakilan perempuan.
Kuasa hukum PSI Dini Shanti Purwono mengatakan, syarat yang mewajibkan keterwakilan 30 persen perempuan hanya di kepengurusan pusat merupakan tindakan diskriminatif. Sebab, kans para ”srikandi” untuk terlibat aktif dalam kepengurusan di tingkat daerah menjadi terbatasi.
“Secara personal saya melihat itu hak PSI untuk melakukan gugatan sebab substansi tidak adanya ketewakilan itu memang akan berdampak kepada akses terhadap perempuan yang tidak diberikan hak yang sama dalam berdemokrasi ke tingkat daerah,” demikian Riri Khoriroh terkait langkah PSI mengajukan gugatan tersebut. [wah]
Sumber: Rmol.com