Panitia Khusus Hak Angket KPK seolah tidak ada habisnya. Sejak awal, keberadaan pansus sangat mencurigakan. Berawal dari permohonan dibukanya rekaman Miryam S Haryani dalam kasus E-KTP yang tidak dituruti kemudian berakhir dengan pembentukan pansus hak angket KPK. Dalam benak publik, muncul kecurigaan kuat bahwa pansus angket berkaitan erat dengan kasus megakorupsi E-KTP yang sedang diselidiki KPK.
Langkah KPK yang tak mau membuka rekaman Miryam bisa dikatakan tepat. Jika KPK menuruti kemauan DPR untuk membuka rekaman tersebut, KPK justru akan melanggar UU no 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik yang menyatakan bahwa informasi publik bisa dibuka kecuali informasi yang dapat menghambat proses penegakan hukum dalam bidang penyelidikan dan penyidikan.
Jelas KPK akan membuka rekaman Miryam, tapi bukan kepada DPR, bukan kepada publik. Tapi, kepada pengadilan, tempat di mana rekaman tersebut diuji keabsahannya.
Entahlah, apakah ini bentuk emosi atau jengkel, seolah begitu tergesa-gesa, tapi proses terbentuknya pansus angket sendiri bermasalah. Padahal, dalam UU MD3 pasal 199 ayat 3 jelas dinyatakan bahwa hak angket harus disahkan dalam paripurna dan disetujui oleh setengah anggota DPR yang hadir. Kenyataannya dalam paripurna tersebut, palu angket diketuk oleh pimpinan DPR Fahri Hamzah ketika ruang sidang masih dihujani interupsi sebagai tanda tidak setuju yang diakhiri aksi walkout beberapa fraksi.
UU MD3 pasal 201 ayat 2 juga memerintahkan pansus angket harus terdiri atas semua unsur fraksi. “Dalam hal DPR menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket yang keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi DPR,” begitulah bunyi undang-undang tersebut.
Pansus angket sendiri tidak terdiri atas semua unsur fraksi. Beberapa partai politik seperti PKB, Demokrat, PKS, dan bahkan baru-baru ini Gerindra tidak berada dalam pansus angket KPK. Artinya, pansus angket menabrak aturan yang mereka buat sendiri demi melakukan angket terhadap KPK. Bagaimana mau memperbaiki KPK kalau aturan sendiri saja ditabrak?
Pansus Angket dinilai sebagai upaya pelemahan KPK. Mayoritas publik mendukung KPK. Ini tercermin dalam survei SMRC yang menyatakan 64,4% publik percaya pada KPK. Banyak aksi-aksi yang dibuat untuk mendukung KPK dan mendesak DPR membubarkan Pansus. Namun pansus angket terkesan tidak menggubris aspirasi publik. Justru yang terjadi adalah munculnya justifikasi-justifikasi yang mengada-ada.
Publik mulai ditakut-takuti dengan argumen bahwa KPK bisa menyadap siapapun di negeri ini. Dari hasil tabayyun dengan teman-teman di KPK, ternyata KPK tak pernah asal menyadap. Setiap penyadapan pasti dimulai dari laporan masyarakat dan harus ada bukti permulaan. Kalau penyadapan tak disertai izin pengadilan, itu sah-sah saja karena memang UU KPK tahun 2002 memberikan wewenang kepada KPK untuk melakukan penyadapan tanpa izin pengadilan.
Lagi pula, kalau selama ini penyadapan KPK tidak sah, sudah pasti majelis hakim akan menolak bukti-bukti hasil sadapan KPK di persidangan. Nyatanya, bukti berupa hasil sadapan tersebut diterima oleh majelis hakim dan dijadikan salah satu dasar mengambil keputusan atau memvonis terdakwa kasus-kasus korupsi.
Kemudian muncul tuduhan bahwa majelis hakim takut mengambil keputusan yang berseberangan dengan KPK karena mereka diancam dan ditekan oleh kelompok tertentu yang berada di tubuh KPK. Sungguh ini tuduhan keji tanpa dasar bukan hanya kepada KPK, tapi kepada majelis hakim yang terhormat. Apakah lama-lama para hakim kasus korupsi juga akan diangket oleh DPR hanya karena keputusannya didasari oleh bukti-bukti yang disajikan KPK?
Ada pula argumen bahwa angket adalah upaya memperkuat KPK dan membersihkan KPK dari oknum-oknum yang ada di dalamnya. Sayang sekali, argumen ini dipatahkan oleh pansus angket sendiri yang memilih untuk mengunjungi para koruptor di lapas Sukamiskin. Ketika banyak orang menjadi korban akibat korupsi, pansus malah sibuk kunjungi koruptor yang dengan teganya memakan uang haram itu. Di mana sensitivitas wakil rakyat kita yang tergabung dalam pansus tersebut?
Terjadi pembentukan opini bahwa KPK lembaga superbody yang tak bisa disentuh, maka sudah seharusnya DPR sebagai lembaga yang memiliki fungsi pengawasan melakukan pengecekan atas kinerja KPK selama ini. Ini logika yang jelas salah. Mekanisme pembuktian KPK tidak berada di dalam “ruang sidang” DPR; pembuktian terjadi di pengadilan.
Jika merasa bukti KPK tidak kuat dalam mentersangkakan seseorang, ajukan praperadilan. Di sini dua alat bukti KPK akan diuji apakah sudah sesuai dan pantas untuk mentersangkakan seseorang. Jika praperadilan menyatakan bahwa dua alat bukti itu sah, langkah selanjutnya adalah membuktikannya di pengadilan apakah seseorang bersalah atau tidak.
Sekali lagi, sah atau tidaknya bukti-bukti itu ditentukan oleh pengadilan, bukan oleh DPR. Dan, karena ada mekanisme yang jelas dalam pengadilan yang bisa membatalkan bukti-bukti KPK yang dirasa tidak memenuhi syarat untuk menjadikan seseorang tersangka, maka pandangan bahwa KPK lembaga superbody tidak beralasan sama sekali.
Saya pikir dengan ditetapkannya Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka megakorupsi kasus E-KTP, Pansus akan bubar karena menyadari bahwa ada nuansa konflik kepentingan ketika orang-orang yang ditengarai terlibat megakorupsi ini juga ikut memeriksa KPK.
Ternyata itu tak terjadi. Sebaliknya, tuduhan-tuduhan terhadap KPK tetap mengalir tanpa henti. Pansus Angket ngotot berjalan terus ketika status KPK sendiri sebagai lembaga independen masih belum jelas bisa diangket atau tidak.
Paling tidak, Pansus Angket seharusnya menahan diri dulu. Uji materi tentang KPK sebagai objek hak angket sedang berlangsung. Tunggulah putusan Mahkamah Konstitusi untuk memastikan apakah DPR bisa mengajukan hak angket terhadap lembaga yang menurut undang-undang bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Fakta bahwa partai politik pendukung pemerintah seperti PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PAN, dan PPP getol mendukung hak angket juga amat menyedihkan. Presiden Jokowi memiliki komitmen yang jelas terhadap pemberantasan korupsi. Apalagi di era kepemimpinan Presiden Jokowi, pembangunan infrastruktur besar-besaran dilakukan. Untuk menjamin setiap rupiah yang keluar dari negara betul-betul kembali ke rakyat dalam bentuk pembangunan infrastruktur, Presiden tentu saja membutuhkan KPK.
Seharusnya partai politik pendukung pemerintah bisa membaca sikap antikorupsi yang diperjuangkan Presiden Jokowi, jangan justru menyulitkan posisi Presiden di tengah tugas besar yang sedang dikerjakannya.
Entahlah. Mungkin tak akan ada yang berubah. Keributan tentang Pansus Angket nampaknya terus bergulir. Sementara itu, seorang pria pejuang antikorupsi terancam kehilangan penglihatannya karena memperjuangkan nilai yang ia yakini. Mau sampai kapan ini dilanjutkan?
Tsamara Amany mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI)
(mmu/mmu)
Sumber: Detikcom