Komnas Perempuan tak sepakat apabila UU Pemilu hanya mengatur kuota 30 persen untuk pengurus partai politik di pusat, tidak sampai ke daerah (provinsi, kabupaten/kota). Maka dari itu, Komnas Perempuan menilai ini sebuah kemunduran demokrasi
“Saya kira itu sebuah kemunduran demokrasi, kenapa keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik hanya di pusat, tidak sampai ke daerah provinsi dan kabupaten/kota,” kata Komisioner Komnas Perempuan Riri Khariroh di Jakarta, Kamis (24/8).
Menurut Riri, menjadi wajar apabila Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggugat aturan yang diatur pada pasal 173 ayat 2 huruf E ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Secara personal saya melihat itu hak PSI untuk melakukan gugatan sebab substansi tidak adanya keterwakilan itu memang akan berdampak kepada akses terhadap perempuan yang tidak diberikan hak yang sama dalam berdemokrasi ke tingkat daerah,” ujarnya.
Riri menambahkan, idealnya kuota terhadap perempuan sama dengan laki-laki. Dari situlah perempuan bisa diberikan kesempatan yang sama untuk berperan dalam ikut membangun bangsa dengan aktif di partai politik.
“Dari situ kita melihat bahwa sebenarnya partai politik sejak awal tidak siap untuk melakukan kaderisasi terhadap politisi perempuan sejak dini,” katanya.
Pada Pemilu 2014, lanjut dia, dapat terlihat bahwa sulit bagi partai politik untuk merekrut perempuan hingga ke tingkat daerah untuk dijadikan pengurus partai.
“Sehingga terkesan ini taktik dari partai politik lama menghilangkan kuota 30 persen perempuan di daerah karena jika tidak terpenuhi kuota itu maka mereka bisa kehilangan suara di Pemilu,” kata Riri.
Riri menegaskan, partai politik harusnya dapat mendorong perempuan semakin aktif di partai politik. Sebab, jika tidak peran serta perempuan dalam roda pembangunan akan semakin menurun.
Sebelumnya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggugat UU Pemilu pada pasal 173 ayat 2 huruf E ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur keterwakilan perempuan.
Kuasa hukum PSI Dini Shanti Purwono mengatakan, syarat yang mewajibkan keterwakilan 30 persen perempuan hanya di kepengurusan pusat merupakan tindakan diskriminatif. Sebab, kans perempuan untuk terlibat aktif dalam kepengurusan di tingkat daerah menjadi terbatasi. (mdk/bal)
Sumber: Merdeka