Mata Hariyanto Arbi berkaca-kaca dan suaranya terbata-bata saat menceritakan kembali laga final Piala Thomas 1998 antara Indonesia melawan Malaysia. Final itu berlangsung pada 24 Mei 1998, tiga hari setelah Soeharto jatuh, kurang dua pekan dari kerusuhan massal di Jakarta.
Terdapat kesan mendalam baginya dalam laga saat itu. Bukan hanya karena saat itu dirinya bersama rekan setimnya—Ricky dan Marlev Mainaki, Ricky Soebagja, Candra Wijaya, Sigit Budiarto, Indra Wijaya, Hendrawan, Tony Gunawan, dan Joko Suprianto—mampu menaklukkan Malaysia dengan skor 3-2, melainkan juga karena laga saat itu dilakoni di tengah kondisi politik di Jakarta yang kacau.
Jakarta 1998 merupakan neraka bagi golongan minoritas, terutama etnis Tionghoa, yang menjadi sasaran amuk massa. Mereka diburu, diusir, rumah dan propertinya dibumihanguskan dan sejumlah perempuannya diperkosa. Peristiwa tersebut tak pelak menjadi goncangan hebat bagi tim Piala Thomas 1998 yang juga diperkuat oleh banyak pebulutangkis beretnis Tionghoa.
Turnamen dimulai pada 15 Mei 1998. Dua dan sehari sebelumnya, pada 13-14 Mei, api mengganas di Jakarta. Pertokoan dibakar, rumah-rumah hangus, orang-orang terpanggang mati di beberapa gedung. Etnis Tionghoa paling merasakan teror pada hari-hari itu. Hari saat Piala Thomas dimulai, pada 15 Mei itu, sisa-sisa kerusuhan masih terlihat di Jakarta.
Dapat dibayangkan apa yang berkecamuk di kepala para pebulu tangkis Indonesia, terutama yang berlatar belakang Tionghoa. Dari Haryanto Arbi, Hendrawan, Tony Gunawan, Chandra dan Indra Wijaya maupun yang memperkuat tim Uber seperti Susi Susanti, Mia Audina, hingga Meiluawati.
Hariyanto Arbi saat itu menjadi salah satu andalan Indonesia. Ia bahkan menjadi tunggal pertama baik di semifinal saat mengalahkan Cina maupun di final saat menghadapi Malaysia.
“Tekanan bukan hanya dari pertandingan saja karena kami mesti menjadi juara, tapi kondisi teman-teman di Jakarta yang mendapatkan diskriminasi juga memengaruhi. Kami semua tertekan,” kata Hariyanto kepada Tirto, di Hotel Santika, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (1/6).
Rexy Mainaky, pemain ganda yang berpasangan dengan Ricky Subagja, juga menceritakan hal serupa.
“Kala itu suasana negara sedang genting karena ada kerusuhan 1998. Saat bertanding konsentrasi kami terpecah antara pertandingan dan memikirkan keluarga di Jakarta,” kata Rexy.
Namun, menurut Hariyanto Arbi, pemain yang dijuluki “smash 100 watt” karena pukulannya yang sangat keras itu, meski berat mereka tetap mencoba mengumpulkan semangat untuk bertanding dan menjadi juara. Karena, menurutnya, dengan memenangkan laga tersebut dan menjadi juara, dapat memberikan semangat, penghiburan atau apapun namanya bagi korban-korban yang berjatuhan pada kerusuhan yang berlangsung di berbagai kota di Indonesia.
“Kami ingin melawan dan menyatakan penolakan atas tindakan SARA tersebut. Kami tidak ingin diam. Kami terdiri dari suku, etnis, ras dan agama yang berbeda. Semuanya mencintai NKRI dan ingin mempersembahkan gelar juara untuk Indonesia. Itu yang membuat semangat kami kembali muncul dan kami bersatu. Kami juara, karena kami berbeda,” kata Hariyanto.
Pengakuan yang sama juga dituturkan oleh Marleve Mainaki. Ia mengaku saat itu seluruh anggota tim tidak dalam performa mental yang layak disebut sebagai mental juara. Tekanan datang dari segala arah. Di satu sisi, ia dan kawan-kawannya ingin membawa bendera Merah Putih ke tempat paling tinggi dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan paling lantang sebagai tim juara. Tapi, di sisi lain kejadian di Jakarta tetap membawa luka dan trauma.
“Manajemen, senior dan semua yang ada saat itu menyemangati kami. Sejak semifinal kami sudah merasa bangkit, dan akhirnya menjadi juara di final,” kata Marleve kepada Tirto, di Hotel Santika, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (1/6).
Indonesia akhirnya meraih juara Piala Thomas pada 24 Mei 1998, mengalahkan musuh bebuyutan Malaysia dengan skor 3-2. Sehari sebelumnya, sayangnya, Susi Susanti, dkk., gagal mengalahkan Cina di final Piala Uber.
Haru Biru di Surat Kabar
Esoknya, pada Senin, 25 Mei 1998, nyaris seluruh surat kabar di Indonesia memberitakan kemenangan di Thomas Cup di halaman pertama. Kompas bahkan memberi judul: “Republik Indonesia Masih Ada”.
Dengan nada penuh kebanggaan, Kompas menulis: “Dunia olahraga lagi-lagi muncul sebagai “penyelamat” nama baik bangsa. Di tengah keprihatinan yang melanda negeri ini, bulu tangkis mampu mengangkat harkat bangsa yang memungkinkan kita untuk bisa berjalan tegak.”
Agus Wirahadikusuma, jenderal yang menjadi manajer tim, dengan penuh kebanggaan saat itu berkata: “Dalam suasana kesenduan dan kesedihan yang mencengkeram kita karena suasana di Tanah Air, kami bisa membuktikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang kuat. Hendaknya keberhasilan menjadi yang terbaik ini menjadi contoh.”
Jenderal yang dikenal reformis ini menggunakan kesempatan itu untuk merespons kerusuhan massal berbau SARA pada pekan sebelumnya. “Jangan mengkotak-kotak-kan bangsa dengan batasan suku dan agama,” tegas manajer tim Agus Wirahadikusumah kepada wartawan Kompas, Brigitta Isworo.
Berjasa Namun Didiskriminasi
Sebagai mantan pemain yang saat itu menonton laga final Thomas Cup 1998, Ivana lie mengaku tak dapat menyembunyikan ketegangannya. Saat laga final tersebut, di antara penonton lain yang turut hadir, Ivana merasakan bahwa tekanan tak hanya datang dari kubu lawan, melainkan dari hal lain di luar pertandingan.
“Setiap kali penonton meneriakkan hidup Indonesia, saya merinding. Ada bangga dan angin juara. Tapi juga ada ketakutan. Tekanannya kuat,” kata Ivana kepada Tirto, di Hotel Santika, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (1/6).
Ivana bukannya asing dengan diskriminasi pada minoritas di negeri ini. Sebagai pebulutangkis yang telah menyumbangkan sederet prestasi bagi Indonesia pada zamannya, di antaranya juara Sea Games 1979 dan 1983, Ivana pernah tidak diakui sebagai Warga Negara Indonesia selama enam tahun pada 1977-1982.
“Saya 16 tahun berkarier sebagai pebulutangkis. Enam tahun saya tidak diakui sebagai WNI,” katanya.
Tak adanya pengakuan tersebut lantaran kedua orang tua Ivana berstatus Warga Negara Asing. Meskipun, menurutnya, dirinya terlahir di Bandung. Selama itu, pun dirinya bertanding untuk Indonesia di sejumlah kejuaraan internasional hanya bermodalkan selembar kertas sebagai pengganti paspor.
“Setiap mau berangkat saya dikasih kertas, setelah pulang diambil lagi. Mengurus itu semua sulit sekali. Waktu itu orang Tionghoa semacam kami harus mempunyai SKBRI (Surat Keterangan Berwarganegara Indonesia),” katanya.
Namun, menurutnya, semangatnya untuk membela Indonesia dalam dunia bulutangkis tak pernah surut. Pasalnya, ia mengaku itu adalah ajaran dari ibunya yang mengatakan “di mana kamu lahir, di situ bumi mesti dijunjung”.
“Semua karena kebanggaan pada lambang Garuda di dada dan lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan ketika saya meraih gelar juara,” katanya.
Akhirnya, setelah media mengangkat cerita perihal Ivana yang kesulitan untuk mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia, baru dirinya mendapatkan kemudahan dalam mengurus hal itu. Tak sampai satu bulan status kewarganegaraan Ivana bisa keluar dan dirinya pun mempunyai Kartu Tanda Penduduk Indonesia.
Hal yang sama sebelumnya juga dialami oleh Tan Joe Hok. Peraih juara Piala Thomas 1958 yang pertama kali diraih oleh Indonesia tersebut, pun sempat enggan kembali ke negeri ini setelah peristiwa 1965. Ia mengaku setelah gejolak politik akibat G/30S dirinya dan keluarganya memilih tinggal di Amerika.
“Setelah menjadi juara itu, saya disambut dengan meriah di Istana Negara oleh Presiden Sukarno. Saya dekat dengan beliau. Waktu itu, beliau bilang ‘kamu adalah pahlawan bangsa ini’,” kata Tan kepada Tirto, di Hotel Santika, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (1/6).
Namun, saat Orde Baru memimpin, dirinya mengaku semuanya serba menjadi lebih sulit dari sebelumnya. Bila di era Soekarno kesulitannya adalah tidak adanya kejelasan bagi masa depan seorang atlet karena untuk mengikuti sebuah kejuaraan seringkali menggunakan biaya sendiri, di era Orde Baru yang terjadi adalah diskriminasi.
Sekitar tahun 1973, Ali Sadikin memintanya untuk kembali ke Indonesia guna melatih tim bulutangkis Indonesia. Berbekal kepatuhan pada Ali dan kecintaan pada Indonesia, akhirnya ia pun kembali dan membawa serta keluarganya. Tapi, justru kondisinya semakin memburuk.
“Anak saya tidak diterima di sekolahan hanya karena dia anak seorang Cina. Padahal, itu di sekolah swasta, apalagi negeri,” kata Tan.
Ia pun kemudian mengirim anak dan istrinya kembali ke Amerika, sedangkan dirinya sendiri tetap tinggal di Indonesia. Menurutnya, masa-masa itu adalah masa paling berat dalam hidupnya. Ia sadar bahwa sebagai minoritas dirinya tak mendapat tempat yang layak di negara ini. Namun karena sudah merasa menjadi bagian dari negara ini, maka ia tetap mencintai dan membelanya.
“Saya masih yakin nilai Pancasila itu bisa mempersatukan bangsa ini. Saya cinta Indonesia, begitu juga keluarga saya dan seluruh atlet bulutangkis yang ada. Kami ingin adanya persatuan di negeri ini. Kami ingin membuat negeri ini dibanggakan oleh dunia,” katanya.
Untuk itu, sebagai generasi pertama pebulutangksi etnis Tionghoa di Indonesia, ia selalu berusaha menyebarkan semangat kepada penerus-penerusnya untuk tetap mencintai dan mempersembahkan prestasi bagi Indonesia. Meskipun, katanya, senjata yang mereka miliki untuk itu hanya raket.
“Saya selalu katakan jangan sampai kami semua menjadi silent minority. Saya ingin kami semua terus menjaga NKRI dan mencintai Pancasila, meskipun hanya punya senjata raket,” katanya.