Kidung Pembangkit Jiwa

Rubrik Opini – Koran Solidaritas Edisi IV, Oktober 2015

Oleh: Airlangga Pribadi Kusman
Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga  

Banyak kaum yang berfikir dan tahu persoalan, namun diantara mereka hanya sedikit yang menjalankan dharmanya untuk mengambil peran aktif dengan pikiran dan kehendaknya untuk terlibat dalam aksi mengubah dunia. Tidaklah tuntas jalan pengabdian seorang cerdik-cendekia yang bersikap netral dan menghindar untuk berpihak pada mereka yang tertindas dan terpinggirkan, saat mereka mengetahuinya. Dunia dibangun melalui gerak dinamis rangkaian aksi, mereka kaum cendekia yang menolak turun gelanggang sama saja dengan kalangan yang melanggengkan penindasan. Sementara bagi kaum yang sadar akan tugas sejarahnya, mereka akan melakukan peran dharmanya, terlibat dalam aksi mengubah dunia dengan kesadaran sosial yang berjarak dari kecintaan atas dunia dan ketergesa-gesaan.

Paragraf diatas adalah nasehat Shri Khrisna kepada Arjuna yang tertulis dalam Kitab Bhagawad Gita, ketika Arjuna sebagai ksatria pengikutnya merasa ragu untuk turun gelanggang dan melawan kekuatan Kurawa dan para pendukungnya di medan perang Bharata Yudha. Keraguan Arjuna untuk memerangi Kurawa memiliki alasan, karena selain Bala Kurawa sesungguhnya adalah bagian dari keluarga besar dari Arjuna sendiri (Wangsa Astina), Arjuna juga menyadari selepas Pandawa Lima mengalami proses pembuangan, mereka tidak lagi memiliki ambisi untuk merebut kekuasaan. Asketisme kehidupan yang menggembleng mereka selama kurang lebih 13 tahun, sudah lebih dari cukup bagi mereka untuk mengarungi kehidupan tanpa obsesi atas tahta dan harta. Keraguan diatas dijawab oleh Shri Khrisna, keterlibatan Pandawa dan para pendukungnya dalam Bharata Yudha adalah penting bukan atas nama tahta dan harta, namun jalan pengabdian mereka sebagai kaum ksatria/cendekia hanya akan terpenuhi ketika mereka terlibat dalam aksi mengubah keadaan menjadi lebih baik bagi mereka yang dilumpuhkan dan dirampas haknya.

Dialog tua yang telah berumur lebih dari lima ribu tahun lamanya ini relevan sebagai bahan refleksi tentang bagaimana sesungguhnya kaum inteligensia muda memahami peran-peran sosial dan politiknya ditengah proses demokratisasi di Indonesia. Tentu ada perbedaan signifikan antara konteks sosial dari dialog Bhagawad Gita dan realitas negara politik modern dan segenap problematikanya seperti saat ini. Seperti diutarakan oleh Hannah Arendt (1958) dalam The Human Condition bahwa aktivitas manusia terdiri atas 3 hal yakni labor, work and action. Labor terkait dengan aktivitas manusia untuk memenuhi tuntutan kebutuhan biologis mereka, work terkait dengan aktivitas kerja manusia untuk mengubah alam menjadi peradaban, dari nature menjadi kultur. Sementara action adalah aktivitas manusia yang terkait posisi dan peran dari tiap-tiap orang dalam relasi sosial dengan sesamanya. Yang membedakan kaum intelektual organik yang berkomitmen pada persoalan sosial politik dengan yang lain adalah ketika fokus dan aktivitas mereka tidak hanya terkait dengan labor dan work, namun juga mereka berkomitmen pada action, sebagai manifestasi aksi mengubah bumi manusia.  

Dalam perspektif Arendt, aksi bertujuan untuk menjaga kewarasan nalar publik. Aksi yang dilakukan oleh manusia ditujukan untuk merawat agar ruang politik tidak menjadi arena dimana baik kepentingan privat maupun tendensi despotisme politik mendominasi dan menjajah ruang hidup bersama. Aksi politik dalam perspektif diatas bertujuan untuk merawat solidaritas terhadap keragaman sosial, maupun membela kepentingan publik menjadi nahkoda dan patokan dari sebuah kebijakan politik dirumuskan dan dijalankan.

Nalar Publik dan Politik Kaum Muda   

Pandangan Arendt tentang aksi politik sebagai aktivitas tiap-tiap orang untuk merawat hidup bersama sangat relevan apabila dihubungkan dengan bangkitnya politik kaum muda di negeri kita. Urgensitas bangkitnya politik kaum muda di Indonesia tidak saja berhubungan dengan mendesaknya proses regenerasi politik nasional semata. Mengingat bahwa regenerasi politik nasional adalah sebuah evolusi natural dari proses sejarah. Pertanyaan yang paling penting untuk dikedepankan adalah bagaimana artikulasi politik dari bangkitnya intelegensia muda Indonesia memberikan makna terhadap aksi mengubah Indonesia; tantangan seperti apakah yang akan dijawab dan jalan politik apakah yang akan diambil?

Realitas politik di Indonesia saat ini persis seperti yang diuraikan oleh Arendt diatas. Ruang publik Indonesia berhadapan dengan dominasi kepentingan privat dalam berbagai wujudnya terhadap ruang politik sebagai penerimaan aktif terhadap kebhinekaan untuk membangun kehidupan bersama. Dalam era post-authoritarianism setelah jatuhnya Suharto, proses kelembagaan demokrasi tumbuh berjalan dengan pesat. Namun demikian dalam konteks pertarungan sosial (social struggle), ruang politik di Indonesia dijajah oleh kepentingan-kepentingan privat diantara pertautan aliansi bisnis politik dan kepentingan-kepentingan particular yang menggunakan wajah mulai politik agama, populisme bahkan sampai wacana good governance.

Kepentingan-kepentingan privat ini saling berebut dan bertarung untuk menguasai institusi negara dan sumber-sumber otoritas publik untuk kepentingan aliansi-aliansi sosial yang mereka himpun. Inilah yang dalam perspektif analisis structural disebut sebagai bertahtanya aliansi kuasa predatoris diatas ruang publik di Indonesia. Dominasi kepentingan-kepentingan privat dan particular dalam arena publik memiliki wajah ganda yakni menginklusikan kelompok yang sejalan dengan kepentingan mereka dan mengeksklusikan kepentingan kelompok-kelompok marjinal maupun minoritas yang tidak dapat mereka jinakkan dan kuasai.  

Sehubungan dengan kondisi diatas, maka penting kiranya untuk melantunkan kembali kidung pembangkit jiwa Bhagawad Gita kepada kaum muda Indonesia. Seruan Shri Khrisna kepada Arjuna adalah seruan yang patut dikumandangkan kepada lapisan intelegensia muda Indonesia. Ilmu, pengetahuan dan segenap kapasitas yang kita miliki tidak aka nada artinya, apabila kita tahu dan sadar bahwa tanah air kita saat ini tengah dikepung oleh penghisapan kekuatan sosial predator sehingga ada yang tersingkir dalam pengelolaan proses bernegara, namun kita sebagai kelompok yang paham, diam dan berpangku tangan tanpa inisiatif untuk mengubahnya. Solidaritas, komitmen dan aksi politik adalah panggilan kaum inteligensia muda Indonesia!   

Recommended Posts