Ketimpangan Bisa Picu Intoleransi dan Politik Identitas

Pandemi Covid-19 telah memperparah ketimpangan ekonomi di Indonesia. Hal ini disampaikan Guru Besar Ekonomi Universitas Padjajaran, Arief Anshory Yusuf, dalam diskusi online bertema “Membedah Gaji dan Kesenjangan” yang digelar DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Senin 10 Mei 2021.

“2,5 tahun perbaikan ekonomi kita di Maret 2018 itu hilang akibat adanya Covid-19. Covid-19 memperparah ketimpangan ini. Kenapa itu bisa terjadi? Karena pandemi Covid-19 membuat mereka yang bekerja, yang kebetulan ada di kelompok masyarakat bawah, terdampak lebih parah daripada kelompok masyarakat atas. Contohnya, kalau kita bagi dengan pekerja formal dan informal, nah pekerja informal itu pengurangan pekerjaannya itu lebih sedikit dibanding pekerja formal. Cuma, kalau pekerja formal itu jam bekerjanya berkurang lebih banyak daripada pekerja informal, tetapi dari segi penghasilan justru pekerja informal yang lebih parah turunnya,” ujar Arief.

Ketimpangan itu, menurut Arief, bahkan kian memukul ekonomi pekerja informal. Dari data yang dia pegang, pekerja informal mengalami penurunan penghasilan sebesar -23 %, sedangkan penghasilan pekerja formal hanya turun sekitar 13 %.

“Mereka yang penghasilannya 20 % terbawah akibat Covid-19 itu penghasilannya berkurang 16 %, sementara yang lain 6 – 8 %. Jadi bisa 3 kali lipatnya para pekerja yang berpenghasilan 20 % terbawah itu terdampak income-nya. Jadi wajar dong income inequality ini meningkat ketika Covid-19,” kata dia.

Tanpa pandemi Covid-19 pun, Arief menyebut, sebetulnya Indonesia sudah masuk dalam kategori negara dengan ketimpangan ekonomi tertinggi di dunia.

“Salah satunya yang disebut oleh Standardized World Income Inequality Database (SWIID), kalau kita ranking sebelah bawahnya, Indonesia naik pangkat jadi salah satu yang tertimpang di dunia, bahkan lebih timpang dari Amerika yang katanya Mbahnya kapitalisme,” urai akademisi yang menempuh S2 di University College London dan S3 di Australian National University itu.

Temuan itu, terkonfirmasi pula lewat berbagai penelitian lainnya, di antaranya Credit Suisse yang menghitung total kekayaan yang dipegang oleh 1 % orang terkaya di dunia. Hasilnya Indonesia berada di peringkat ke-4, di bawah Rusia, India dan Thailand.

Pakar politik kenamaan Amerika Serikat, Jeffrey A. Winters pun menemukan hasil serupa. Dengan metode penelitian Material Power Indeks (MPI) yang dikembangkannya, Jeffrey A. Winters menghitung total kekayaan dari 40 % orang terkaya di dunia berdasarkan Forbes Magazine. Total kekayaan itu kemudian dibagi dengan GDP per kapita, alhasil Jeffrey A. Winter menempatkan Indonesia di urutan kedua negara dengan ketimpangan ekonomi tertinggi di dunia.

Lebih jauh Arief melanjutkan, ketimpangan ekonomi yang makin parah di masa pandemi ini, berpotensi melahirkan beberapa implikasi pada tatanan kehidupan masyarakat, termasuk menguatnya intoleransi dan praktik politik identitas.

“Ketimpangan yang tinggi itu kan, (melahirkan) kohesi sosial yang rendah, kecemburuan sosial, nanti itu tumbuh jadi bibit-bibit intoleransi, bahkan banyak berujung pada politik identitas,” imbuhnya.

Selain itu, ketimpangan ekonomi membawa dampak pada ketimpangan kekuasaan. Dampak lainnya, yaitu pertumbuhan ekonomi yang dibarengi dengan ketimpangan yang tinggi menghambat upaya pengurangan kemiskinan. Terakhir, ketimpangan mengganggu pertumbuhan ekonomi.

Disinggung soal upaya apa yang perlu diambil untuk mengatasi ketimpangan ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini, menurut Arief, salah satunya adalah publik perlu mendukung pemerintah dalam menciptakan industri-industri padat karya, seperti tercantum dalam rencana kerja pemerintah (RKP) 2021.

“Saya rasa sudah di track yang benar, yang kena itu kan low-skill, nah berarti industri padat karya akan mengerek ekonomi pekerja,” ucap pendiri Center for Sustainable Development Goals Studies (SDGs Center), Universitas Pandjajaran itu.

Upaya lain ialah membuka ruang investasi. Namun, Arief memberi catatan, pemerintah harus memilih investasi yang berorientasi pada penyerapan tenaga kerja yang besar, sehingga dapat mempekerjakan mereka yang menganggur karena terdampak Covid-19.

“Kita kan ada Omnibus Law untuk menarik investasi, bisa gak dipastikan bahwa kita pilih-pilih investasinya? Jangan investasi yang tidak mempekerjakan mereka yang dulu menganggur akibat Covid-19, jangan yang capital intensive, jangan yang mengeruk batu bara saja, bisa gak dikawal itu? Supaya investasi ini membuat orang-orang yang 20 % tadi balik bekerja dan dengan yang lebih tinggi,” papar dia.

Dalam diskusi yang dimoderatori Juru Bicara DPP PSI, Mikhail Gorbachev Dom itu, sebagai akademisi Arief turut mendukung program kuliah gratis yang digagas Plt. Ketua Umum DPP PSI, Giring Ganesha, untuk Pilpres 2024 mendatang. Hanya, ia menyarankan program kuliah gratis itu dijalankan secara bertahap.

“Ini (program kuliah gratis) bukan mimpi, ini paradigma yang menurut saya harus bantu didengungkan,” timpalnya.

“Di negara-negara maju lain, misalnya Prancis, secara tidak langsung universitas itu dibiayai negara, gitu lho. Kan kalau Anda kuliah di Prancis gak bayar SPP, toh itu artinya sudah dibayarkan lewat tax payer (pembayar pajak), riset juga begitu dibayar negara, maka sebenarnya sebagian besar universitas itu dibiayai negara. Jadi, program kuliah gratis itu bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk dilakukan, sudah banyak negara yang menerapkannya, cuma memang untuk ke sana harus step by step, karena kalau langsung loncat agak berisiko,” tandas Arief.

Recommended Posts