Ketimbang Blokir, PSI Sarankan Kominfo Kedepankan Fact Checking Untuk Tangkal Hoax

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyarankan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo) untuk lebih mengedepankan pengecekan fakta atau fact checking ketimbang blokir media sosial untuk mencegah penyebaran hoax. Demikian disampaikan juru bicara PSI, Sigit Widodo, Jumat (23/10/2020), menanggapi rencana Kominfo membuat aturan pemblokiran media sosial.

Sigit mengatakan, berita bohong alias hoax akan sulit diatasi dengan pemblokiran akun media sosial. “Jika akun media sosialnya diblokir, penyebar hoax dengan mudah bisa membuat akun baru. Diblokir satu, tumbuh seribu. Selama ini selalu terjadi seperti itu,” ujarnya.

Selain itu, masih menurut Sigit, jika pemblokiran dijadikan solusi utama untuk menangkal penyebaran hoax, pemerintah justru akan menghadapi dilema saat harus melakukan pemblokiran. “Jika terlalu longgar, tujuan pemblokiran tidak akan tercapai. Jika terlalu ketat, pemerintah akan dituduh membungkam kebebasan. Nanti malah serba salah,” ujar pria yang pernah menjadi sekretaris Panel Blokir Kominfo di era Menteri Rudiantara ini.

PSI memahami, Kominfo selama ini telah berusaha melakukan pengecekan fakta pada misinformasi dan disinformasi yang beredar di tengah masyarakat. “Namun dalam pengamatan kami, pengecekan fakta ini terlihat kurang dalam dan beberapa kali tidak tepat. Kami mencatat beberapa kali Kominfo menyebut sebuah informasi sebagai hoax tanpa melakukan crosscheck, sementara pada informasi yang jelas hoax, Kominfo justru tidak bereaksi,” kata Sigit.

Jika Kominfo lebih serius dan mendalam melakukan pengecekan fakta, PSI yakin masyarakat akan percaya dan dengan sendirinya hoax yang beredar di tengah masyarakat akan berkurang.

Selain pengecekan fakta, Sigit menyebutkan, transparansi dan pembukaan akses informasi seluas-luasnya secara cepat kepada masyarakat juga akan sangat membantu mengurangi hoax. “Seringkali masyarakat ingin ikut membantu menyebarkan informasi yang benar, namun saat mencari data tentang informasi itu, sumber aslinya tidak ada atau belum tersedia. Akhirnya masyarakat justru mengamini hoax yang beredar,” ujarnya.

Sigit yang tengah menyelesaikan pendidikan doktoral Ilmu Komunikasi ini mengingatkan, seharusnya saat sebuah hoax beredar, selain bantahan dan fact checking, sumber informasi yang benar juga dibuka seluas-luasnya kepada masyarakat. “Jika ada hoax, Kominfo seharusnya mengatakan, ‘Ini tidak benar, menurut pengecekan fakta yang kami lakukan yang benar begini, dan ini dokumen aslinya, silakan masyarakat membacanya sendiri.’ Kalau ini dilakukan, tanpa harus memblokir media sosial, hoax akan berhenti dengan sendirinya,” ujarnya.

Selain pengecekan fakta dan transparansi, PSI juga meminta pemerintah lebih tegas lagi menindak para penyebar berita bohong, apalagi yang berdampak luas kepada masyarakat. “Orang yang sudah jelas mulai menyebarkan berita bohong melalui media sosial atau media lain, harus ditindak sesuai hukum yang berlaku. Pemerintah harus tegas dan tidak pandang bulu untuk menciptakan efek jera,” pungkas Sigit.

Recommended Posts