Gugatan judicial review (JR) terhadap UU Pemilu (UU Nomor 7 Tahun 2017) kembali datang. Kali ini aktornya adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Selain norma terkait verifikasi partai yang hanya mewajibkan partai baru, PSI menggugat pasal 173 ayat 2 huruf E yang mengatur keterwakilan perempuan. Kuasa hukum PSI Dini Shanti Purwono mengatakan, syarat yang mewajibkan keterwakilan 30 persen perempuan hanya di kepengurusan pusat merupakan tindakan diskriminatif. Sebab, kans para ”srikandi” untuk terlibat aktif dalam kepengurusan di tingkat daerah menjadi terbatasi.
Dia menilai, dengan kewajiban 30 persen keterwakilan di semua level kepengurusan, partai menjadi memiliki tanggung jawab untuk mengader perempuan.
”Kami merasa jadi tidak memiliki payung hukum untuk mendorong affirmative action, di mana keterwakilan perempuan harus terjamin,” ujarnya di gedung MK, Jakarta.
Dini menambahkan, ketentuan tersebut juga dinilai tidak sejalan dengan pasal 245 di UU yang sama. Yakni, partai memiliki kewajiban mengalokasikan kursi calon legislatifnya ke perempuan sebanyak 30 persen. Nah, dengan minimnya jumlah perempuan di kepengurusan, upaya untuk memenuhi kuota tersebut akan sulit.
Ketua Umum PSI Grace Natalie menambahkan, selama ini partai politik mengaku sulit menjaring perempuan di kursi caleg. Akibatnya, tidak sedikit yang terpaksa mengusung calon boneka hanya untuk memenuhi administratif. Grace menilai, ketentuan mewajibkan 30 persen kepengurusan di semua level bisa menjadi solusi atas persoalan tersebut. Menurut dia, jika partai terus melanjutkan tradisi buruk dengan menjadikan caleg perempuan sebagai pelengkap administratif, upaya affirmative action tidak bisa direalisasikan.
”Hanya dengan menempatkan pengurus perempuan, barulah kita bisa mencari calon yang bisa duduk di legislatif. Kalau tidak, ya hanya untuk memenuhi kuota,” kata mantan jurnalis tersebut. Karena itu, dia berharap regulasi bisa mendorong hal tersebut.
Grace menambahkan, keberadaan perempuan dalam lembaga-lembaga politik dan kenegaraan perlu terus didorong. Itu dibutuhkan untuk memastikan kebijakan-kebijakan yang mengakomodasi kepentingan perempuan bisa direalisasikan.
”Kami mengajak masyarakat sipil seperti Aisyiyah, Fatayat, dan organisasi perempuan lainnya untuk turut dalam perjuangan ini,” ujarnya.
Di tempat terpisah, setelah hampir sebulan disahkan DPR, UU Pemilu akhirnya secara resmi diberlakukan. UU tersebut telah diundangkan dan kini menjadi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Kini KPU maupun Bawaslu sudah bisa menggunakan UU tersebut sebagai dasar dalam memulai tahapan pemilu. Kepastian itu disampaikan Juru Bicara Presiden Johan Budi S.P. saat ditemui di kompleks istana kepresidenan kemarin (21/8).
’’Tanggal 16 (Agustus) langsung diundangkan, masuk lembaran negara berarti,’’ terangnya.
Dengan demikian, lanjut dia, UU itu sudah resmi berlaku. Sebelum diundangkan, tutur Johan, ada beberapa revisi yang dilakukan terhadap UU tersebut. Dia memastikan revisi itu tidak menyentuh substansi, melainkan hanya bersifat redaksional.
”Misalnya, ada kata-kata yang kurang pas. Itu sudah dikoordinasikan antara Setneg dan DPR sebelum 16 Agustus,’’ lanjut mantan juru bicara KPK tersebut.
Karena itu, penyelenggara pemilu saat ini sudah mulai bisa bekerja menggarap tahapan pemilu karena dasar untuk itu sudah ada. Selain itu, waktu penyelenggaraan pemilu makin dekat. Merujuk pada jadwal pemungutan suara 17 April mendatang, berarti waktu efektif persiapan penyelenggaraan pemilu tinggal 20 bulan atau 609 hari sejak diundangkan. (jpg/kox)
Sumber: Koran Jawa Pos, Selasa, 22 Agustus 2017