Kesakitan YY dan Kita Yang “masih” Sakit

Dusun Ditapal Batas Provinsi

Pesawat Nam Air yang harusnya terbang pukul 13.15 WIB dari Soekarno-Hatta International airport itu mengalami penundaan selama 45 menit. Pukul 13.50 WIB akhirnya petugas mengumumkan bahwa pesawat siap diberangkatkan, diuar sana warga Jakarta sedang bersiap-siap merayakan akhir minggu yang sedikit panjang dari biasanya.

Penerbangan menuju Lubuk Linggau menempuh waktu 1 jam lebih 15 menit. Meski dengan sedikit guncangan akhirnya pesawat mendarat mulus di Lubuk Linggau – Sumatera Selatan. Lokasi bandara ini terpaut 45 menit dari tempat dimana YY, gadis 14 tahun di Rejang Lebong, secara sadis telah diperkosa dan dibunuh oleh 14 orang laki-laki.

Taufik dari PSI Lubuk Linggau telah menunggu dipintu terminal Bandara yang baru saja diresmikan itu. Sengaja kedatangan Tim PSI tidak melalui Bengkulu, karena akan memakan waktu tiga jam. Lebih singkat dari Linggau Sumatera Selatan. Dari bandara kami langsung menuju Kantor Polsek Padang Ulak Tanding (PUT), disana kami telah mengatur pertemuan dengan Bripka Triono, Kanit Intelkam Polsek PUT, Rejang Lebong. Bro Muharram dan beberapa pengurus DPW dan DPD PSI Provinsi Bengkulu sudah menunggu. Hanya mampir sejenak di Kantor Polsek kami langsung menuju ke rumah korban, disana orangtua, kepala desa dan camat sudah menunggu.

Menuju Tempat YY

Menuju rumah korban, sore sudah hampir berganti malam, jalan dengan pendakian curam, kelokan tajam ditambah kondisi jalan yang buruk mempersulit akses ke lokasi. Tidak semua kendaraan bisa melewati jalan seperti ini, waktu tempuh sekitar 20 menit, perlu sesekali berhenti berpindah ke gigi rendah, sekedar memastikan mobil tidak akan mundur sebelum mencapai puncak tanjakan. Ketika berpapasan dengan kendaraan lain, salah satu harus mengalah untuk memberi jalan pada yang lain.

Rumah jarang-jarang, kadang beratus meter sebelum mendapati rumah berikutnya. Asap dari dapur tampak tipis menghiasi atap-atap rumah yang dilewati. Lalu rumahpun tak tampak lagi, kini hanya hutan dan jurang di sebelah kiri, juga semak belukar dan pohon karet disebelah kanan jalan. Suasana sore dengan cahaya jingga, ditambah suara gesekan daun pohon karet yang tumbuh dibibir jurang curam disebelah kiri jalan yang sempit. Disinilah, dibawah jurang, disela pohon karet dan tanaman bercampur belukar, 14 orang laki-laki melakukan perbuatan biadab, memperkosa dan membunuh YY, gadis 14 tahun yang masih duduk dibangku SMP. Sedikit menoleh kearah hutan yang ditunjuk oleh petugas Polisi, hanya bayangan pohon yang semakin memudar, menjadi bayangan hitam tanda Maghrib menjelang dan malam sebentar lagi akan turun. 

Kami semua terdiam, saya tahu nafas panjang yang dihela masing-masing kepala yang tertunduk adalah selarik nafas doa untuk YY. Berada sangat dekat dengan lokasi pembunuhan YY, rasa bercampur aduk, mendengar berita itu saja membuat kita marah, tapi disini begitu dekat, membuat bayangan dari Jakarta menjadi pudar, YY menjadi begitu nyata.

Keadilan Diatas Pusara YY

Rumah itu berdinding papan yang disusun, sebagaimana rumah sekitarnya. Menuju kesana harus berjalan kaki sekitar 300 meter dari jalan utama, jalan setapak itu terlalu licin dan sempit untuk dilalui kendaraan bermotor. Dari jauh tampak rumah YY dengan terpal biru menjorok ke halaman rumah. Tikar anyaman sudah digelar dibawah terpal biru tersebut, sebelum memastikan siapa yang telah duduk disana kami harus melalui beberapa lelaki yang berdiri menyambut kami didepan pekarangan yang tidak berpagar.

Masuk ke bawah terpal, seorang perempuan berkebaya lusuh duduk sambal memegangi foto bergambar dua orang anak, satu laki satunya perempuan. Dialah ibu kandung YY, foto ditangannya adalah foto YY bersama saudara kembar laki-lakinya Yayan. Dia mempersilakan kami mengambil tempat. Tim PSI dari DPW Bengkulu saya persilahkan untuk mengambil tempat duduk. Beberapa pertanyaan langsung disambut oleh Ibu YY dengan jawaban-jawaban yang jernih dan jelas. Dari caranya berbicara tidak terlihat keraguan, suaranya menggetarkan, tidak ada nada meratap, dia tidak lagi bisa menangis, pedihnya terlalu melampaui yang bisa dia lukiskan dengan kata-kata. Dia memang tidak punya hak menggantikan YY untuk menuntut keadilan, namun siapakah yang paling mendekati sakit dari kehilangan YY? Dialah yang melahirkannya dengan sobekan bagian tubuhnya sendiri. Dari semua yang lahir, hanya Ibunya yang paling tepat menuntut keadilan.

Ibu YY mengulangi apa yang dia nyatakan disamping pusara YY “Hei YY liat ibumu ini Nak, yang lahir dan besarkan kau, sampai kini keluar apa yang hendak kumakan. Masih sakit hati ini, hancur rasanya kau dibeginikan orang. Kalaulah kematianmu wajar mungkin tidak sesakit ini, atau anggaplah mereka tepikan mayatmu tanpa dirusak, mungkin masih tidak begini rasanya.” 

Sebagian yang hadir tak tahan untuk tidak menitikkan airmata, kamera ditangan saya bergetar. Tapi ibu YY tidak menagis “Sudah habis airmata ini, ingat mereka perlakukan kau seperti binatang. Mereka ikat kau dengan kacu merah putih, mereka perkosa, …” (bagian ini tidak akan diteruskan karena berisi detail kejadian pemerkosaan dan pembunuhan YY yang dilakukan dengan sangat sadis diluar peri kemanusiaan). Bapak ibu, sampe kapanpun saya tidak terima kalau hanya 10 tahun. Saya mau mereka juga mati.” 

Kami Semua Sudah Seperti Keluarga

Semua terdiam, adzan maghrib semakin menambah lirih suasana, tidak terasa airmata jatuh. Siapa juga yang tidak menangis mendengar kebiadaban itu terjadi. Ketika ditanyakan soal pelaku si Ibu sedikit merendahkan suaranya “Mereka itu semua tetangga dusun disini, saling kenal baik kami dengan orang tuanya, bahkan sudah seperti keluarga. Makanya mungkin mereka lagi sibuk atau entahlah, sehingga tidak sempat datang kerumah ini. Tapi past mereka akan datang, tinggal waktu saja.”

Ketika ditanya apakah dia tidak menaruh dendam pada orang tua pelaku? “Saya tidak ada urusan dengan orangtua mereka. Jika mereka datang kemari, saya terima dengan tangan terbuka dan dada lapang. Tapi keadilan tetap harus kami mintakan atas perlakuan anak-anak mereka. Anak mereka juga harus mati, paling tidak penjara seumur hidup.”

Ibu YY melanjutkan “Barang bernyawa anak saya ini, seumur hidupnya dia anak yang pintar, bangga saya sebagai seorang Ibu. Meski saya miskin begini, anak gadisku mau menjadi guru. Tidak ada saya batasi pergaulan dia, Pak Pendeta disini juga sayang sama dia, karena YY selalu menunjukkan gambar pahlawan, lalu YY minta diceritakan tentang pahlawan itu. Begitu juga dengan pengurus Masjid, ini ada guru mengajinya disini hadir.”

Kalaulah Ditanya, Saya Ikhlas!

Mata ibu YY seakan menerawang jauh, tidak ada marah, suaranya mengalir kuat namun dingin ditelinga yang mendengarkan. “YY, sekarang Bapak Ibumu sudah bukan kami lagi. Bapak Ibumu datang dari seluruh Indonesia Nak. Kalaulah ditanya apa saya iklhas? Siapa yang berani menentang kehendak Tuhan? Ikhlas se-ikhlasnya hati saya. Doakan YY Bapak dan ibu seluruh Indonesia, semoga YY bisa jadi pelajaran, hukuman berat bagi pelaku, bukan lagi manusia perbuatan mereka itu, melebihi binatang bahkan.”

Kami tak mau lagi melanjutkan, sejenak para tamu berdiri, saya sempatkan menengok ke dalam rumah papan itu. Cahaya redup dari dalam menerangi sepetak rumah berlantai tanah. Ada sedikit tangga keatas, mungkin lantai berikutnya adalah tempat untuk tidur. Disanalah YY lahir, tumbuh dan menjadi gadis. Namun YY tak sempat pulang kerumah, hari itu sepulang sekolah, 14 laki-laki telah membunuhnya.

Tugas Rumah Pak Kelas 

Sebelum pulang, saya sempatkan mengobrol sedikit dengan Pak Kelas, Kepala Dusun Kasie Kasubun. Dusun itu terdiri dari 631 Kepala Keluarga, mayoritas beragama Islam, yang Kristen hanya 17 KK. Selama ini mereka hidup damai, baik yang asli dari Dusun Kasie Kasubun itu, atau yang pendatang dari Belitung Selatan maupun Transmigran asal Jawa. Tidak pernah ada persoalan.

Arak juga sejak lama ada, namun mereka benar-benar terkejut ketika 14 orang yang menurut Polisi sedang mabuk akibat menenggak arak itu, bisa melakukan kebiadaban terhadap gadis sekampungnya sendiri yang masih berusia 14 tahun. “Orang-orang datang setelah kejadian itu, ada yang menakut-nakuti dan menyarankan saya tinggal diam. Namun saya tidak bisa, semua saling kenal satu sama lain, mungkin nanti setelah proses hukumnya selesai, saya akan coba bawa orangtua pekaku kerumah YY, itu sudah tanggungjawab saya.”

Kami berpamitan pada Ibu YY dan semua yang hadir disana, termasuk Pak Kelas sang Kepala Dusun. Tugas Pak Kelas tentu berat, namun bukan berarti tugas kita sendiri menjadi ringan. Bukan hanya warga dusun yang terkejut, anak-anak mereka menjadi pelaku, anak mereka menjadi korban, fenomena apa semua ini?

Tugas Kita

Kita tidak sedang mendengar sebuah dongeng atau fiksi dari negeri antah berantah. Kita membaca, mendengar, menonton kisah tragis tentang YY terjadi didekat urat nadi leher kita. Pelaku juga adalah mereka yang hidup dan bernafas pada air dan udara yang sama dengan kita. Apa yang terjadi pada YY bisa terjadi pada kita, pada anak kita, pada tetangga kita sendiri.

Rasanya menyalahkan minuman keras terlalu sederhana. Kita setuju, mereka yang menjual minuman keras pada anak dibawah umur harus diganjar hukuman setimpal. Tapi jauh lebih dalam, mari coba kita renungkan darimana inspirasi kekejaman dan kesadisan datang merasuki kepala anak-anak dusun yang terpencil di Rejang Lebong-Bengkulu itu? Kita tentu harus jujur mengakui bahwa kita belum cukup serius dalam memproduksi konten-konten mendidik di televisi yang merupakan teman paling setia bagi anak kampung putus sekolah. 

Disana sinetron yang mengumbar iri dan kedengkian, konflik tak berujung yang kadang diulang-ulang agar melahirkan sensasi kemarahan, tapi tanpa disadari juga menginspirasi sebagian orang. Bentuk kekejian yang sebenarnya tidak terjadi di dunia nyata, malah menjadi inspirasi bagi anak yang menyangka di kota sana hal yang sama telah terjadi. Lalu kahidupan yang glamour yang diumbar hanya melahirkan frustrasi sosial, betapa jauh, betapa terpinggir, betapa rendah mereka dibanding kehidupan kota yang gemerlap itu. Lalu jadilah minuman keras menjadi jawaban.YY menjadi korban dari akumulasi semuanya, sungguh kepergian YY adalah puncak gunung es dari semua problem sosial itu.

Sekolah, Lapangan Kerja dan Isi Kepala Laki-laki

Bukankah ada sekolah gratis? Mengapa mereka tidak bersekolah? Satu lagi tuduhan yang sering kita paksakan karena kita menggunakan kepala kita yang bias kota Jakarta. Sebagai anak dusun, melihat setiap hari orangtua mencangkul tanah, mengangkati batu dari sungai adalah semacam kenyataan yang harus mereka hadapi. Pertanyaannya untuk apa bersekolah jika akan berujung seperti mereka? Bisa dihitung berapa orang yang bisa menjadi guru atau polisi? 

Selebihnya kembali sepeti semula. Sekolah tanpa lapangan pekerjaan adalah rumus yang keliru dari sistem pendidikan kita. Sekolah bukan untuk memberikan daya kreatif dan daya untuk memahami dan memecahkan dunia. Sekolah kita disiapkan untuk mencetak buruh dan pekerja yang tunduk pada manusia lainnya. 

Semua itu harus kita benahi, YY adalah puncak kekurangajaran kaum laki-laki kepada perempuan. Hal ini bisa kita temui setiap jam di bus-bus kota kereta api, tatapan penuh birahi dan suitan tanpa rasa hormat, sebagian bahkan berani mencolek fisik. Ini semua bukan karena pakaian perempuan, bukan karena wangi-wangian yang digunakan perempuan, juga bukan karena jam kerja yang larut sehingga mereka masih berada dijalan hingga malam hari. 

Semua itu bukan alasan untuk memperkosa perempuan, yang menjadi masalah adalah kedangkalan berpikir yang sudah diwariskan beratus-ratus tahun, melalui budaya, agama, pendidikan formal, dunia kerja bahkan oleh negara, bahwa perempuan adalah perwujudan dari syaitan. Bahwa Perempuan adalah sebab dari akibat dikeluarkannya Adam dari sorga. Bahwa perempuan adalah mereka yang hanya pantas di dapur-kasur dan sumur, warga negara kelas dua yang antara dilindungi, dijaga kehormatannya, disanjung dan dikekang sudah tak punya beda dalam makna dan praktik hidup sehari-hari.

Kesakitan YY dan Kita Yang Masih Sakit

Inilah YY yang menjerit dari dalam hutan Dusun Kasie Kasubun- Rejang Lebong. Jeritan yang lahir dari kesakitan atas penyiksaan dan perkosaan yang tidak dikehendakinya. Jeritan yang jika kita tidak juga terbangun karenanya, maka sesungguhnya kita sedang dalam keadaan mati sebagai sebuah bangsa. YY boleh mati ditangan 14 orang laki-laki, namun kematiannya adalah tanda bahaya, bahwa keadilan sedang digugat, Negara dan kita semua sedang dituntut untuk segera sembuh dari kebasnya kepekaan sosial kita. 

Perempuan Indonesia sedang dalam masalah, laki-laki Indonesia sedang sakit parah. Berikan hukuman yang seberat-beratnya bagi pelaku, berikan keadilan dan kehormatan bagi YY dan keluarganya. Berikan Kesetaraan dan keadilan untuk seluruh perempuan Indonesia. Terkhusus kesembuhan bagi seluruh laki-laki yang masih menyimpan bentuk-bentuk paham lama dikepala mereka, sekarang juga ikut membangun masyarakat yang menghormati hak-hak perempuan, bukan hanya dalam tindakan dan Bahasa, tapi sejak dalam pikiran.

Recommended Posts