Rubrik Diskursus – Koran Solidaritas Edisi VI, Desember 2015
Oleh: Ramli Hussein (Pimpinan Redaksi Koran Solidaritas)
Kepo Demi Bangsamu!
Solidaritas Relawan dan Cita-cita Tentang Pemilu Jurdil
Demokrasi Digital adalah Anak Kandung Teknologi dan Politik Partisipatif
Tiang pancang demokrasi Indonesia dimulai ketika digelar Pemilu 1999 sebagai Pemilu pertama pasca Orde Baru. 32 tahun lamanya Pemilu hanya instrumen untuk melegitimasi rejim Orde Baru. Untuk menjalankan kekuasaan, jelas Orde Baru tetap membutuhkan Pemilu. Pertanyaanya, mengapa selama 32 tahun lamanya, tidak muncul partisipasi publik untuk mengawal jalannya Pemilu? Mengapa semua orang diam membisu, ketika di setiap Pemilu Golongan Karya menang dengan angka fantastis? Jawabannya mudah saja, semudah laras senapan membungkam mulut anda jika mencoba berbeda dengan garis kekuasaan.
Kembali ke Pemilu 1999, suasana euforia mewarnai kegembiraan politik saat itu. Golongan Karya hampir saja bubar jika tidak muncul sosok Akbar Tanjung dan B.J Habibie datang menyelamatkan. Ya wajar saja mereka lihai dalam mengayunkan pedang politik, selama 32 tahun mereka mengontrol kekuasaan dengan bersanding dengan Militer. Orang-orang yang tadinya bungkam, berbondong-bondong ke TPS, tingkat partisipasi pemilih mencapai angka 92,5%, ini melebihi tingkat partisipasi Pemilu 1955 (Pemilu terakhir sebelum Soekarno menerbitkan Dekriti dan sebelum Orde Baru berkuasa) yang hanya mencapai angka 91,4%. Di masa Orde Baru, tingkat partisipasi memang fenomenal, nyaris semua diatas 95%, bahkan hampir tidak masuk akal, diatas angka 95%, tapi orang diarahkan memenangkan Golkar.
Pemilu 1999 adalah tonggak sejarah kembalinya kegembiraan politik publik. Setelah puluhan tahun dikepung oleh ketakutan, kini mereka bisa masuk ke bilik-bilik suara dengan pilihan sendiri, tanpa campur tangan orang lain, tanpa tekanan dari pihak lain untuk memilih partai tertentu. Inilah hari yang dinantikan, Indonesia di jalan Demokrasi. Selain tingkat partisipasi yang tinggi, berbagai inisiatif mengawal potensi kecurangan di Pemilu 1999 juga muncul, baik dari nasional maupun internasional.
KIPP Sang Pemula dan Inspirasi dari Manila
Februari 1995, Rustam Ibrahim begitu bersemangat kembali ke Indonesia, rupanya gonjang ganjing politik di Manila membuat dirinya terisnpirasi. NAMFREL (National Citizen’s Movement for Free and Fair Election) adalah inisiatif masyarakat sipil di Filipina pada tahun 1983, pasca terbunuhnya Benigno Aquino yang terkait dengan semakin panasnya oposisi melawan Ferdinand Marcos menjelang Pemilu 1984. NAMFREL merekrut relawan untuk memantau jalannya Pemilu dengan kekuatan 500 ribu relawan dan dukungan organisasi masyarakat sipil dan pengaruh gereja Katolik yang sejalan dengan NAMFREL untuk meewujudkan Pemilu yang jujur dan adil. NAMFREL mendapatkan akreditasi resmi dari pemerintah untuk mengakses TPS dan melakukan penghitungan cepat. Terdapat perbedaan perhitungan antara NAMFREL dan versi pemerintah, pemerintah menuduh NAMFREL partisan dan dibiayai oleh asing. Tentu Ferdinand Marcos adalah pihak yang paling menginginkan NAMFREL dibubarkan. Untuk menghindari tudingan ‘dibiayai asing’ yang gencar dipropagandakan oleh Marcos, para relawan NAMFREL mengumpulkan dana sumbangan sukarela dari publik. Ini juga untuk menjaga independensi gerakan NAMFREL dan meningkatkan kepercayaan publik sebelum Pemilu berlangsung.
Pada tahun 1985, sesaat setelah pemungutan suara, NAMFREL mengumumkan kemenangan Corazon Aquino sebagai Presiden mengalahkan Marcos berdasarkan versi hitung cepat. Namun pemerintah mengumumkan hal berbeda, Marcos dinyatakan menang dan terpilih kembali sebagai Presiden. Keberhasilan NAMFREL tidak hanya dalam hal menggalang dukungan relawan dan sumbangan dana publik. Rakyat percaya bahwa pemerintah Marcos bertindak curang dan mengakali hasil Pemilu, ini membuat banyak kemarahan dan akhirnya menjadi alasan kuat bagi Menteri Pertahanan Filipina Juan Ponco Enrile untuk memimpin sebuah kudeta militer yang akhirnya menjatuhkan Marcos, dan menyerahkan kursi Presiden kepada Corazon Aquino.
NAMFREL adalah contoh baik partisipasi masyarakat dalam mengawal agar Pemilu tetap jujur dan adil. Tidak berhenti disitu, reputasi NAMFREL yang baik membuat banyak aktivisnya dipercaya memegang posisi penting di pemerintahan. Selain itu NAMFREL menjadi sebuah payung bersama gerakan sosial di Filipina yang membawahi 100 lebih organisasi keagamaan, buruh, petani, professional, perempuan untuk terus menyuarakan pentingnya Pemilu yang jujur dan adil.
Kita kembali ke Rustam Ibrahim yang sedang bersemangat. Ketua LP3ES itu baru pulang dari Manila menghadiri konferensi yang digelar NAMFREL. Baginya NAMFREL adalah referensi politik baru, selain karena mendekati Pemilu 1997, Indonesia dan Filipina juga punya kemiripan dalam konteks sosial politik. Bersama beberapa orang, dirinya lalu menginisiasi berdirinya KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu). Setelah melewati beberapa pertemuan akhirnya KIPP resmi berdiri pada awal Januari 1996 untuk mengawal Pemilu 1997 yang diperkirakan akan penuh dengan kecurangan. Diketuai pertama kali oleh Goenawan Mohammad dan dipilih sebagai Sekjen adalah Mulyana W. Kusumah. Dalam barisan pengurus lainnya ada beberapa nama seperti Chatibul Umam Wiranu, Muhammad Najib Sinulingga, Saut Sirait, Beathor Suryadi, Budiman Sujdatmiko dan Andi Arief.
KIPP mendapatkan dukungan yang luas, tercermin dari susunan nama di Dewan Pertimbangan duduk Nurcholis Madjid, Adnan Buyung Nasution, mantan Gubernur DKI dan Petisi 50 Ali Sadikin, Arbi Sanit, Arif Budiman, Marsilam Simanjuntak dll. Jelas tugas KIPP tidak ringan, Pemilu 1997 sudah di depan mata, rejim Orde Baru dalam kondisi linglung karena dihantam krisis ekonomi. Penggunaan kekerasan sangat mungkin terjadi, petinggi TNI sudah memberikan sinyal penolakan. Kasospol ABRI Sjarwan Hamid dan Menhan Eddy Sudrajat merespon dengan nada negatif bahwa keberadaan KIPP tidak dibutuhkan dan inkonstitusional. KIPP tidak mendapatkan akreditasi dari pemerintah sebagaimana NAMFREL, begitu juga dengan rekruitmen dan pendidikan relawan yang harusnya dilakukan dengan baik tidak berjalan seperti direncanakan. Kerusuhan 27 Juli meletus di Jakarta, situasi ini membuat ruang gerak KIPP semakin sempit. Pemerintah dan TNI semakin memperketat pengawasan terhadap suara-suara kritis: media di bredel, penculikan terjadi, sensor bacaan dan film diperketat, beberapa aktivitas organisasi masuk daftar ‘terlarang’ termasuk KIPP didalamnya.
Jika tidak keliru, sepanjang 1996 KIPP berhasil mengumpulkan sekitar 12 ribu relawan, mendirikan cabang di 47 kota di 16 propinsi juga dua cabang di luar negeri, yaitu di Kuala Lumpur – Malaysia dan Berlin – Jerman. Gerakan KIPP segera tertahan, KIPP dituduh memiliki hubungan yang kuat dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dituding sebagai dalang kerusuhan 27 Juli. Bukan kebetulan jika beberapa aktivis PRD memang juga adalah pengurus dan pendiri KIPP. Ketika itu PRD secara organisasi memang mendukung penuh berdirinya KIPP, termasuk setelah mempelajari kasus NAMFREL di Filipina. Beberapa aktivis KIPP lalu juga ikut menjadi target penangkapan.
Meski akhirnya KIPP tidak sukses sebagaimana NAMFREL di Filipina, namun KIPP berhasil memecahkan lumpuhnya daya kritis publik terhadap Pemilu. KIPP memang tidak memiliki akses ke bilik pemungutan suara, sehingga KIPP hanya bekerja mencatat kecurangan Pemilu yang berisikan 10.000 kecurangan Pemilu 1997 yang dilakukan oleh Golkar, ABRI dan Birokrasi. KIPP menyatakan bahwa Pemilu 1997 tidak jujur dan tidak adil, sehingga tidak memiliki legitimasi. KIPP adalah Sang Pemula keterlibatan masyarakat menjadi relawan untuk mengawal jalannya Pemilihan Umum. KIPP menginspirasi menjamurnya organisasi serupa dalam Pemilu 1999 pasca kejatuhan Soeharto. Sepanjang tahun 1998, mengikuti jejak KIPP, tercatat dua organisasi relawan pemantau yang lahir menjelang Pemilu 1999 yakin UNFREL (University Network for Free Election) yang merupakan jaringan 14 universitas. UNFREL memilih Todung Mulya Lubis sebagai koordinatornya dan memiliki sekitar 100.000 relawan. Lalu lahir Forum Rektor yang diinisiasi oleh 174 Rektor Perguruan Tinggi Se-Indonesia dengan kekuatan sekitar 200.000 relawan.
Hilangnya Daya Ideologis Parpol dan Era Marketing Politik
Seiring semakin membaiknya sistem Pemilu dan penyelenggara Pemilu, maka kehadiran relawan tidak lagi begitu menarik. Terbukti pada Pemilu 2004, jumlah organisasi pemantau tidak lagi massif seperti ketika Pemilu 1997 dan 1999. DItariknya TNI/Polri dari ranah politik juga menjadi salah satu sebab berkurangnya kekhawatiran terjadinya kecurangan Pemilu. Akses informasi yang terbuka seiring sejalan dengan media massa dan televisi yang semakin bebas, membuat kontrol berupa kehadiran fisik para relawan menjadi tidak begitu dibutuhkan lagi. Peraturan Pemilu mengenai saksi dari partai politik dan calon kandidat menciptakan sistem saling kontrol terhadap hasil perolehan suara. Kecurangan menjadi mudah di identifikasi dengan dikuatkan oleh sistem administrasi pemungutan suara yang ketat.
Isu teknis sepanjang Pemilu 2004 dan 2009 bergeser ke arah Money Politics ketika kampanye, korupsi oleh penyelenggara Pemilu yang akhirnya menyeret beberapa nama Anggota KPU ke pengadilan. Juga isu tekni seputar kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu, rebut mengenai daftar pemilih sementara dan tetap, berikut persoalan waktu cetak dan pendistribusian surat suara yang terlambat. Pergeseran persoalan tersebut membuat kehadiran relawan untuk memantau kecurangan dalam Pemilu 2004 dan 2009 menjadi tidak signifikan.
Demokrasi Indonesia memasuki fase baru, tidak ada lagi euforia berlebihan dari pemilih seperti tahun 1999. Hal ini dibuktikan dengan turunnya jumlah partisipasi pemilih dari 92,5 % di Pemilu 1999, menjadi 84,1 % pada Pemilu 2004 dan terus turun menjadi 70,9 % pada Pemilu 2009. Belum lagi angka Golput yang semakin tinggi berkisar 15-35% hingga Pemilu 2009. Hal ini banyak disebabkan karena ketidakmampuan Partai Politik membaca perubahan dan perilaku pemilih. Lalu jawaban praktis muncul menjelang 2004, jawabannya dibawa oleh Lembaga-lembaga Kajian dan Konsultan Politik yang mengkombinasikan pendekatan statistik survei dan teori-teori marketing dan branding, yang juga diperkuat oleh teknologi periklanan di media massa. Fase 2004 hingga 2009 ini banyak disebut sebagai era politik pencitraan. Perbedaannya 2004 banyak melibatkan tim sukses, di tahun 2009 nyaris peran tersebut diambil alih oleh konsultan professional. Model ini semakin diperkuat dengan konteks politik ideologi yang semakin melemah seiring dengan keraguan publik terhadap pilihan demokrasi. Kasus korupsi dan kasus-kasus lainnya membuat Pemilu Indonesia lesu dari inisiatif partisipasi publik.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tahun 1999 menggunakan konsultan komunikasi Soedarto & Noeradi PR (SNPR) juga Golkar sudah bekerjasama dengan Ida Sudoyo & Associates (Akhmad Danial, 2009). Lalu ini berlanjut di tahun 2004, bahkan rumah produksi berlomba untuk menerjemahkan gagasan politik kandidat maupun Partai menjadi sebuah visualisasi iklan dengan durasi tertentu. Televisi dan Media cetak dipenuhi oleh iklan kampanye politik. Mungkin situasi ini sejalan dengan apa yang dikatakan Charles-Maurice de Talleyrand, seorang diplomat ulung asal Perancis “Dalam perpolitikan, apa yang menjadikan keyakinannya akan lebih penting daripada apa yang sebenarnya terjadi.” Iklan politik yang dibuat secara professional tersebut bukanlah realitas politik, artinya pemilih dipaksa berpindah dari pertimbangan ideologis rasional kepada sesuatu yang “bukan realitas” atau imajiner.
Bisa kita lihat tayangan televisi dan media cetak ketika berlangsung Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2004. Hasil hitung cepat menjadi alat kontrol baru, pembentukan opini publik secara bertingkat dan konsisten, serta teknik pendampingan untuk pemenangan perseorangan atau parpol adalah metodologi yang juga digunakan NAMFREL ketika mengawal Pemilu Filipina. Perbedaannya terletak di soal hubungan kerjasama antara aktor politik dan aktor professional. Jasa konsultan politik tidak bisa diabaikan dalam era demokrasi sepanjang 2004 hingga 2014. Lembaga Survey Indonesia (LSI), FOX Indonesia, Ligkaran Survey Indonesia, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Pol-Mark, Cyrus Network dll adalah nama-nama yang seringkali menjadi rujukan media massa dalam perhitungan cepat hasil Pemilu. Tentu kita tidak lupa dengan kemenangan Partai Demokrat dan SBY di tahun 2009 yang membawa FOX Indonesia melambung, juga PKB yang sudah diujung tanduk lalu ditangani oleh SMRC malah melonjak menjadi salah satu parpol papan atas.
Banyak tuduhan miring (seringkali tanpa bukti) mengenai keberadaan konsultan politik tersebut, apalagi jika berkenaan dengan kehadiran konsultan abal-abal yang kadang hanya mengandalkan relasi ketimbang penguasaan metodologi ilmiah. Namun diluar itu kehadiran konsultan politik yang memiliki kredibilitas baik merupakan langkah maju. Ternyata demokrasi Indonesia tidak membutuhkan waktu lama untuk mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi, fenomena survei/polling, adu strategi dan taktik, adu ketepatan periklanan adalah hal yang positif untuk memberikan informasi kepada publik ditengah ketidakmampuan Partai melakukan fungsi edukasi politik. Tentu dibutuhkan masyarakat yang kritis sebagai prasyarat lain agar demokrasi menjadi lebih berkualitas. Konten pesan yang dikirim kepada publik tidak langsung dicerna begitu saja, masyarakat kritis memerlukan rasionalitas sebagain senjata utama menjatuhkan pilihan politiknya. Disini fungsing media massa yang kredibel dan beritegritas sangat dibutuhkan. Media sosial adalah cerita berbeda yang masuk di tahun politik 2014.
Kisah Ainun dan Jokowi
Pemilu legislatif 2014 menjadi sangat panas, pertanyaan mendasar mengenai pilihan Partai Politik menyertakan satu pertanyaan sisipan “siapa calon Presiden dan Wakil Presidennya?” Lalu semua orang, tidak terkecuali mereka yang awalnya cuek dengan diskusi politik, tiba-tiba berada dalam kondisi masyarakat yang terbelah ke dalam dua kubu menjelang Pilpres 2014. Tentu kita masih ingat betul setiap detail perdebatan di masa itu. Ada tiga hal yang berpengaruh besar saat itu: Media massa, Media sosial dan Tim Sukses. Media massa konvensional seperti Televisi, Koran dan Radio sebagai agen informasi bukan lagi menjadi pemain tunggal di arena politik. Fenomena tarung politik bahkan lebih panas berlangsung di media sosial. Bukan kisah dibuat-buat jika salah satu yang disebut-sebut sebagai penentu kemangan Jokowi adalah keunggulannya di media sosial. Berikut dukungan politik yang tercipta dari media sosial tersebut.
Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada kemampuan penerima pesan (audiens) dalam hal ini pemilih, untuk melakukan konfirmasi dan interaksi dengan si pengirim pesan. Baik di televisi maupun di media cetak, para penonton dan pembacanya tidak bisa melakukan konfirmasi terhadap konten yang dikirim, juga tidak bisa sekedar melakukan koreksi jika terjadi kekeliruan tayangan atau konten berita. Semua berlangsung satu arah. Sementara media sosial menawarkan tingkat interaksi, konfirmasi, koreksi dan afirmasi antara pengirim pesan dengan penerima. Interaksi langsung bisa berlangsung sangat panas. Jika terjadi kekeliruan konten, publik media sosial akan langsung bereaksi. Proses interaksi ini akhirnya mampu menciptakan kredibilitas dan integritas politik.
Di media sosial, anda sulit melakukan rekayasa tanpa ada protes dari pihak lain. Konten media massa cenderung melewati satu verifikasi informasi oleh redaksi, karenanya meski media sosial bisa lebih cepat dan interaktif namun dalam hal tingkat kepercayaan mengenai informasi tetap menjadi milik media konvensional. Titik damai diantara keduanya bernama media online. Di media online, kredibilitas informasi yang dimiliki media konvensional bisa berkomprmi dengan akselerasi informasi yang cepat dan tepat sasaran yang dimiliki media sosial.
Jokowi berhasil memenangi Pilpres 2014, namun cerita yang paling seru terjadi di hari H pemilihan Presiden ketika beberapa stasiun televisi menayangkan hasil Hitung Cepat yang berbeda. TVOne dan MNC Group menayangkan data dari beberapa lembaga survei yang memenangkan pasangan Prabowo dan Hatta. Sementara MetroTV, TransTV, NET TV, SCTV, Indosiar menayangkan data lembaga survei yang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Publik yang sudah sejak awal terbagi dalam dua kubu menjadi kehilangan pegangan. Diskusi berlanjut bukan lagi soal menang-kalah, tapi bergeser ke pertanyaan benar-salah atau valid-invalid. Yang bertarung bukan hanya kandidat calon, tapi juga para tim sukses, relawan, artis, media massa, dan juga lembaga survei. Kekacauan informasi ini terus mewarnai masa-masa pasca Pilres, kedua kubu mengklaim kemenangan mereka, publik tersesat di kebisingan informasi yang begitu cepat tanpa bisa melakukan konfirmasi kebenaran.
Ditengah kebingungan itu muncul sosok Ainun Najib penggagas KawalPemilu.org yang menyajikan data perolehan suara secara faktual (real count). Ainun tidak sendiri, dua orang lagi adalah Felix Halim yang bekerja di kantor pusat Google di Amerika Serikat, sementara Andrian Kurniady juga bekerja di Google Sydney Australia. KawalPemilu.org juga diperkuat oleh sekitar 700 Netizen yang bekerja menginput data Formulir C1 sebagai bukti faktual keabsahan perolehan suara di TPS. KawalPemilu.org adalah gerakan pemantauan baru ketika masyarakat Indonesia kebingungan harus mempercayai hasil Quick Count yang dipublikasikan oleh Lembaga Riset dan juga media massa. Apalagi saat itu, media juga terpecah dalam keberpihakannya kepada kepentingan pemilik media. Ainun dkk adalah kisah lain dari pemantauan Pemilu di abad digital. Pemantauan CrowdSourcing yang melibatka setiap orang yang ingin berpartisipasi mengawal terwujudnya Pemilu yang Jujur dan Adil.
Era Kepo Pemilu: Koalisi Kekuatan Marjinal Menjadi Kekuatan Penentu
Momentum Pemilihan Presiden tahun 2014 membuat semua pihak tersentak, betapa masyarakat kita sudah begitu dewasa dalam berdemokrasi. Tidak benar bahwa apatisme telah menghinggapi sebagian besar warga negara Indonesia. Itu benar-benar hanya asumsi dan tuduhan tanpa bukti. Publik pemilih akan menunjukkan keberpihakannya, bahkan tanpa diminta, jika di depan matanya berlangsung konspirasi kejahatan dengan begitu telanjang. Inisiatif akan muncul bersama partisipasi yang kekuatannya bisa tidak terduga. Telah banyak kita saksikan bagaimana reaksi publik media sosial menyatakan perlawanan dan penolakan terhadap upaya pendongkelan beberapa pemimpin yang mereka cintai. Sebut saja Ahok di Jakarta, ketika DPRD sedang berupaya menggagalkan Ahok sebagai Gubernur DKI, berbagai upaya dilakukan, bahkan dengan menggunakan serangan berbasis Agama dan Ras. Namun publik media sosial membela dengan meluncurkan #SaveAhok yang kemudian menjadi Trending Topic Dunia di jagad Twitter. Atau sebut saja Risma di Surabaya, atau Ridwan Kamil di Bandung yang selalu mendapatkan apresiasi dan pembelaan di media sosial.
Jagad politik sedang bergerak bersama inovasi teknologi komunikasi digital. Mungkin tidak lama lagi dunia cetak mencetak spanduk dan baliho akan mulai digantikan oleh berbagai platform di media digital. Gadget telah menggantikan Televisi sebagai primadona alat mengirim dan menerima pesan. Bisa kita bayangkan, ketika hanya dalam waktu tidak lebih dari 15 menit sebuah aksi protes bisa dirancang melalui sebuah Group WhatsApp. Tidak lebih 90 menit berikutnya para penggagas aksi protes atas keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang menggelar Sidang Tertutup atas kesaksian Setya Novanto itu, telah berada di depan ruangan siding MKD di Senayan, lengkap dengan konsep Press Release. Pola komunikasi politik yang semakin efisien, mulai meninggalkan pola komunikasi yang birokratis dan penuh protokoler, menjadikan publik kembali bergairah. Politik tidak lagi menjadi barang mewah yang dipajang di etalase mall sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat ekonomi lemah. Politik kembali memperoleh gairahnya, dari semua untuk semua.
Ketika publik mendapatkan kembali kepercayaan dirinya sebagai Warga yang memiliki Hak untuk menentukan nasib bangsanya. Maka bukan hal yang sulit untuk mengajak mereka melakukan kontrol terhadap kekuasaan. Ini yang terjadi ketika PSI, Change.org dan KawalPilkada.id meluncurkan sebuah gerakan dengan hashtag #KepoinPilkada 9 Desember 2015. Respon publik cukup baik, karena gerakan ini mengajak pemilih untuk berpikir cerdas dan kritis dalam menentukan pilihan politiknya dalam Pilkada yang berlangsung di 269 Kabupaten/Kota tersebut. Ini fenomena baru, ketika sebuah gerakan pemantauan yang didukung oleh kredibilitas penggasnya dan juga kreativitas penyampaian pesan politiknya bersanding bersama, maka publik langsung merespon dengan cepat.
Media sosial dulu disebut sebagai Dunia Maya atau tidak nyata (unreal), sementara Pemilih juga hanya dilihat sebagai tidak lebih kertas suara. Lebih jahat lagi, kertas suara itu bisa diperdagangkan oleh para penyelenggara Pemilu. Banyak kejadian dimana kandidat tidak perlu lagi membeli suara langsung dari rakyat, tapi langsung ke penyelenggara Pemilu dengan harga yang jauh lebih murah, “ngapain eceran kalo bisa grosiran” prinsip mereka. Dengan inisiatif dan dukungan partisipasi publik di setiap momentum politik, maka disitu akan mulai terbentuk mekanisme kontrol baru. Relasi kekuasaan baru, dimana rakyat bukan lagi sebagai obyek, tapi menjadi subyek langsung dari kekuasaan.
Media sosial dan pemilih adalah sama -sama merupakan subyek marjinal yang dulunya hanya bisa menonton dari pinggir gelanggang. Ternyata di alam gerakan digital seperti seperti KawalPemilu.org dan #KepoinPilkada 2015 rakyat menemukan dirinya menjadi penentu berakhir tidaknya sebuah kekuasan, rakyat baru merasakan dirinya sepenuhnya adalah Raja yang memilih pelayan-pelayannya. Jaman baru telah datang, jaman KEPOnya orang-orang kreatif, jaman pemilih yang tercerahkan. Di era seperti ini, kepala suku utamanya adalah : create, upload, share dan engage. Buat semua yang kita mau, upload secara bertanggungjawab dengan menyertakan sumber materi, berbagilah kepada publik agar pihak lain bisa merasakan dan memberikan penilaian terhadap sesuatu yang kita buat. Terakhir, jikalah langkah sebelumnya berhasil mendapat simpati publik, maka engagement atau keterlibatan bukanlah hal yang sulit untuk didapatkan. Gerakan #KepoinPilkada adalah gerakan melawan korupsi dan intoleransi.