Kenapa Tolak Revisi UU KPK

Rencana merevisi UU KPK kembali digulirkan oleh DPR. Berbagai argumentasi dikeluarkan untuk menjustifikasi perlunya revisi UU KPK tersebut. Membaca bocoran draft revisi, ada indikasi kuat beberapa pasal yang cenderung melemahkan peran KPK. Selama ini KPK merupakan institusi pemberantasan korupsi yang menjadi harapan rakyat guna memutus rantai korupsi di negeri ini. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggelar diskusi Forum Media untuk mendiskusikan mengapa revisi UU KPK harus ditolak. Hadir sebagai pembicara Zainal Arifin Mochtar dari Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, Tama S. Langkun (ICW), Bambang Widjojanto (mantan komisioner KPK) dan Grace Natalie (Ketua Umum PSI). Diskusi yang dimoderatori oleh Andi Saiful Haq (Direktur Intrans) itu sedianya dihadiri oleh musisi sekaligus aktivis sosial Melanie Soebono, tetapi berhalangan hadir. Diskusi yang dihelat pada Rabu (17/2) di Kedai Tempo Utan Kayu tersebut dipenuhi pengunjung yang sebagian besar kalangan jurnalis.

Barter Revisi UU KPK dengan RUU Tax Amnesty?

Revisi UU KPK masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2016 di DPR. Saat ini draft revisi sudah dibahas di tingkat Badan Legislatif (Baleg) DPR dan akan diajukan dalam rapat paripurna, Kamis (18/2). Zainal Arifin Mochtar menengarai adanya kesepakatan terselubung antara DPR dan pemerintah di balik rencana revisi tersebut. “Harus dipastikan adanya barter atau tukar-menukar revisi UU KPK dengan tax amnesty (Pengampunan Pajak),” kata Zainal. Semula revisi UU KPK adalah inisiatif pemerintah dan RUU Tax Amnesty inisiatif DPR, tetapi sekarang kondisinya terbalik.

Menurut Zainal, substansi revisi yang ditolak sebetulnya tidak ada yang baru, karena sudah diusulkan sejak 2008. “Empat poin itu sudah basi,” tutur Zainal. Poin pertama tentang keberadaan Dewan Pengawas KPK yang kewenangannya terlalu besar. Persoalannya, siapa yang mau mengawasi Dewan Pengawas. Di lembaga seperti KPU memang ada pengawas internal berupa DKPP, tetapi tugasnya hanya menegakkan etika, tidak sampai masuk ke soal pemilu. Hal ini berkait ke poin kedua tentang kewenangan penyadapan. Selama ini bukan hanya KPK yang melakukan penyadapan, ada instansi lain yang juga berhak melakukan, tetapi mengapa KPK yang selalu disasar. “Jika dibilang penyadapan itu melanggar HAM, instansi lain juga melanggar, kalaupun mau diatur buat saja UU Penyadapan,” kata Zainal. Poin ketiga tentang tidak adanya SP3. “Boleh saja ada SP3, asal KPK boleh menetapkan tersangka cukup dengan bukti permulaan,” kata Zainal. Poin keempat adalah tentang keberadaan penyidik independen.

Zainal meyakini pro-kontra revisi UU KPK bukan lagi ranah penegakan hukum, tetapi sudah masuk ke persoalan politik. Gerindra menolak revisi, disusul Demokrat dan PKS, dan anehnya partai-partai pendukung pemerintah malah kompak mendukung revisi. “Koalisi mau enaknya saja, minta jatah kursi kabinet, giliran revisi UU KPK mereka mempersulit posisi Presiden Jokowi,” komentar Zainal. Ke depan nanti Zainal meminta agar Presiden tidak cukup sekadar mengirim menteri ke DPR dengan cek kosong, harus disertai kisi-kisi pendapat Presiden. Bahkan jika sudah disepakati oleh pemerintah dan DPR, boleh saja Presiden menyatakan ketidaksetujuan.

Lima Alasan Mengapa Presiden Jokowi Harus Menolak Revisi UU KPK

Menurut Tama S. Langkun (ICW), revisi UU KPK berbahaya, karena bisa menciptakan dualisme kepemimpinan di KPK dengan keberadaan Dewan Pengawas. Penindakan bisa diintervensi, seperti perlunya izin penyadapan. “Kalau harus minta izin dari pengadilan, hakim MA saja kemarin-kemarin ditangkap KPK,” kata Tama. Usul Zainal untuk menyusun secara khusus UU Penyadapan diamini oleh Tama, sehingga penyadapan bisa diaudit. Tentang penyidik independen, saat ini KPK sudah melakukan rekrutmen penyidik di luar polisi dan jaksa, jadi sebaiknya tidak perlu diatur tersendiri dalam UU.

Tama merangkum dalam lima hal mengapa Presiden Jokowi harus menolak revisi UU KPK. Pertama, keinginan publik, seperti terungkap dalam sejumlah survei dan pernyataan para tokoh, mantan pimpinan KPK, dan kalangan guru besar. “Yang mendukung hanya minoritas,” kata Tama. Saat ini kepercayaan publik terhadap DPR sangat rendah, sehingga keinginan publik tidak boleh direduki menjadi suara DPR. Kedua, substansi revisi melemahkan KPK. Beberapa fraksi di DPR mengungkapkan hal yang sama, seperti dilontarkan Demokrat. Ketiga, dalam janji Nawacita, Jokowi mau memperkuat KPK, bukannya melemahkan KPK. Keempat, tidak ada alasan mendesak untuk dilakukannya revisi. “Jika DPR mau memperbaiki penegakan hukum, perbaiki saja KUHP, revisi UU Tipikor dan Pelepasan Aset,” usul Tama. Kelima, dikhawatirkan citra Presiden Jokowi akan rusak ke depannya jika revisi tetap dilakukan.

DPR sedang Membangun Orde Korupsi

Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengingatkan bahwa kelahiran KPK adalah tuntutan dari semangat reformasi. Dalam Ketetapan MPR tahun 1998, disebutkan adanya tuntutan hati nurani rakyat agar penyelenggara negara harus tegas memberantas korupsi. Dikuatkan lagi dalam Tap MPR tahun 2001, agar semua peraturan yang melindungi KKN harus dicabut, diganti atau diubah. “Sekarang malah mau melegitimasi korupsi, ini melawan Tap MPR. Tidak pantas orang-orang itu disebut bagian dari Orde Reformasi, sebut saja mereka sedang membangun Orde Korupsi,” tandas Bambang menyindir DPR. “Katakan saja dengan jelas, jangan terselubung seperti kaum munafiqun,” kata Bambang.

Revisi UU KPK dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai konflik kepentingan, terbukti dari ditangkapnya anggota DPR dari berbagai fraksi oleh KPK. “Jadi bukan hanya barter, tetapi konflik kepentingan,” kata Bambang. Selain itu Bambang juga menganggap adanya diskriminasi kebijakan antara pemberantasan korupsi dengan terorisme. Seperti halnya komitmen pemerintah menangani terorisme, Bambang berharap kewenangan KPK juga ditambah, begitu pula dengan pendanaannya. “Agar logis dan historis,” tutur Bambang, merujuk pada prestasi sepuluh tahun terakhir pemberantasan korupsi dan terorisme. Bambang mengutip survei yang menyebut mayoritas anak muda menolak revisi UU KPK. Kategori anak muda pada rentang usia 20-40 tahun jumlahnya mencapai 80 juta. Jika diperlebar jadi 15-45 tahun, jumlahnya 120 juta. “Masa depan Indonesia ditentukan oleh anak muda,” tegas Bambang. Persoalannya, keinginan DPR untuk merevisi UU KPK itu mewakili siapa.

Tentang kewenangan KPK untuk merekrut penyidik, best practices di tingkat internasional jelas-jelas membolehkan KPK untuk melakukannya. Saat ini dibutuhkan penyidik dari banyak bidang, mengikuti perkembangan modus operandi korupsi. “Jika tidak ada para ahli, bisa-bisa korupsi  di sektor jasa keuangan dan infrastruktur tidak mampu ditangani KPK,” kata Bambang. Antara tantangan yang dihadapi dengan kebijakan yang diambil dalam pemberantasan korupsi tampak tidak berkaitan. Bambang menunjuk tentang penyaluran dana desa, pembangunan infrastruktur dan sektor maritim, yang tidak disertai dengan mekanisme pengawasan. “Ada 70 ribu desa di Indonesia, kalau diperlukan 3 polisi untuk tiap desa, apa perlu direkrut polisi sebanyak itu?” ujar Bambang.

PSI Siap Bersama Gerindra dan Demokrat Tolak Revisi UU KPK

Saat ini tingkat kepercayaan publik terhadap DPR dan partai politik sangat rendah, karena dinilai lekat dengan praktik-praktik korupsi. “PSI bertekad untuk menjaga semangat anti-korupsi,” kata Grace Natalie. Saat ini PSI sedang membangun struktur di daerah-daerah untuk pendaftaran di Kementerian Hukum dan HAM. Dalam rekrutmen kader, PSI mensyaratkan usia maksimal 40 tahun dan belum pernah aktif di partai mana pun. “Memangnya bisa dijamin akan lurus, tentu saja tidak, tetapi PSI mulai dengan bahan baku yang baik, yaitu anak-anak muda yang belum terkontaminasi money politics,” kata Grace dengan yakin. PSI berusaha untuk membangun model baru yang dapat ditiru oleh partai-partai yang sudah ada. Agar berjalan sehat, partai politik seharusnya dimiliki bersama, didanai oleh publik. “Kami sedang membuat kartu keanggotaan PSI yang dijual kepada kader,” ungkap Grace. Jika nanti PSI berhasil menempatkan wakil-wakilnya di DPR atau DPRD, pengurus partai tidak boleh memegang jabatan administratif.

Terkait revisi UU KPK, Grace menganggap korupsi adalah kejahatan luar biasa, sehingga harus pula ditangani secara luar biasa. Dalam hal ini, oleh KPK. “Kabut asap dan banjir yang terjadi di daerah-daerah ada kaitannya dengan izin-izin kehutanan dan perkebunan yang dikelola dengan cara-cara yang korup,” kata Grace. Korupsi tidak hanya memperkaya diri pelakunya, tapi juga menyusahkan banyak orang. Sebagai partai baru yang belum punya wakil di parlemen, PSI mengapresiasi partai-partai yang menolak revisi. Sebaliknya, PSI berharap rakyat mencatat partai-partai yang belum insyaf dan mendukung revisi untuk tidak dipilih lagi pada Pemilu 2019. Menurut Grace, ini adalah kewajiban bersama, jangan terlibat dalam persekongkolan jahat di DPR. Dalam wawancara usai diskusi, Grace menyatakan PSI yang merupakan partai baru siap bekerja sama dengan partai-partai yang sudah menyatakan menolak revisi UU KPK, seperti Gerindra dan Demokrat.

 

Sumber Foto: Metrotvnews.com / ANTARA/Widodo S. Jusuf

 

Recommended Posts