Plt Ketua Umum DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Giring Ganesha
Dua hari yang lalu melalui unggahan akun Instagram, saya mengkritik Gubernur DKI Jakarta Mas Anies Baswedan karena melempar kesalahan pada curah hujan dan banjir kiriman sebagai penyebab banjir di Jakarta. Kritik itu kemudian menjadi kontroversi bagi sebagian orang karena menganggap saya kurang pantas, bahkan naif dan kerdil, sebagaimana yang disampaikan oleh senior saya, Sigit Purnomo atau yang lebih dikenal sebagai Pasha Ungu.
Untuk itu, melalui tulisan ini saya ingin merespons beberapa hal terkait kritik saya tersebut. Pertama, yang sampaikan kepada Mas Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta adalah kritik, bukan ujaran kebencian, apalagi dendam. Saya tidak menyerang Mas Anies secara personal, namun memberikan kritik secara subtantif berkaitan dengan upayanya sebagai orang nomor satu di DKI Jakarta dalam program penanganan banjir. Saya, sebagaimana juga penduduk Jakarta lainnya, memiliki hak dan kewajiban untuk menyampaikan kritik kepada pejabat publik yang telah disumpah dan bertanggung jawab untuk melayani warga yang dipimpinnya dengan sebaik-baiknya. Hak untuk menyampaikan kritik ini dijamin oleh konstitusi tanpa perlu terlebih dahulu memiliki pengalaman sebagai pejabat publik.
Kedua, sebagai Plt Ketua Umum DPP PSI, saya memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan aspirasi warga Jakarta. Mereka menyampaikan aspirasi kepada kami karena terdampak dan merasa dirugikan atas musibah banjir yang melanda Jakarta saat itu. Korban pertama banjir adalah rakyat, terutama rakyat kecil. Mereka yang kehilangan pekerjaan dan kesusahan karena pandemi, kini harus menanggung beban baru karena rumahnya terendam, tempat kerja mereka tidak bisa dipakai mencari nafkah karena banjir.
Dalam pemahaman saya, bukankah menghimpun aspirasi, mengartikulasi gagasan dan kepentingan masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan publik adalah fungsi esensial dari partai politik? Justru, sebagai Plt Ketua Umum PSI, saya merasa sangat naif dan kerdil bila abai terhadap aspirasi yang datang dari konstituen kami.
Ketiga, kritik saya kepada Mas Anies selaku Gubernur DKI Jakarta berbasis data. Pada banjir kemarin, data BMKG menunjukkan status pintu air di Bogor dan Depok normal. Artinya melempar kesalahan pada banjir kiriman adalah sebuah kekeliruan. Kemudian, mengganti program normalisasi menjadi naturalisasi tapi terbukti tidak berjalan, hanya menjadi wacana di atas kertas. Mas Anies sudah menyia-nyiakan tiga tahun sebagai gubernur dengan bekerja jauh dari optimal. Di luar itu, Jakarta adalah simbol nasional, simbol Indonesia. Merepresentasikan negeri kita. Banjir berulang di ibukota adalah aib nasional.
Kritik saya juga lahir dari perbincangan intensif dengan anggota Fraksi PSI di DPRD DKI Jakarta. Mereka melihat persoalan dari dekat: terjun langsung ke lapangan dan bertemu para stakeholders, termasuk warga Jakarta.
Kritik adalah fondasi penting bagi demokrasi. Tentu, saya dan teman-teman di PSI tidak akan memaksa orang lain untuk memiliki pandangan seperti kami. Perbedaan pandangan justru adalah dinamika yang dapat mendewasakan dan memperkuat demokrasi Indonesia. Kita dapat bersama menjaga demokrasi ini tetap hidup dan berjalan secara sehat di Indonesia melalui pengawasan dan penyampaian kritik yang konstruktif bagi penyelenggaraan pemerintahan, baik pusat dan daerah. Bukan dengan caci-maki atau menyerang seseorang secara personal.
Terakhir, dalam keyakinan politik saya, kritik adalah cara untuk memperbaiki arah kebijakan publik. Agar kita tidak terjatuh berulangkali pada tragedi yang sama, agar banjir tidak menjadi hal rutin di ibukota. Agar kita tidak menganggap banjir sebagai takdir. Kritik adalah cara kita belajar agar kelak tidak lagi salah memilih pemimpin.