Kebinekaan Suatu Nilai Lingkungan Hidup di Indonesia

Fakta Keberagaman Indonesia
Suatu kebetulan yang tidak disengaja nampaknya bahwa Hari Kebangkitan Nasional yang dirayakan tanggal 20 Mei berdekatan dengan Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia yang dirayakan tanggal 22 Mei. Mari meninjau sedikit tentang Keanekaragaman Hayati (Kehati) di Indonesia.

Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2013 dengan luas Indonesia yang hanya 1,3% daratan dunia, Indonesia memiliki 17% dari seluruh mahluk hidup yang ada di bumi. Terdapat sekitar 28.000 jenis tumbuhan, 400 diantaranya merupakan spesies endemik (hanya ada di Indonesia), 7.500 adalah tumbuhan yang merupakan bahan baku obat, yang merupakan 10% dari tumbuhan obat yang ada di dunia.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada tahun 2011 juga mencatat Indonesia memiliki 6000 jenis tumbuhan/tanaman bunga, 707 jenis mamalia, 1.602 jenis burung, 1.112 jenis amfibi dan reptil, 2.800 jenis invertebrata, 120 jenis kupu kupu dan 35 jenis primata. Laut Indonesia tidak kalah keanekaragaman hayatinya 45% ikan di dunia hidup di perairan Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan melaporkan bahwa Indonesia memiliki 1.400 jenis ikan dan 450 jenis terumbu karang (dari total 700 jenis di dunia). International Union for Conversation of Nature (IUCN) mencatat Indonesia memiliki banyak sekali spesies endemik, 259 jenis mamalia, 384 jenis burung, dan 173 jenis amfibi dan reptil.

Melihat fakta keanekaragaman hayati tersebut wajarlah juga jika di Indonesia juga memiliki fakta kebhinekaan budaya. Badan Pusat Statistik dan Institute for Southeast Asian Studies (ISEAS) berhasil mengelompokkan 633 suku besar di Indonesia. Para ahli bahasa (Etnologue) pada tahun 2015 mencatat ada 7.102 bahasa dituturkan di seluruh dunia dan 707 bahasa (10%) dituturkan di Indonesia. Melihat fakta ini semua, maka keberagaman atau kebhinekaan adalah keniscayaan atau hakikat dari dunia, terlebih di Indonesia. Bagi mereka yang beriman atau beragama dapat melihat hal ini bahwa Tuhan menciptakan keberagaman.
Diskusi Keberagaman Lingkungan Hidup dan Negara
Lalu bagaimana sikap lingkungan hidup terhadap keberagaman tersebut? Bagaimana alam menghadapi keberagaman? Apakah di alam jenis spesies ini saling meniadakan? Apakah di alam mereka saling baku hantam dan menyingkirkan satu sama lain? Jawabannya adalah tidak!

Di alam seluruh spesies bahu membahu untuk mempertahankan satu nilai, yaitu kehidupan itu sendiri. Hal ini sejalan dengan sejarah Indonesia dimana dimulai dengan terbentuknya Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908, lalu bermunculan berbagai organisasi pemuda kedaerahan yang bersatu dalam kongres pemuda, dan menghasilkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 sebagai nilai bersama untuk diperjuangkan ditengah keberagaman. Nilai bersama ini pada nantinya mewujudkan diri dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sebagai sebuah Negara Republik Indonesia.

Tapi bagaimana mungkin alam tidak saling meniadakan, kita melihat sendiri para predator di alam membunuh binatang lain, apakah itu bukanlah suatu peniadaan? Apakah itu tidak bisa disetarakan dengan perang? Bukankah itu meniadakan kehidupan? Hal ini dapat dijawab hanya jika kita memahami lebih jauh tentang lingkungan hidup, dan bagaimana cara alam berkerja. Ambilah contoh seekor macan, binatang yang buas, pemangsa, kita sering melihat bagaimana macan mengambil binatang lain misalnya rusa sebagai makanannya, yang dalam prosesnya seakan akan mempertontonkan kekerasan atau arogansi. Padahal yang terjadi sungguh bukan itu, macan menjaga kelestarian kawanan rusa tersebut.

Perlu diketahui, macan memiliki daya jelajah yang sangat luas, dan macan tidak pernah menetap di suatu wilayah, sepanjang hidupnya macan selalu berkelana, macan membuat jalur memutar di hutan, seperti jarum jam, dan baru akan kembali ke suatu wilayah setelah 10 tahun. Dengan cara ini macan tidak membuat kawanan rusa di suatu wilayah menjadi punah, membunuh semua rusa di wilayah tersebut seakan akan macan dendam kepada rusa dan ingin mengenyahkan rusa sampai tidak satupun rusa hidup di hutan. Macan tidak melakukan agresi dalam artian menghabisi jenis lain sampai punah sampai akhirnya hanya macanlah yang ada di hutan.

Tapi macan membunuh rusa, bukankah itu tanda bahwa membunuh memang dicontohkan oleh alam? Jawabannya adalah macan tidak membunuh dalam artian dendam dan atau kebencian seperti yang dilakukan manusia terhadap sesama manusia. Macan hanya meminjam energi kehidupan dan bukan hanya macan yang membunuh, kita pun setiap hari membunuh puluhan pohon padi, kentang, gandum, bawang, tebu, setiap harinya kita membunuh ayam, ikan, sapi. Lihatlah betapa mulianya ikan, ayam, sapi, padi, kentang, gandum yang telah mengorbankan nyawanya bagi kehidupan kita, yang telah meminjamkan energi kehidupan kepada kita, tapi kita bahkan sering membuang-buang makanan, membuang energi kehidupan, membuang nyawa sia-sia.

Alam tidak membuat kebodohan dengan membunuh atas dasar kebencian dan dendam, pembunuhan tidak didasari pada ketakutan ataupun kekuasaan. Jika kita masih ingat pelajaran tentang rantai makanan, bagaimana padi dimakan tikus, tikus dimakan kucing, lalu kucing dimakan elang. Yang terjadi bukan pembunuhan atas nama dendam dan kebencian, namun tikus membunuh padi untuk meminjam energi kehidupan dari padi, tikus pada nantinya akan mengembalikan energi kehidupan dengan memberikan nyawanya pada kucing dan begitu seterusnya sebagai bentuk solidaritas kehidupan. Saat seekor burung memakan buah, biji buah tersebut tidak hancur di perut burung, burung membawanya ke tempat lain, lalu biji tadi nantinya bersama dengan kotoran burung kembali ke tanah, kotoran burung akan menjadi pupuk bagi biji yang jatuh ke tanah, yang pada nantinya biji ini akan menjadi pohon lain yang akan menghasilkan lebih banyak buah untuk dimakan lebih banyak burung. Meminjam energi tidak berkahir dengan pembantaian, tapi berakhir dengan kehidupan.

Kewajiban Merawat Keberagaman
Begitu pula kita yang beragam ini telah memberikan energi kekuasan (melalui pemilu) kepada satu nilai, kepada satu negara, agar negara memelihara setiap perbedaan budaya yang ada di Indonesia. Kekuasaan yang telah negara pinjam dari rakyatnya haruslah dikembalikan kepada rakyatnya dalam bentuk kesejahteraan rakyat dan perlindungan terhadap hak asasi setiap warga negara.

Hal ini memerlukan interpretasi baru terhadap keberagaman dan keseragaman, yang “bhineka” dan yang “ika”. Keseragaman hadir bukan dalam tujuan meniadakan yang beragam. Belajar dari alam kehadiran elang tidak meniadakan kawanan kucing, kawanan tikus dan tumbuhan padi, melainkan dengan energi yang diberikan pada elang, ia merawat kehidupan semua kawanan. Elang adalah bioindikator (tanda) bahwa ekosistem hutan masih lengkap, artinya jika masih ada elang, semua jenis spesies lain di hutan masih ada (tidak ada yang punah).

Kehadiran bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bukan dalam intensi untuk meniadakan bahasa daerah yang 707 itu (dimana 146 bahasa terancam punah), bahasa Indonesia justru hadir supaya setiap bahasa tersebut tetap lestari. Bahasa Indonesia lahir untuk mewujudkan solidaritas bersama, rasa kesatuan ditengah perbedaan bahasa, karena itu penutur bahasa yang berbeda meminjamkan energi kepada bahasa Indonesia, kita juga menuturkan bahasa Indonesia supaya dapat berbicara dengan orang yang berbeda daerahnya, namun bukan berarti bahasa Indonesia hadir untuk menggantikan bahasa daerah. Ke-ika-an tidak hadir untuk meniadaakan ke-bhineka-an, justru sebaliknya yang ika hadir untuk memelihara yang bhineka.

Tentunya pelajaran berharga dari lingkungan hidup Indonesia ini diharapkan dapat menjadi inspirasi, karena saat ini banyak wacana untuk mendukung keseragaman dengan cara meniadakan atau mengenyahkan keberagaman. Hal itu bertentangan dengan fakta lingkungan hidup dan budaya Indonesia yang beragam. Alam serta sejarah Indonesia membuktikan bahwa energi kehidupan ataupun kekuasaan memiliki kewajiban untuk memelihara keberagaman, dan keseragaman adalah alat untuk mewujudkan hal itu. Tanah air, bangsa dan bahasa Indonesia yang satu adalah alat untuk memelihara keberagaman suku dan bahasa, belajar dari alam, itulah jiwa “Bhineka Tunggal Ika”.

Salam Solidaritas,

Mikhail Gorbachev Dom
Kepala Bagian Riset Akademik di Institut Humor Indonesia Kini, Dosen Prodi Arsitektur Lanskap FTSP ISTN,
Peneliti di Pusat Riset Perkotaan & Wilayah UI

Recommended Posts