Ada pesan dari pertukaran baju adat antara keduanya. Bisa benar, bisa salah. Tapi saya melihat ini semacam simbol keragaman, bahwa seharusnya sebagai bangsa, kita satu sama lain melebur menjadi satu, melewati batas kesukuan.
Presiden Jokowi berdiri di depan podium, menceritakan keberhasilan sebagai bangsa dibawah kepemimpinannya dan tantangan yang sama-sama kita hadapi. Seusai membacakan pidato kenegaraannya, sang Presiden membungkuk hormat kepada wakil-wakil rakyat yang berada di gedung MPR ketika itu.
Seorang Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan membungkukan badannya kepada seluruh hadirin yang ada di ruangan itu. Tidak, ia tak memisahkan bungkuk hormat itu hanya kepada pendukungnya. Ia menunjukkan rasa hormat kepada semuanya tanpa terkecuali, termasuk orang-orang yang hobi menuduh dan mengucap kata-kata yang kadang terkesan menghina dirinya.
Sayang bentuk penghormatan yang demikian hebatnya itu berbalas dengan doa yang disusupi pesan politik di dalamnya. Politisi Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring mendoakan agar Presiden Jokowi gemuk karena kini terlihat semakin kurus. Tak lupa Tifatul Sembiring juga menyindir Presiden karena isu kriminalisasi ulama, garam, dan hutang yang belakangan ini sering digaungkan.
“Tanamkanlah rasa sayang di dada beliau kepada rakyat, cinta kepada umat, menghormati dan mencintai para ulama yang istiqamah. Sebab ulama itu adalah pewaris Nabi SAW. Tunjukilah beliau ya Allah agar tetap berlaku adil sebagai pemimpin negeri yang kami cintai ini. Bantulah Presiden kami ini ya Allah dalam menghadapi permasalahan bangsa yang berat ini ya Allah, di tengah-tengah persaingan dunia yang kadang kejam dan tanpa belas kasihan. Di tengah hutang yang masih bertumpuk, garam berkurang, sementara harapan rakyat sangat tinnggi untuk kemakmuran tinggi,” begitulah potongan doanya. Selengkapnya silahkan lihat di sini.
Entah apakah ini sudah menjadi semacam tradisi di dalam setiap forum pidato kenegaraan. Yang jelas, 16 Agustus 2016 lalu, tepat dalam forum yang sama, politisi Gerindra bernama Muhammad Syafii juga berdoa secara politis.
“Jauhkan kami dari pemimpin yang khianat yang hanya memberikan janji-janji palsu, harapan-harapan kosong, dan kekuasaan yang bukan untuk memajukan dan melindungi rakyat ini, tapi seakan-akan arogansi kekuatan berhadap-hadapan dengan kebutuhan rakyat.” Ya, potongan doa politisi Gerindra tersebut pada tahun 2016 lalu di hadapan Presiden dan Wakil Presiden yang ketika itu hadir. Itulah salah satu potongan doa Muhammad Syafii di hadapan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2016 lalu.
Sama seperti doa Tifatul Sembiring, doa ini juga dikritik oleh banyak pihak karena dianggap politis.
Dia, ya dia, yang dituduh otoriter itu, yang dituduh diktaktor itu, tak marah. Hanya diam. Hanya senyum. Kalau mau, ia bisa menegur panitia penyelenggara untuk memastikan yang berdoa tak mengungkit-ungkit urusan politik apalagi mayoritas anggota DPR yang juga anggota MPR itu merupakan partai politik pendukung pemerintah, tapi ia membiarkannya, tak mengintervensi. Karena itu, kejadian yang sama terulang di tahun 2017, doa lagi-lagi dipolitisasi. Tapi itulah Joko Widodo, ia menempatkan porsinya sebagai Presiden dan menghargai mitra kerjanya untuk mengatur acara tersebut sesuai keinginan mereka.
Tak perlu repot-repot ikut mengatur acara sidang tahunan yang menjadi agenda MPR tersebut. Presiden Jokowi lebih suka memastikan acara yang diselenggarakan Istana yaitu upacara peringatan 72 tahun kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 2017 meriah dan sukses.
Betul saja, upacara 17 Agustus kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kesan “angker” upacara dan Istana mendadak hilang. Pakaian adat dari Sabang sampai Merauke meramaikan upacara. Presiden seperti ingin menunjukkan kepada kita semua bahwa Istana adalah rumah keberagaman dan persatuan Indonesia.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya menteri, ketua umum partai politik, istri Kapolri, dan asisten ajudan memenangi kompetisi pakaian adat terbaik yang hadiahnya adalah sepeda. Iya, semua itu dilakukan di mimbar Istana, dikatakan dari mulut seorang Presiden, di acara resmi upacara kenegaraan 17 Agustus!
Wah, Pak Jokowi. Sungguh dirimu membuat upacara kali ini semacam perayaan yang menyenangkan. Saya jadi teringat kata-katamu ketika baru terpilih menjadi Presiden pada tahun 2014 lalu: “Politik adalah kegembiraan.”
Dua orang mantan Presiden yang pernah terlibat perselisihan politik pun bertemu. 10 tahun lamanya Presiden kelima Megawati Soekarno Putri tak menghadiri upacara 17 Agustus di Istana ketika Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin. Dua tahun terakhir, Presiden SBY memilih tidak hadir. Tapi tahun ini, angin segar dirasakan masyarakat, ketika keduanya sama-sama hadir dan bersalaman layaknya seorang pemimpin bangsa.
Upacara penurunan bendera di sore hari pun tak kalah seru. Di dekat pagar Istana, telah disediakan tempat khusus agar masyarakat umum bisa ikut menyaksikan berlangsungnya upacara tersebut. Setelah itu, yang terjadi adalah Paspampres yang kewalahan karena Presiden menyalami tamu undangan di bawah mimbar dan bahkan keluar dari pagar Istana untuk menyalami masyarakat umum yang melihatnya.
Sontak suasana menjadi histeris. Seorang ibu berpakaian putih loncat-loncat kesenangan ketika bisa berjabat tangan dengan sang Presiden. Persis seperti rockstar ya?
Kuis sepeda pun tetap ada di sore hari. Salah satu pemenangnya adalah seorang kepala suku Arfak dari Papua. Mengenakan pakaian adat khas Arfak, dirinya dengan bangga naik ke mimbar Istana menerima hadiah sepeda dari Presiden Jokowi. Semua tamu undangan bertepuk tangan. Momen yang mengharukan. Papua adalah kita.
Pak Jokowi, darimu, kami yang muda bisa banyak belajar bagaimana menjaga kerendahan hati sekuat apapun kita, menjadi sosok yang legowo meski dihina kanan dan kiri, dan menjadi seorang politisi yang tak hobi berkata tapi hobi bekerja.
Terima kasih Pak Presiden sudah membuat upacara Istana tak elitis lagi dan begitu merakyat. Semoga Bapak selalu dikaruniai kesehatan (Doa beneran, tulus, tanpa maksud politik apapun hehehe..)