Jelang Vonis Kasus Yahya Waloni, PSI: Tuntutan 7 Bulan Bagi Penghasut Terlalu Ringan

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengkritik rendahnya tuntutan jaksa terhadap terdakwa kasus penodaan agama Yahya Waloni sebagai bukti bahwa tindakan intoleran masih dimaklumi dan dimaafkan, bahkan pada level penegakan hukum. Pada  28 Desember 2021, Jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menuntut terdakwa kasus ujaran kebencian dan penodaan agama, Yahya Waloni, dengan pidana penjara tujuh bulan dan denda Rp 50 juta subsider satu bulan kurungan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengatakan penyesalan dan permintaan maaf yang disampaikan Yahya Waloni kepada umat Nasrani menjadi salah satu pertimbangan meringankan.

“Ini tidak mencerminkan rasa keadilan, tidak pula memberikan efek jera terhadap pelaku-pelaku intoleransi. Dibandingkan dengan kerusakan yang dihasilkan dari berita bohong dan ujaran kebencian yang tersebar, tuntutan tersebut sangat rendah,” demikian menurut Juru Bicara PSI Ariyo Bimmo dalam keterangan tertulis, Senin 3 Januari 2022. Bimmo berharap, menjelang dibacakan vonis, hakim melihat kasus ini secara proporsional dan tidak terpengaruh tekanan dari pihak manapun.

Pasalnya, PSI melihat tuntutan yang disampaikan jaksa inkonsisten dan diskriminatif bila dibandingkan perkara sejenis yang menarik perhatian publik. “Yang paling kontras adalah dengan tuntutan terhadap Ahok. Dengan mens rea yang gagal dibuktikan, Ahok dituntut hukuman lebih tinggi daripada Yahya Waloni. Bahkan divonis lebih berat oleh hakim,” ujar Bimmo. Menurutnya, sikap batin (mens rea) dari Yahya Waloni ketika melakukan penistaan agama dan ujaran kebencian lebih nyata dan mudah dibuktikan dibandingkan dengan kasus Ahok.

Terkait alasan yang memperingan tuntutan terhadap Yahya Waloni, PSI mengkritik hal tersebut tidak mencerminkan keadilan dan perlakuan yang sama di depan hukum. “Ahok juga minta maaf, bahkan sebelum kasusnya masuk ke pengadilan. Nah ini (Yahya Waloni), minta maaf setelah tahu kasusnya jalan terus di pengadilan,” tukas Bimmo. Perbandingan ini sekadar mengilustrasikan betapa kasus yang melibatkan unsur pidana yang sejenis diperlakukan secara berbeda. Bimmo menjelaskan bahwa selama pasal penodaan agama belum dicabut, maka penerapannya harus sangat berhati-hati dan sebisa mungkin melindungi korban minoritas.

“Pengadilan jangan sampai ikut main mata dengan intoleransi. Semoga hakim dapat bertindak adil dan memberikan hukuman yang pantas sesuai dengan kerusakan pemikiran dan kebencian yang telah terlanjur tersebar ke ribuan bahkan mungkin jutaan pemirsanya. Yang harus dihapus bukan cuma konten yang tersebar di dunia maya, tetapi pemikiran dan watak intoleran yang terlanjur tertanam. Hukum seberat-beratnya!”

Recommended Posts