Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menegaskan komitmen untuk menjadi mitra Nahdlatul Ulama (NU) dalam bekerja untuk bangsa dan negara Indonesia. Hal itu disampaikan Plt. Ketua Umum DPP PSI, Giring Ganesha, saat menjadi keynote speaker dalam diskusi virtual bertajuk “NU, Anak Muda, dan Islam Rahmatan lil Alamin” yang digelar DPP PSI untuk memperingati hari lahir ke-95 NU.
“PSI tidak hanya partainya anak muda, tetapi juga gerakan anak muda yang memiliki nafas perjuangan yang sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan ala NU. Oleh karena itu, PSI akan terus menjaga hubungan baik dengan NU untuk menjadi mitra kami dalam bekerja dan berkarya untuk bangsa dan negara Indonesia,” ujar Giring, Jumat 29 Januari 2021 malam.
Giring menambahkan, sebagai organisasi keagamaan terbesar, NU telah menginspirasi PSI untuk terus konsisten merawat kemajemukan dan memperjuangkan toleransi di Indonesia.
“Selain itu NU yang selalu mengedepankan Islam yang Rahmatan lil ‘Alamin, Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dan semesta yang secara langsung menjadi inspirasi kami sebagai partai yang terus memperjuangkan toleransi, keberagaman, dan solidaritas antar umat beragama. NU adalah salah satu garda terdepan dalam penyemaian nilai-nilai toleransi dan persatuan Indonesia yang berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika,” lanjut Giring.
Sementara itu, Ketua DPP PSI, Tsamara Amany, yang turut menjadi pembicara membagi pengalamannya ketika berinteraksi dengan para Kiai dan santri NU. Menurutnya, corak yang paling berkesan di dalam organisasi NU adalah keterbukaan pikiran dan progresivitas gagasan. Sehingga, NU bisa menjauhkan diri dari nuansa kekerasan dalam urusan berbangsa dan beragama.
“Yang saya suka dari tradisi di NU ini, kalau saya ketemu Kiai atau santri, dan memiliki perbedaan pandangan, mereka bisa berdebat dengan tenang dan kepala dingin, tanpa menganggap bahwa kita tidak sesuai dengan agama. Jadi ada diskursus dalam NU, di mana setiap orang diajak berpikir bukan hanya mengikuti satu pakem tertentu,” ujar perempuan yang sedang menempuh studi master dalam bidang Public Policy & Media Studies di New York University, Amerika Serikat, ini.
Lebih jauh, Tsamara mengatakan NU dan PSI punya banyak kesamaan pandangan dalam masalah agama dan politik, dan memungkinkan bagi keduanya untuk saling bekerja sama.
“Sejak berdiri hingga hari ini, PSI sebagai partai politik PSI tentunya ingin memperjuangkan nilai-nilai progresif, adanya kesetaraan gender, ada toleransi antar-seluruh umat beragama, kita ingin seluruh keyakinan agama itu dijamin hak-haknya,” lanjut dia.
Menanggapi moderator yang mempertanyakan keterkaitan konsep Islam Rahmatan lil Alamin dengan kepentingan perempuan, Pengurus PP Fatayat NU, Kartini Laras Makmur, menekankan bahwa Islam yang Rahmatan lil Alamin itu haruslah dimaknai sebagai upaya Islam melindungi hak-hak kaum perempuan dan memosisikan perempuan setara dengan laki-laki.
“Islam Rahmatan lil Alamin adalah konsep yang di NU itu dikenal juga dengan mubadalah, bahwa perempuan dan laki-laki harus ada kesalingan. Antara laki-laki dan perempuan, harus ada kesalingan, tidak ada yang mendominasi dan tidak ada yang tersubordinasi,” ucap akademisi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia itu.
Dalam diskusi yang dimoderatori Jubir PSI Mary Silvita itu, M. Kholid Syeirazi juga ikut menyoroti paham fundamentalisme dan konservatisme Islam yang cenderung menguat belakangan ini. Menurutnya, paham-paham itu justru akan menihilkan Indonesia sebagai rumah bagi seluruh agama.
“Indonesia dibentuk tidak hanya mewadahi kelompok Islam, tapi ini negara bersama. Karena itu, pekerjaan rumah terbesar saat ini, saya kira PSI sebagai partai politik harus punya konsep untuk menanamkan kepada generasi muda, bahwa Islam tidak bertentangan dengan konsep negara-bangsa, seperti Indonesia ini,” sebut Sekjen Ikatan Sarjana NU (ISNU) itu.
Pada kesempatan yang sana, pengurus PCI NU Belanda, Ahmad Afnan Anshori, memaparkan bahwa pemikiran dan tindakan Presiden ke-4 RI, K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, tentang kemanusiaan patut dijadikan pegangan bersama.
“Kita harus merujuk ulama-ulama terdahulu yang mengajarkan bahwa berpolitik itu harus santun, bahwa yang harus dibangun dan paling utama adalah kemanusiaan. Dalam hal ini, Gus Dur sudah memberikan contoh, bahwa ketika ada konflik politik, kemanusiaan harus menjadi prinsip tertinggi. Ia mundur dari kursi presiden karena tak ingin ada pertumpahan darah,” ujarnya.