Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mendukung rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Namun, PSI memberi sejumlah catatan penting, bahwa kenaikan iuran BPJS harus disertai peningkatan kualitas layanan kesehatan kepada masyarakat.
Dokter gigi yang juga mantan caleg PSI, Armelia Sari, mengungkapkan sejumlah kendala dalam pelayanan kesehatan seperti diatur oleh BPJS Kesehatan saat ini. Salah satunya adalah besaran dana kapitasi dokter yang dinilai sangat rendah, sehingga berimbas pada pelayanan kepada masyarakat.
“Jadi memang bagi kami, kalau bicara dokter gigi atau dokter umum juga mungkin, kami menyebut diri kami sebagai objek penderita. Karena memang dari BPJS Kesehatan ini ada beberapa hal yang membuat untuk kami sebagai dokter gigi berpraktik itu tidak bisa maksimal. Jadi biaya kapitasi untuk dokter gigi itu, 1 pasien kami itu dibayar 2 ribu rupiah,” papar Armelia Sari saat menjadi narasumber dalam diskusi bertema “Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan: Keniscayaan atau Kesempatan?” di Basecamp DPP PSI, Jl Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Jumat (20/09/2019) siang.
Anggota Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) itu lanjut menambahkan, ke depan BPJS Kesehatan perlu mengupayakan promosi gaya hidup sehat dan sosialisasi pencegahan penyakit kepada masyarakat.
Hal yang disampaikan Armelia bukan tanpa dasar. Dari data yang ada, skema penggunaan dana BPJS Kesehatan banyak habis untuk dana operator yang meliputi belanja modal dan belanja operasional, dan alokasi untuk dana jaminan sosial (biaya layanan, biaya kapitasi, dan biaya denda).
Untuk itu, ia mengusulkan BPJS Kesehatan perlu mengalokasikan dana untuk program promotif – preventif, bukan justru terpaku pada upaya kuratif semata seperti selama ini.
“Kalau semuanya diobatin, dan tidak ada usaha untuk mencegah. Padahal mencegah lebih baik daripada mengobati. Jadi edukasi dibutuhkan juga, BPJS Kesehatan harus mempertimbangkan juga dana ini sebagian untuk promotif-preventif,” katanya.
Senada dengan Armelia Sari, Indra Budi Sumantoro menilai, sudah saatnya unit-unit penyedia layanan kesehatan ambil bagian dalam inovasi kesehatan. Pada gilirannya, inovasi yang berbasis pada upaya promotif dan preventif tersebut, bisa menekan upaya kuratif dalam kehidupan masyarakat.
“Jadi sebenarnya di sini dibutuhkan justru dari pihak pengelola, puskesmas atau klinik itu sendiri, bagaimana ia melakukan inovasi dalam bentuk promotif-preventif, sehingga yang kuratif (pengobatan) itu bisa ditekan,” timpal calon anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) periode 2019-2024 itu.
Dalam forum yang sama, Aktuaris BPJS Kesehatan Ocke Kurniandi memaparkan beban utang BPJS Kesehatan kepada penyedia layanan kesehatan. Di Desember 2019, utang BPJS Kesehatan diproyeksikan mencapai Rp 32,8 triliun. Utang tersebut, konsisten naik sejak bulan Juli di level Rp 9,9 triliun, Agustus Rp 14 triliun, September merangkak ke angka Rp 18,6 triliun, Oktober di angka Rp 23,2 triliun dan November bakal mencapai Rp 28,4 triliun.
“Saat ini, kami punya utang sekitar Rp 14 triliun ke rumah sakit, belum dibayar. Kalau gak ada bantuan, gak ada (kenaikan) iuran, maka di akhir tahun kita perkirakan ada Rp 32 triliun. Bagaimana menyelesaikan utang ini? Kalau memang, nih kita nanti ngebayangin berapa tahun kemudian iurannya tetap jangan naik, kita collapse, tutup,” terang Ocke.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan, menurut Ocke, jadi satu-satunya jalan untuk menutup defisit anggaran. Terkait dengan kuatnya penolakan kenaikan iuran, ia khawatir, di tahun 2024 proyeksi defisit BPJS Kesehatan bisa tembus Rp 77 triliun jika iuran batal naik.
Kendati demikian, berbarengan dengan rencana kenaikan iuran di Januari 2020, pihaknya akan memastikan peningkatan pelayanan kepada publik. Salah satunya memperbanyak rumah sakit yang menerima pasien tanggungan BPJS Kesehatan.
“Kalau iuran naik, pasti akan lebih banyak lagi rumah sakit yang menerima pasien yang di-cover BPJS, karena asumsinya BPJS pasti bayar ke RS bersangkutan. Sehingga lebih luas lagi masyarakat yang merasakan manfaat BPJS Kesehatan,” imbuh dia.
Sementara itu, Idris Ahmad menjelaskan, ada tanggung jawab pemerintah daerah dalam pengelolaan dana BPJS Kesehatan sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Ia mencontohkan dengan strategi Pemda DKI Jakarta, yang berhasil menurunkan risiko defisit anggaran dalam skema jaminan kesehatan nasional (JKN).
“Di Jakarta ada solusinya, jadi ketika pasien kelas 2 menunggak 3 bulan, itu dia pindah ke kelas 3. Otomatis dibayarin langsung oleh PBI-nya,” tutur Ketua Fraksi PSI di DPRD DKI Jakarta itu.
Pandangan lain datang dari anggota Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Michael J. Latuwael. Ia menuturkan, sengkarut defisit anggaran ini tidak hanya disebabkan oleh persoalan internal BPJS. Melainkan turut melibatkan banyak pemangku kepentingan yang lain, termasuk pemerintah daerah.
“Setelah di dalami lagi, kelemahan itu tidak hanya datang dari BPJS Kesehatan. Tapi ada kontribusi dari seluruh stakeholder JKN,” tandasnya.
Kejadian itu, lanjut Michael, pernah tercermin dalam Hasil Audit Dengan Tujuan Tertentu BPKP yang menemukan bahwa ada total SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggara Tahun Berkenaan) dari dana kapitasi yang mengendap di seluruh Indonesia mencapai Rp 2,7 triliun.
Belajar dari hal tersebut, dibutuhkan kerja sama penuh dari Kepala Daerah dan seluruh perangkat pemerintah daerah untuk memastikan anggaran kesehatan dapat terserap dan digunakan secara tepat bagi masyarakat.