Intoleransi dan Korupsi Membebani Bangsa

Intoleransi dan korupsi akan terus menjadi permasalahan yang membebani upaya mewujudkan kesejahteraan bangsa Indonesia. Kondisi ini harus diatasi bersama oleh seluruh generasi muda demi memperkuat persatuan bangsa sesuai semangat Sumpah Pemuda dan Pancasila.

Hal ini mengemuka dalam diskusi bertajuk “Peran Pemuda Indonesia Merajut Nilai Kebangsaan di Tengah Ancaman Intoleransi dan Korupsi” yang diadakan Forum Diskusi Ekonomi Politik di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (29/10).

Diskusi itu dihadiri lima pembicara, yakni Ketua Dewan Penasihat Trade Union Right Center (TURC) Surya Tjandra, Ketua Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi Wahyu Effendy, Ketua Kebangkitan Indonesia Baru Taki Reinhard Parapat, man an komisioner Komisi Penyiaran Indonesia, Ezki Suyanto, dan aktivis sosial yang juga wartawan The Jakarta Post, Evi Mariani.

Surya mengatakan, masalah intoleransi dan korupsi kini semakin kompleks. Ketika pemberantasan korupsi, terutama di kalangan kepala daerah, belum berjalan tuntas, elite politik pun menggunakan isu populis untuk memenangi pemilihan kepala daerah (pilkada) meskipun hal tersebut dapat memicu perpecahan di kalangan masyarakat akibat intoleransi.

Menurut Surya, populisme terbukti efektif membangun sentimen masyarakat untuk menggalang dukungan. Jika populisme seperti itu tetap dibiarkan, kata Surya, isu tersebut akan terus berkembang selama tahun politik nanti pada 2018, yang akan berlangsung 171 pilkada. Eskalasi dampak negatif isu populisme dikhawatirkan membesar dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2019. Isu intoleransi yang terus berkembang demi kepentingan politik pada akhirnya akan memecah belah bangsa.

“Populisme tidak hanya menciptakan konflik vertikal dengan membangun ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Pada saat yang sama, masyarakat pun dipecah belah. Hal itu meniadakan fakta bahwa Indonesia lahir dari keberagaman,” kata Surya yang juga politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Evi pun mengungkapkan, mengatasi masalah populisme di tengah masyarakat itu tak cukup lewat seruan. Menurut dia, kesadaran terhadap kebinekaan harus benar-benar dibangun di tengah masyarakat karena faktanya pengaruh intoleransi terus merasuk dalam kehidupan masyarakat.

Wahyu mengingatkan, semangat Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 kini menjadi sangat relevan untuk terus dijalankan di tengah ancaman. perpecahan bangsa akibat isu intoleransi yang terus diembuskan sebagian elite politik. Belajar dari sejarah, menurut Wahyu, fenomena intoleransi yang berkembang sekarang sudah menyerupai politik pecah belah ala divide et impera yang dikembangkan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

“Isu rasisme dan sektarian memang efektif memecah belah masyarakat dan melindas semangat yang sudah ditegakkan dalam Sumpah Pemuda 1928. Rasisme pada politik tak akan menyelesaikan masalah bangsa. Sebaliknya keadilan sosial harus dikejar, tetapi bukan dengan melindas keberagaman,” ujarnya.

Berita bohong

Suburnya isu intoleransi, menurut Ezki, juga tak lepas dari kemajuan teknologi lewat kemampuan multimedia pada peranti telepon seluler pintar. Lej wat ponsel pintar, berita bohong atau hoaks dapat diproduksi dan diedarkan dengan cepat lewat media sosial.

Media sosial, lanjutnya, kini telah menggantikan fungsi rumah ibadah sebagai tempat para pemuka agama menyampaikan ajaran. Setiap orang bisa dengan mudah berbicara apa saja di media sosial karena bebas mengunggah semaunya Generasi milenial yang akrab dengan media sosial pun kemudian menjadi sasaran penyebaran hoaks atau pesan-pesan virtual yang intoleran.

“Kemajuan teknologi telah menghilangkan interaksi sosial secara langsung. Padahal, kepekaan sosial hanya tumbuh lewat interaksi langsung. Masyarakat lebih mudah berprasangka dan saling mencurigai. Setiap pihak yang berbeda paham dengan muI dah berkonflik di media sosial,” ujarnya Menurut Ezki, menjadi penting bagi orangtua untuk mendidik anak mereka agar lebih bijaksana mengakses media sosial. “Setiap orangtua harus mengetahui media sosial yang digunakan anak-anaknya dan mengamati isu yang mereka ikuti. Kebiasaan interaksi sosial pun harus kembali dihidupkan agar mereka memahami makna toleransi,” katanya. (MDN)

Sumber Harian Kompas, 30 Oktober 2017

Recommended Posts