Gangguan psikologis dan emosional yang dirasakan banyak orang selama pandemi Covid-19 merupakan hal yang wajar. Namun demikian, masalah itu harus diatasi. Hal itu disampaikan pendamping kesehatan mental, Anastasia Satriyo, M.Psi., Psikolog, dalam diskusi online bertema “Bahagia di Masa Pandemi? Ini Caranya” yang digelar Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
“Dari perspektif sebagai psikolog yang belajar kesehatan mental, respons-respons emosi yang kita alami saat ini adalah respons-respons emosi wajar untuk kondisi yang sangat tidak wajar,” kata Anastasia, Jumat 2 Juli 2021.
Perempuan yang kerap disapa Anas itu melanjutkan, setidaknya terdapat 13 gejala seseorang mengalami gangguan emosional selama pandemi, yang mirip dengan pandemic fatigue atau kondisi seseorang yang lelah akan ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi. Gejala paling umum muncul adalah mudah sedih, sering kelelahan dan depresi.
Anas juga menambahkan, gangguan emosional akibat pandemic fatigue pada diri seseorang, bila dibiarkan berlarut-larut, bisa membahayakan kesehatan mental.
Karenanya, kata Anas, masyarakat perlu membangun harapan dan optimisme untuk bertahan melewati pandemi. Salah satunya, membayangkan hal-hal menyenangkan yang akan dilakukan setelah pandemi Covid-19 ini berlalu.
“Mungkin buat kita mengingat kalau kita bisa melewati pandemi, ingat-ingat bisa nongkrong bareng, ngopi, nonton bioskop, atau sekadar jalan-jalan tanpa rasa takut itu rasanya apa sih. Jadi, that kind of meaning itu yang juga bisa membantu kita bertahan di kondisi sekarang ini,” imbuhnya.
Selanjutnya, Anas yang juga penyintas Covid-19 itu membagi pengalaman ketika mengalami brain fog (otak berkabut). Brain fog merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan perasaan yang terasa seperti melambat dari sisi mental dan kosong. Kondisi ini bisa terjadi dalam waktu lama, bahkan saat pengidap telah dinyatakan sembuh dari Covid-19.
Belajar dari pengalamannya, Anas mengajak masyarakat belajar menerima dan berdamai dengan kondisi pandemi. Perubahan pola pikir itu, pada gilirannya, dapat memulihkan kebahagiaan diri dan baik untuk kesehatan mental.
“Secara psikologis, ini (brain fog) akan memicu masalah-masalah emosi kita, di mana orang tua kita yang generasi boomers itu mendidik kita itu harus kuat dan jangan mengeluh dalam kondisi apa pun. Nah, ketika kita lebih aware dengan kesehatan mental, lalu mengalami kondisi pandemi Covid-19, ini seperti momen ‘It’s okay not to be not okay’, karena semakin kita memaksa untuk kuat dan tidak sinkron dengan yang kita rasa, makin gak enak secara kesehatan mental,” ucap dia.
Dalam diskusi yang dimoderatori Koordinator Juru Bicara DPP PSI, Kokok Dirgantoro itu, dr. Ryu Hasan, Sp.BS menegaskan, sulit bagi masyarakat merengkuh kebahagiaan di tengah pandemi.
Sebab, setiap hari masyarakat disuguhi informasi soal perkembangan Covid-19 yang kian mencekam.
“Sekarang, celahnya untuk bahagia itu bagaimana di tengah pandemi ini? Kabar buruknya, Anda tidak akan lebih bahagia di era pandemi, tapi Anda bisa lebih bergembira. Tetap bergembira, bahagia jelas tidak. Wong tiap pagi sampe sore twitwar gak selesai-selesai bagaimana mau bahagia? Berantem terus. Yang namanya kebahagiaan itu memerlukan empati,” tambah Ahli Neuroscience ini.
dr. Ryu juga menjelaskan bahwa kebahagiaan dan kegembiraan adalah dua konsep yang berbeda. Kebahagiaan, menurut ahli neuroscience itu, adalah kondisi di mana manusia bebas dari ancaman keberlangsungan hidup dan hambatan melahirkan generasi penerus (proses reproduksi).
Berbeda dengan kegembiraan yang bisa diciptakan sendiri, kebahagiaan justru mutlak membutuhkan dan melibatkan orang lain. Karena pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang punya kecerdasan sosial.
“Kebahagiaan itu selalu kolektif, selalu melibatkan orang lain. Kebahagiaan itu tidak pernah sendiri, karena manusia dalam hal ini mempunyai kecerdasan sosial. Dan kecerdasan sosial yang tinggi ini yang membuat indeks kebahagiaan satu komunitas itu rendah atau tinggi,” urainya.
Tak seperti dibayangkan kebanyakan orang, dr. Ryu mengatakan, kebahagiaan tidak diperoleh secara instan, melainkan melalui latihan panjang yang bahkan dimulai sejak kecil.
Dia lantas menyebut sejumlah negara dengan indeks kebahagiaan tertinggi yang dirilis World Happiness Report 2021 dari PBB, seperti Finlandia, Islandia dan Denmark.
Di negara-negara itu, papar dr. Ryu, warga sudah diajarkan untuk mematuhi peraturan dan menghormati norma sosial sedari usia dini. Tatanan kehidupan sosial yang serba tertib itulah yang membuat mereka bahagia.
Elemen penting lain pembentuk kebahagiaan, ujarnya, adalah kemampuan berempati terhadap sesama.
“Yang namanya bahagia itu membutuhkan empati, mutlak membutuhkan empati. Kalau kita melihat, misalnya, UFC yang namanya Khabib Nurmagomedov menghajar McGregor habis-habisan terus kita teriak-teriak gembira, itu bukan bahagia, karena kalau kita bisa senang melihat McGregor berdarah-darah, kita itu harus mematikan pusat-pusat empati di pusat otak kita,” tandas dokter lulusan Unair Surabaya tersebut.