Indra Budi Sumantoro pernah hampir tujuh tahun menjadi pegawai negeri sipil di Kemenpan-RB. Ia mengundurkan dari pada 2012.
“Pengembangan kariernya tidak berdasarkan merit system. Tidak kompeten malah dipromosikan,” kata Indra. Ia memilih menjadi konsultan bidang jaminan sosial di Bank Dunia. Kini Indra melangkah lumayan jauh: mendaftar sebagai calon legislatif Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Pengalaman selama menjadi PNS membuatnya lumayan paham soal praktik korupsi yang menjalar di birokrasi.
“Dari pengalaman di sana, korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara setidaknya dapat dikategorikan menjadi 2 tingkatan ditinjau dari alasannya, yaitu korupsi karena keterpaksaan dan korupsi karena keserakahan,” tulis Indra dalam esai yang menyertai pendaftarannya sebagai caleg PSI.
Korupsi karena keterpaksaan disebabkan akibat tidak cukupnya penghasilan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Biasanya dilakukan oleh penyelenggara negara di level menengah ke bawah.
Sementara korupsi karena keserakahan disebabkan gaya hidup yang berlebihan dan cenderung dilakukan penyelenggara negara di level menengah ke atas. “Namun, korupsi tetaplah korupsi. Ketika seorang penyelenggara negara awalnya melakukan korupsi karena keterpaksaan, maka hal itu akan menjadi kebiasaan,“ lanjut pria kelahiran 1 September 1978 ini.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, menurut Indra, setidaknya ada 3 kunci dalam melawan korupsi. Pertama, perencanaan staf yang tepat, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Tepat kualitas dimulai dari seleksi penyelenggara negara yang salah satu kompetensi intinya adalah integritas yang tinggi, serta model mental yang komprehensif, transformasional, dan non-transaksional.
Adapun tepat jumlah adalah jumlah penyelenggara negara yang sesuai dengan kebutuhan organisasi karena jumlah penyelenggara negara yang berlebihan cenderung mendorong rekomendasi fiskal yang mengurangi porsi penghasilan di tiap jabatan penyelenggara negara. Ini ibarat kue yang seharusnya disiapkan untuk 5 orang tetapi malah dibagi untuk 10 orang, sehingga menyebabkan potensi “mencuri kue lain” menjadi tinggi.
Kedua, sistem penggajian yang sesuai dengan bobot pekerjaan dan berdasarkan pada indeks kemahalan atau inflasi tiap daerah.
Ketiga, perlunya pelatihan family financial planning bagi para penyelenggara negara dan keluarga untuk mencegah gaya hidup yang berlebihan. Sebagai Caleg DPR-RI, 3 kunci di atas perlu dimasukkan dalam revisi undang-undang terkait.
Terkait problem intoleransi, Indra menengarai, berawal dari kualitas SDM pendidikan yang mempengaruhi pola pikir peserta didik, keluarganya, dan lingkungan. Semakin rendah kualitas SDM pendidikan, semakin tinggi potensi intoleransi. Selain itu, intoleransi juga dipicu ketimpangan sosial, ekonomi, dan budaya di masyarakat.
Karena itu, kata Indra, pemerintah dan DPR perlu segera merumuskan suatu kebijakan yang komprehensif guna mencegah, mendeteksi, dan menangani persoalan intoleransi yang jika terus-menerus dibiarkan akan berakibat fatal pada stabilitas keamanan.
Indra sendiri punya minat pada bidang ketenagakerjaan. “Saya ingin di Komisi IX, biar mengurusi ketenagakerjaan. Atau Komisi II terkait aparatur negara,” kata doktor dari Unpad ini .
Dalam soal ketenegakerjaan, sisi rawan terkait disruptive technology. Di satu sisi ada bonus demografi. Di sisi lain, ada informality. “Banyak pekerja yang terdampak dengan digitalisasi. Harus ada kebijakan yang menjadi penengah. Misalnya, peningkatan keterampilan sehingga bisa berwirausaha,” kata Indra.
Juga penyediaan jaminan sosial pada pekerja informal. Selama ini, jaminan sosial hanya diberikan pada pekerja formal. Untuk itu perlu ada revisi UU Ketenagakerjaan.
Indra coba banting setir ke politik. “Karena politik yang menentukan nasib rakyat,” kata dia.