Di penghujung tahun 2021, tiga sekolah roboh di bumi Multatuli, Lebak, Banten. Setelah SMPN 1 Cibeber dan SMPN 2 Warunggunung roboh pada akhir November lalu, pada awal Desember Madrasah Ibtidaiyah (MI) Pasir Madang, Desa Parakan Lima yang roboh. Robohnya beberapa sekolah ini mengungkap fenomena gunung es di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Menurut pengakuan Dinas Pendidikan setempat terdapat 993 Sekolah rusak berat dan tidak layak untuk kegiatan belajar mengajar (KBM) di Lebak.
Tragisnya fenomena gunung es ini tidak hanya terjadi di Lebak, Banten, menurut data Kemendikbud tahun 2020 terdapat 1.222.064 ruang kelas yang rusak (kategori ringan, sedang & berat). Jumlah tersebut sama dengan 86% dari total 1.413.523 ruang kelas yang tercatat. Artinya hanya 14% ruang kelas yang dalam kondisi baik di seluruh Indonesia.
“Sungguh Indonesia Darurat Sekolah Rusak” tegas Furqan AMC, juru bicara Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia. (DPP PSI).
Menurut Furqan, saat ini kita belum bisa memvalidasi apakah sekolah-sekolah yang rusak tersebut sudah diperbaiki atau belum pada tahun 2021. Kalau melihat anggaran DAK Fisik (Dana Alokasi Khusus) yang dialokasikan Kemendikbud tahun 2021 untuk rehabilitasi dan pembangunan prasarana pendidikan sebesar 17,7 Triliun, di atas kertas itu hanya mencover 31.695 sekolah. Apakah realisasinya di lapangan sudah tepat sasaran dan utuh (tidak menguap), juga perlu diselidiki lebih lanjut.
Sementara hasil evaluasi komisi X DPR-RI, pemerintahan Kabupaten/Kota pun rata-rata hanya mengalokasikan 8-9% APBD-nya untuk fungsi pendidikan, jauh dari yang diamanatkan Undang-Undang.
“Postur anggaran pendidikan secara keseluruhan, baik APBN maupun APBD menggambarkan sepenuhnya political will pemerintah untuk mengatasi persoalan darurat sekolah rusak ini” jelas Furqan yang juga memimpin gerakan nasional Bela Sekolah.
Kita Perlu 1000 Multatuli
161 tahun lalu Multatuli, nama pena dari Eduard Douwes Dekker, mengguncang Eropa dengan novel satirnya, Max Havelaar, yang mengabarkan pedihnya derita rakyat Lebak dihisap oleh kolonialisme Belanda.
“Kini setelah 76 tahun Indonesia merdeka, sepertinya kita masih butuh 1000 Multatuli lagi untuk mengabarkan realitas masyarakat khususnya persoalan pendidikan ini” tegas Furqan, agar bisa menumbuhkan “sense of crisis” semua stakeholder khususnya pemerintah dari pusat hingga daerah.
Furqan menjelaskan lebih lanjut, dengan revolusi teknologi informasi saat ini, Multatuli-Multatuli tersebut tidak hanya bisa mengabarkan realitas melalui novel seperti Max Havelaar, tapi juga bisa dalam bentuk foto dan video yang eksplosif dan menggetarkan.”
Jika semua warga mengambil inisiatif ‘citizen Journalism’, mengabarkan sekolah rusak di kecamatannya masing-masing, maka penanganan persoalan darurat sekolah rusak ini akan bisa menjadi agenda prioritas nasional.
“Semoga menjadi resolusi kita bersama menyongsong tahun 2022,” harap Furqan AMC.