Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyesalkan penurunan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2022.
“Ini harus menjadi bahan koreksi mendalam. Korupsi tidak boleh lagi ditangani secara biasa-biasa saja,” demikian pernyataan PSI melalui Juru Bicara PSI, Ariyo Bimmo yang diberikan secara tertulis Sabtu 4 Februari 2023.
Namun PSI juga mengingatkan bahwa secara tren, IPK Indonesia cenderung membaik dibandingkan periode dua dekade terakhir. IPK tertinggi yaitu pada 2019 yang mencapai 40 poin, sedangkan yang terendah pada 2002 yaitu 19 poin. “Jangan sampai didramatisir, apalagi dipolitisir,” lanjut Ketua DPP PSI bidang Hukum dan HAM ini.
PSI sepaham dengan KPK bahwa kunci meningkatkan IPK Indonesia adalah dengan menekan korupsi politik. Hal tersebut diperkuat dengan adanya penurunan di 3 sumber data indikator yang digunakan untuk mengukur IPK.
“Political Risk Service turun 13 poin, IWD Competitiveness Yearbook turun 5 poin, Political and Economic Risk Consultancy turun 3 poin. Kesemuanya terkait korupsi dan sistem politik,” jelas Bimmo.
Bimmo melihat bahwa menjelang tahun politik, ada kecenderungan IPK kita mengalami stagnasi atau penurunan.
“Hal ini menjadi sinyal bagi kita semua, bahwa politik bersih masih harus diperjuangkan. Peran parpol diperlukan utamanya dalam memperbaiki akuntabilitas keuangan dan pendidikan anti korupsi bagi kader parpol,” tukas Bimmo.
Selain itu, PSI juga menyoroti kinerja penegak hukum. Bimmo menilai, pengungkapan kasus-kasus besar yang melibatkan politisi atau pejabat publik seringkali memakan waktu lama dan prosesnya tidak transparan. “Publik akhirnya mengira-ngira, ada sesuatu yang tidak beres,” ujarnya.
Proses penegakan hukum harus lebih tegas dan transparan sehingga publik tidak mempunyai persepsi bahwa penindakan kasus korupsi telah dipolitisir.
“Bagaimanapun justice delayed is justice denied. Bila semuanya terang benderang dan tidak bertele-tele, maka tidak akan ada persepsi buruk penegakan hukum kita,” tutup Bimmo