Media sosial semakin lama semakin tak terpisahkan dari politik. Di Amerika Serikat, Barrack Obama yang pertama memulai lewat brand image telepon genggam bermerek blackberry yang biasa dia digunakan dalam aktivitas kesehariannya. Di banyak literasi menyebutkan penamaan blackberry diinisiasi oleh kombinasi warna kulit dan nama kecil Obama di Indonesia, Berry Sutoro atau Si Berry yang hitam.
Lewat media sosial Blackberry Messenger (BBM) pula slogan kampanye Obama bertajuk; “Yes We Can” di broadcast hingga berhasil viral di media sosial dan mengantarkannya menjadi pemenang pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2008. Hal ini Sekaligus menjadikan Obama sebagai presiden berkulit hitam pertama dalam sejarah politik Amerika Serikat.
Sementara di Indonesia, desakan media sosial pula yang memaksa ketua umum Megawati Soekarnoputri untuk segera mencalonkan Jokowi sebagai calon gubernur Jakarta dari PDI Perjuangan di Pilgub tahun 2012. Alasannya sukses Jokowi sebagai walikota Solo dengan didukung berbagai pemberitaan, seperti; mobil esemka, renovasi pasar di tujuh lokasi hingga gaya blusukannya banyak mendapat apreiasi dan respon positif dari netizen (pengguna internet).
Lebih lanjut, hanya 2 tahun setelah dilantiknya Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta, desakan publik di media sosial kembali memaksa Megawati mengumumkan Jokowi sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan di pemilu 2014. Jokowi kemudian terpilih dan dilantik sebagai presiden ke-7 Republik Indonesia untuk periode 2014-2019. Hal ini juga sekaligus mempertegas keterpilihan seorang presiden di Indonesia tidak melulu soal elit, dinasti, militer atau kiyai.
Bertolak belakang dari dampak media sosial bagi Obama dan Jokowi yang akhirnya sama-sama terpilih menjadi presiden karena media sosial. Kini, media sosial seolah menjadi bumerang bagi Basuki Tjahaja Purnama atau kerap disapa Ahok. Dimana pada hari jumat, 4 November 2016 dan 2 Desember 2016 yang lalu. Jutaan umat muslim berbagai wilayah Indonesia berkumpul dan berdemonstrasi di Jakarta. Ihwal demonstrasi tersebut di picu oleh beredarnya video yang di unggah seorang dosen bernama Buya Yani di akun facebooknya perihal ucapan calon gubernur petahana DKI Jakarta Ahok perihal Surat Al-Maidah 51 di Kepulauan Seribu.
Viralnya video tersebut akhirnya berbuntut pada isu penistaan agama oleh Ahok yang menyebabkan terjadi demontrasi besar-besaran di berbagai kota di Indonesia. Hingga menyebabkan berbagai tuntutan seperti Ahok harus mundur dari pencalonan gubernur DKI Jakarta dan Ahok harus di adili secara hukum. Hingga pada saat ini permasalahan hukum Ahok telah memasuki babak akhir persidangan.
Belum selesai kasus Ahok kini Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Melaporkan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq atas dugaan penistaaan agama lewat ceramahnya di salah satu acara di Pondok Kelapa, Jakarta Timur (25/12/2016). PMKRI menganggap Rizieq menodai agama karena mengatakan bahwa ‘’Tuhan tidak beranak dan tidak diperanak. Kalau tuhan beranak, bidannya siapa’’.
Rizieq dilaporkan melanggar Pasal 156 KUHP dan Pasal 156 a KUHP dan atau Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 25 a ayat (2) UU Nomor 19/2016 atas perubahan UU Nomor 11/2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada ahad ini, begitulah keterikatan antara media sosial, hukum dan politik yang tak terpisahkan lagi. Dimana dampak media sosial berujung di pengadilan akibat tidak hati-hati dalam memberikan komentar.
Media Sosial dan PSI
Media sosial membuat dunia terhubung tanpa batas. Sebab penilaian terhadap baik atau buruknya sebuah pemberitaan politik bisa secara cepat dapat terakses dan mendapat respon dari netizen kapan dan dimanapun. Hal inilah yang dilihat banyak politisi dan partai politik yang memandang media sosial sebagai sebuah potensi yang luar biasa.
Di samping lebih efesien dan efektif, pembiayaannya juga tak semahal jika harus door to door blusukan ke rumah masyarakat. Sebaliknya, dengan beragamnya karakter, sifat dan kebutuhan masyarakat akan informasi terbaru mengenai politik. Masyarakat juga punya pilihan informasi yang diinginkannya.
Selain itu, menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang merilis data terbaru statistik pengguna dan perilaku pengguna internet Indonesia sampai oktober 2016. Pengguna internet ada sebanyak 132,7 juta dari total populasi penduduk Indonesia 256,2 juta orang. Dari total tersebut sekitar 49% penguna internet adalah generasi anak muda yang lahir pada tahun 1980-an sampai 2000-an. Itu artinya dunia media sosial dan internet dikuasai oleh generasi Millenial atau generasi “Y”.
Potensi ini jugalah yang di lihat Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai partai baru dengan brand partai anak muda. Ketersingungan antara PSI dan media sosial adalah bagian yang tak terpisahkan. Sebab, selama ini dalam kesehariannya terkait sosialisasi, kampanye, elektabilitas dan popularitas partai, PSI banyak melakukan aktivitas di facebook, instagram dan twitter. Hal ini didasari oleh seluruh kader PSI adalah anak-anak muda yang umurnya dibawah 45 tahun yang sehari-hari adalah pengguna aktif media sosial.
Media sosial pula menjadi jembatan utama PSI untuk berkomunikasi dengan masyarakat Indonesia terutama dari generasi millenial. Karena memang PSI tidak punya media televisi yang rutin mensosialisasikan mars, jingle hingga hymne partai secara terus-menerus. Sebab, bukan lagi rahasia umum, setiap hari bahkan setiap waktu beberapa partai politik di Indonesia sudah mengkoptasi media pertelevisian sebagai alat propaganda, penggiringan opini hingga agenda setting partai.
Namun, walaupun begitu tanpa harus mengorbankan jaringan publik dan melanggar ketentuan undang-undang penyiaran publik. Informasi mengenai PSI sudah bertebaran di linimasa media sosial. Dari Ideologi, proses rekrutmen penurus dan anggota hingga resminya PSI sebagai satu-satunya partai politik baru yang lolos sebagai partai politik berbadan hukum di Indonesia tahun 2016 mudah terakses di media sosial. Hal ini pula yang menjadi alasan utama dalam beberapa bulan terakhir, PSI menjadi salah satu topik hangat politik yang diperbincangkan banyak orang di twitter. Terjadi interaksi dua arah (dialog) antara PSI dan masyarakat di media sosial secara rutin adalah respon positif diterimanya PSI oleh masyarakat Indonesia. Terbukti, apresiasi ihwal kelolosan PSI menjadi partai politik berbadan hukum beberapa kali menjadi tranding topic di twitter.
Grace dan Antisipasi
PSI merupakan partai politik yang aktif menggunakan media sosial sebagai sarana sosialisasi, komunikasi hingga kampanye idelogi kebajikan dan keragaman. Namun, belajar dari kasus Ahok di Kepulauan Seribu dan kasus Habib Rizieq pada ceramahnya (25/12/2016) lalu. Media sosial bisa menjadi ancaman serius bagi PSI. Sebab, jika salah sedikit saja, apalagi berkaitan dengan isu Suku, Agama dan Ras (SARA) bisa berakibat fatal terhadap brand, citra partai hingga keberlangsungan PSI sebagai sebuah institusi partai politik kedepannya.
Sebagai ketua umum PSI, Ini adalah tantangan bagi Grace Natalie karena hampir semua kader PSI adalah penguna aktif media sosial. Grace harus segera melakukan antisipasi dampak negatif penggunaan media sosial bagi seluruh kader PSI. Apalagi perilaku generasi millenial yang selama ini terdekonstuksi negatif dalam pandangan masyarakat. Misalnya; bullying, salah penggunaan gadged hingga perang media sosial jangan sampai kebablasan yang membahayakan kebhinekaan Indonesia.
Untuk itu, segala sesuatunya harus mengenal yang namanya batas. Batas ini pula yang harus di ukur Grace pada ahad ini. Grace harus mampu menarik batas tersebut dengan nilai-nilai kebajikan, keragaman dan solidaritas PSI di tengah pengunaan media sosial yang kini tanpa batas pada seluruh kader PSI di seluruh Indonesia. Agar supaya PSI tetap berdiri tegak dalam politik di iklim demokrasi media sosial yang semakin hari tak bisa terkendali lagi karena kemajuan zaman. Rawat terus keragaman Grace Natalie !!.
Sumber: Seword.com