Polemik penggunaan kata pribumi masih hangat diperbincangkan di ruang publik. Hal itu dipicu dari pidato Gubernur terpilih Anies Baswedan yang justru menggunakan kata yang dianggap sensitif itu pada 16 Oktober.
Anies menyampaikan kata ‘pribumi’ dalam pidato perdananya usai dilantik sebagai Gubernur oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo di Istana. Alhasil, diskusi ini melebar untuk menelusuri ke belakang siapa yang dimaksud pribumi. Hal itu kembali membuka luka lama bagi masyarakat pasca melalui Pilkada DKI yang dianggap berhasil memecah belah mereka.
Guru besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI) Sulistyowati Irianto mengatakan tidak ada yang disebut sebagai istilah ‘pribumi’. Bahkan, pada dasarnya manusia di dunia ini tidak ada yang hanya berasal dari satu etnis atau suku saja, lalu menjadikan mereka pribumi.
“Cuma kesepakatan budaya kalau kita bilang orang Jawa atau orang suku tertentu, itu bentuk dari konstruksi sosial. Padahal, di dalam darah DNA kita, mengandung banyak suku dari nenek moyang. Identitas itu bisa berubah-ubah sesuai kepentingan,” ujar Sulistyowati ketika berbicara dalam diskusi publik di Cikini pada Jumat, 27 Oktober.
Diskus itu digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) untuk menguak ‘Siapa Pribumi’?
Ia secara terang-terangan menjelaskan kota Jakarta dan Medan, sebenarnya tidak memiliki kebudayaan dominan yang disebut sebagai “pribumi”. Kata itu bisa dimainkan, tergantung kepentingan apa yang dimaksudkan.
Masalahnya, kata Sulistyowati, segala perbedaan itu kemudian dipolitisasi sehingga membuat mereka melakukan apa yang disebut ‘the other process’. Artinya orang yang berbeda bisa dikucilkan dan menjadi liyan.
“Ada politisasi identitas di situ,” kata dia.
Jika ditilik dari sejarah definisinya, pribumi memang dinarasikan oleh Penjajah Belanda untuk menempatkan kaum warga Indonesia sebagai warga kelas tiga setelah bangsa Eropa sebagai warga kelas satu, serta Jepang dan Timur Jauh sebagai warga kelas dua.
Sementara, Wakil Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Mahasiswa S2 dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapur, Rian Ernest menjelaskan ‘pribumi’ adalah hantu yang dibuat oleh Kolonial Belanda pada saat itu dan diatur dalam Regeeringsreglements pada tahun 1854. Pada masa itu, Belanda melakukan divide et empera kepada tiga golongan termasuk pribumi.
“Politik pecah belah memang diakui menjadi cara menang yang paling mudah. Tetapi cara-cara ini mampu mengorbankan persatuan masyarakat sebagai sebuah kesatuan,” ujar Rian di acara yang sama.
Ia menjelaskan bahwa dalam politik pecah belah, masyarakat dimainkan layaknya kartu yang digolongkan sesuai kelasnya masing-masing. Ia khawatir jika hal itu terus dilakukan, maka pemimpin tidak bisa merangkul semua kalangan. Insiden itu diperparah jika terdapat ancaman disintegrasi. Padahal menurutnya, seharusnya hal ini tidak dingkat lagi ke permukaan, terlebih berbasis pada ras dan etnis.
“Seharusnya pakailah kebijakan publik untuk meraih suara. Fokus pada permasalahan kesenjangan-kesenjangan sosial, ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Bukan malah dipecah belah dengan menarasikan ras dan etnis,” kata dia.
Ia menilai jika si pemimpin terpilih karena menggunakan politik ‘pecah-belah’, maka ke depannya ia akan sulit bekerja dan fokus kepada upaya penyejahteraan rakyat.
Pemimpin yang menggunakan cara itu, malah nantinya akan fokus dan sibuk soal bagaimana merangkul semua kalangan yang sempat ia pecah belah. Beragam program dan kebijakan publik terancam terbengkalai.
Sementara, Editor Jakarta Globe dan Penerjemah, Natalia Laskowska menceritakan pengalamannya sebagai kelompok minoritas sebagai orang Polandia di Britania Raya.
“Kami mengalami pengucilan dan dipinggirkan, bayangkan ketika kami dipanggil sebagai ‘kutu-kutu Polandia’. Malah ada kasus seorang anak sekolah habis dipukuli hanya karena ia terbukti berbicara dalam Bahasa Polandia ketika menelepon orang lain,” ujar Laskowska.
Ia mengatakan pengucilan etnis Polandia itu masih dikenang oleh banyak orang.
Ketakutan dan kebencian, ujarnya, ampuh menjadi dua alat politik yang sangat kuat untuk memecah belah masyarakat.
Menurutnya, masalah atau isu SARA yang dijadikan kekuatan politik merupakan masalah multidimensional, sehingga bukan sekedar seorang politisi yang berusaha menarasikan itu. Ada aspek ideologi, politik dan sosial budaya yang menjadi target utama dari isu SARA ini.
Sebagai jalan keluarnya, Laskowska menilai hal ini akan sulit dilakukan.
“Proses normalisasi berdasarkan isu SARA itu akan susah untuk dilakukan. Jangan-jangan di masa depan akan ada balas dendam dari kelompok-kelompok yang termarjinalkan,” kata dia.
Menurutnya, pemimpin yang melakukan cara pecah belah akan sulit mencari jalur masuk untuk mendamaikan kondisi masyarakat.
“Mereka pelu cari pintu masuk untuk mulai berinteraksi, berkomunikasi dan mulai merangkul semua pihak. Namun hal ini akan sangat sulit dilakukan, karena mampu mengancam disintegrasi masyarakat,” katanya menambahkan.