Ketua Umum PSI, Grace Natalie, menemui para komisioner Komisi nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan di Jl Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Senin 19 November 2018.
Dalam pertemuan tersebut, Grace ditemani Ketua DPP Tsamara Amany dan Isyana Bagoes Oka, serta para caleg seperti Guntur Romli, Muannas Alaidid, Susy Rizky, dan Milly Ratudian.
Dalam pertemuan tersebut, PSI menyampaikan aspirasi dan pandangan terkait perempuan dan politik. Grace Natalie mengatakan, betapa sulitnya perempuan untuk masuk ke arena politik. “Dalam setengah tahun ini saja saya sudah 2 kali kena hoax, Sis Tsamara juga terkena hoax. Sis Susy Rizky, dalam 14 bulan terakhir, nomor telepon genggamnya-nya dimasukkan ke situs esek-esek.”
Celakanya, kata Grace, banyak dari hoax itu yang menyerang secara fisik, yang tentu saja merendahkan martabat sebagai manusia. “Sangat merendahkan. Kenapa tidak men-challenge pemikiran kami sebagai contoh,” kata Grace.
Grace menambahkan hal seperti ini akan membuat banyak perempuan urung untuk masuk ke dunia politik karena takut terkena isu-isu seperti yang ia tuturkan.
Pada pertemuan tersebut, Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan memberikan dua buku kajian akademiknya bersama beberapa lembaga penelitian lain seperti Setara Institute.
Dalam buku tersebut, Grace menyebutkan, dari 421 kebijakan diskriminatif, 333 di antaranya menyasar perempuan, membatasi perempuan untuk beraktifitas seperti penerapan jam malam, batasan dengan siapa saja perempuan bisa mereka beraktifitas, larangan tentang bagaimana berpakaian, dan sebagainya.
Selain itu, dari data buku yang diberikan Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tersebut, Grace menyebutkan, ada perda-perda diskriminatif yang lahir mengatasnamakan agama, “Mau perda dari agama mana pun itu, jika hanya mengataskan satu agama, agama yang lain tidak included. Padahal peraturan itu harus inklusif, universal, tidak boleh parsial. Jika parsial, peraturan tersebut berpotensi tidak inkonstitusional dan berpotensi diskriminatif.”
Grace juga menyinggung soal kasus yang menimpa mantan pegawai honorer SMAN 7 Mataram, Baiq Nuril. Nuril dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) terkait penyebaran rekaman suara atasannya. Selain itu, Nuril juga dijatuhi hukuman penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta.
“Kemudian yang turut kita prihatin, kemarin juga ada Ibu Nuril yang menjadi korban. Sebenarnya dia mengalami pelecehan secara seksual, tapi malah dia yang kena hukuman harus membayar denda Rp 500 juta,” jelas dia.