Oleh: Mohamad Guntur Romli
Kedua perempuan politisi PSI ini menjadi sasaran serangan dari budaya politik patriarkis di Indonesia. Grace Natalie difitnah memiliki affair dengan Basuki Tjahaha Purnama (Ahok) yang kini masih mendekam dalam penjara menjalani vonis hukumannya. Tak hanya itu akun anonim itu mengklem memiliki video panas yang katanya berasal rekaman “affair” Ahok dan Grace. Dengan tegas Grace pun sudah mengeluarkan tantangan pada akun itu untuk menyebarkan rekaman yang dimaksud, tapi hingga saat ini akun pengecut itu tak juga menjawabnya. Selain fitnah adanya video, Grace juga diserang foto-foto hoax hasil editing photoshop yang menunjukkan bagian-bagian tubuhnya.
Yang tak masuk akal akun anonim itu baru mengeluarkan fitnah saat ini, kalau benar video panas itu ada, harusnya lebih menohok dan kontroversial apabila disebutkan atau dikeluarkan saat Ahok maju sebagai Cagub DKI pada Pilkada 2017. Apabila video itu benar ada, maka cukuplah video itu yang akan langsung menumbangkan Ahok tanpa harus diserang dengan isu penodaan agama dan demo berjilid-jilid itu.
Anehnya juga fitnah ini dikeluarkan saat tersebar video “212” yang disebut-sebut pelakunya mirip dengan politisi Gerindra, Aryo Djojohadikusumo. Video panas disebut 212 karena pemerannya–katanya–ada 2 wanita, 1 pria dan berdurasi 2 menit. Kini kasus video itu ditangani polisi. Dan Grace sendiri telah melaporkan fitnah akun anonim itu ke polisi dan semoga secepatnya diambil tindakan pada penyebar fitnah.
Publik pun bertanya, mengapa ada akun anonim yang melemparkan fitnah pada Grace saat ada video panas lain yang lebih nyata? Apakah ini ada kesengajaan dari upaya pengalihan isu dari pihak-pihak yang terkena serangan dari video “212” itu?
Perempuan politisi PSI yang lain Tsamara Amany Alatas juga menjadi sasaran bulan-bulanan perisakan. Dari isu pribadinya hingga fitnah menjadi bahan cemoohan polisi parpol lain, hingga media-media online untuk mengejar hits dan iklan. Sebutlah Ferdinand Hutahaean politisi Parpol Demokrat yang menyerang Tsamara dengan sebutan “gincu”. Padahal kalau secara fair jejak tulisan-tulisan politik Tsamara lebih bernas dan cerdas daripada Ferdinand yang masuk kategori “politisi oportunis”.
Belum lagi isu viral terkait–maaf “pantat hitam” yang dikaitkan dengan Tsamara oleh media online Tribunnews yang mencari hits dengan modus membuat judul berita yang “clickbait”. Tribunnews menulis berita terkait isu pribadi Tsamara, isu perceraian dengan berita “Tsamara Amany Diceraikan Suami Karena ‘itunya’ Hitam?”. Media ini seolah-olah ingin membela hoax yang menerpa Tsamara, tapi malah ikut menyebarkannya dengan mengambil sumber dari akun anonim. Tsamara pun menjadi bulan-bulanan dari serbuan meme dan twit hoax yang hanya membaca judul berita ini. Sehingga berita Tribunnews ini pun memperoleh hits yang sangat tinggi dengan judul yang menipu dengan modus “click bait”.
Serangan pribadi pada perempuan politisi PSI, baik Grace dan Tsamara mengukuhkan kuatnya budaya patriarki dalam politik di Indonesia. Patriarki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan, dominasi dan otoritas baik dalam ranah politik, ekonomi dan moral.
Dalam konteks politik, budaya poltik patriarki menyingkirkan peran perempuan baik dengan cara menolak dengan keras, atau dengan meremehkan, mengejek, menghina, merendahkan keperempuanan dari perempuan politik. Contoh yang dilakukan Fedinand dengan meledek Tsamara terkait gincu atau lipstik, ini sama saja dengan meledek seorang perempuan politik karena memakai jilbab atau atribut lain yang khas dengan perempuan.
Contoh lain yang sering terjadi dalam aksi-aksi yang membawa bra dan rok sebagai bentuk simbol kepengecutan bagi lawan politik mereka. Maka perempuan pun diidentikkan dengan pengecut dengan mengangkat atribut dan simbol mereka.
Model perendahan ini menunjukkan politik yang tak berkualitas karena menyerang pribadi seorang politisi (ad hominem) baik karena jender, agama, suku atau atribut pribadi lainnya.
Budaya politik patriarki selama ini juga sukses meminimalkan jumlah perempuan politisi di Indonesia, sehingga perlu ada perlawanan dengan menerapkan peraturan kuota 30 persen untuk perempuan politisi. Pun juga budaya politik yang serba identik dengan dunia laki-laki, keras, kasar, perempuan jadi obyek gosip dan obyek pandangan politisi laki-laki menjadi perintang yang besar bagi perempuan-perempuan yang berkualitas yang ingin mengabdi menjadi pelayan publik.
Padahal politik identik dengan pelayanan, pengayoman dan pengabdian yang berasal dari “politik yang feminin” yang ditunjukkan dengan luar biasa misalnya dari Ibu Risma Walikota Surabaya yang sukses mengelola, membangun dan mengayomi warga Surabaya. Salah satu strategi yang dipakai oleh Ibu Risma dalam memimpin Surabaya ia tidak menampilkan sebagai penguasa yang punya otoritas untuk melaksanakan dan memaksakan kebijakannya tapi dengan mengayomi, berdialog dan berkomunikasi dengan warganya.
Demikian pula karakter kepemimpinan Joko Widodo meskipun seorang laki-laki tapi kelembutannya, upaya ingin merangkul dan mengayomi semuanya membuktikan karakter politik Jokowi adalah politik yang feminin bukan politik yang maskulin. Dengan bukti peran perempuan-perempuan menteri dalam Kabinet Jokowi seperti Sri Mulyani, Retno Marsudi, Susi Pudjiastuti, Yohana Susana, eks menteri sosial Khofifah Indar Parawansa, Nila F Moeloek, Siti Nurbaya, Puan Maharani, Rini Soemarno atau yang laki-laki yang berpolitik secara feminin seperti Basuki Hadimuljono, Lukman Hakim Saifuddin, Hanif Diakhiri, Ignasius Jonan, hingga Jenderal Purnawiran Luhut B Panjaitan yang sering mengedepankan dialog bukan konfrontasi yang menjadi kunci keberhasilan pemerintahan Jokowi.
Kita selalu berharap agar Grace Natalie dan Tsamara Amany tidak surut dalam memperjuangkan perlawanan terhadap budaya politik patriarki ini, dan juga perempuan-perempuan politik lainnya dan pelayanan-pelayanan publik lainnya. Teruslah maju untuk menciptakan kesetaraan, keadilan dan pengabdian bagi negeri ini.