Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie, diundang menjadi pembicara dalam “The 2019 Indonesian Elections: Electoral Accountibilty and Democratic Quality di University of Melbourne” pada 6-7 Agustus 2019.
Grace menjadi pembicara pembuka pada hari pertama, Selasa 6 Agustus 2019. Ia diminta berbicara tentang “The Future of Democracy in Indonesia.” Mantan presenter TV berita itu menyampaikan materi berjudul “Defending Democracy.”
Menurutnya, Pemilu 2019 memiliki tantangan tersendiri karena maraknya hoax dan naiknya politik identitas. Namun, Grace yakin bahwa Indonesia 5 tahun mendatang akan semakin baik karena Jokowi terpilih kembali sebagai presiden Indonesia. Dalam periode pemerintahan pertama, Jokowi terbukti bekerja keras untuk membenahi Indonesia.
Kemudian, masa depan Indonesia tidak dibentuk oleh kaum elite namun berada di tangan setiap warga negara.
“Kita harus menghentikan pragmatisme politik, menyalahgunakan agama sebagai alat politik. Dari segi rekrutmen politik harus akuntabel dan transparan agar masyarakat mau terlibat aktif dalam politik sehingga orang-orang terbaiklah yang masuk ke dalam sistem untuk membuat undang-undang,” kata Grace.
Pada 7 Agustus, Grace berbicara tentang “A Political Disruption” dalam sesi “Source of Power”. Ia menjelaskan cara partai politik mampu menggunakan kekuatan politiknya. Meskipun PSI belum lolos Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019, PSI berhasil meraih 76 kursi di beberapa provinsi dan kabupaten/kota. PSI dapat membuat disrupsi dengan mengganggu zona nyaman para anggota dewan.
“PSI sudah menyiapkan sistem melalui aplikasi untuk membantu kerja anggota dewan dari PSI agar lebih mudah berkomunikasi langsung dengan para konstituen sehingga aspirasi masyarakat dapat diserap dan dilaksanakan dengan baik,” tuturnya.
Atas undangan ini Grace mengaku senang karena, dari kalangan parpol di Indonesia, hanya PSI. Sementara, para pembicara berasal dari para akademisi universitas terbaik di Indonesia dan di Australia.
“Tentu ini menjadi suatu kehormatan bagi PSI karena nilai dasar perjuangan kami diterima di institusi pendidikan dan telah sampai di negeri Kanguru. Ini menambah semangat kami untuk berjuang memenangkan Pemilu 2024,” tutup Grace.
Dua pembicara lain juga mengapresiasi PSI. Robertus Robert, dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan CILIS Melbourne Law School, mengatakan banyak partai politik yang tidak sesuai antara ideologi dengan kebijakan-kebijakan di lapangan. “Nah, PSI partai yang menjunjung nilai solidaritas. Saya berterima kasih karena PSI mendukung saya saat terkena dugaan melanggar kasus UU ITE,” kata Robet.
Sementara itu, Dina Afriyanti, dosen di La Trobe University, Sydney, mengatakan, dengan memiliki ketua umum parpol perempuan membuktikan Indonesia maju dalam berpikir.
“Kita punya masalah dengan toleransi tapi ada masa depan seperti yang PSI perjuangkan. Seharusnya semua parpol seperti itu. Partai yang sudah mapan pasti merasa “digoyang” oleh PSI. PSI adalah partai potensial, memiliki masa depan cerah. Juga PSI satu-satunya parpol yang peduli dengan kaum disabilitas,” ujarnya.
Diselenggarakan Asia Institute, dengan bantuan Indonesian Democracy Hallmark Research Initiative (IDeHari), forum ini dihadiri oleh mahasiswa-mahasiswi, peneliti, dosen, dan para jurnalis.