Ini adalah kisahku 9 tahun yang lalu, sekitar tahun 2008 saat baru saja menjadi sarjana. Aku lalu berkerja di daerah Bendungan Hilir, kantorku adalah rumah yang disulap jadi kantor di salah satu jalan yang kesemuanya nama danau. Untuk mencapai kantorku, setiap harinya aku naik bus, lalu berhenti di halte MPR-DPR, persis di bawah tangga penyebrangan, lalu aku menyebrang dan jalan kaki lewat gang samping Bank Nasional Indonesia (BNI) sampai ke kantor. Itu adalah rutinitas yang kulakukan setiap harinya sekitar pukul 07.00 WIB dan 16.30 WIB pada saat pulang kantor.
Begitulah perkenalanku dengan gedung MPR-DPR yang memiliki arsitektur tidak biasa itu, gedung yang dulunya akrab kulihat lewat berita pada tahun 1998 diduduki mahasiswa. Setiap pagi saat kulewati, gedung itu selalu bisu, pagar pagarnya tinggi sekali, megah, indah, namun bisu, tak pernah kulihat hiruk pikuk di sana, hanya bisu. Sesekali aku memandanginya karena bingung akan pagar yang tidak kulihat mobil masuk, hanya pagar, tidak ada aktifitas apapun, hanya gedung, kolam, dan sama setiap harinya, bisu.
Namun begitu, di tangga penyebrangan MPR-DPR ada 3 orang pengemis, yang bagiku lebih mewakili rakyat kebanyakan. Mereka mengemis berjauhan, seorang bapak tua seperti petani mengemis di tangga yang dekat dengan gedung MPR-DPR, lalu seorang bapak difabel yang (maaf) tidak memiliki anggota tubuh bagian bawah mengemis di tengah tangga penyebrangan, dan seorang wanita tua (yang belakangan saya ketahui adalah istri bapak tua) di sisi tangga yang dekat dengan Bendungan Hilir. Pertama saya melihat mereka, merupakan pemandangan yang miris, bagaimana di tangga penyebrangan depan MPR-DPR bisa ada pengemis? Suatu simbol kesejahteraan yang tidak merata, sungguh di depan mata wakil rakyat mereka meminta minta.
Perlahan aku menjadi akrab dengan salah satu dari ketiga pengemis tadi, pengemis yang ada di tengah, bapak yang cacat itu, awalnya kami hanya bertukar salam, lama kelamaan saya sering mengobrol sekitar 2 menit dengan beliau, bertukar informasi ringan, sampai pada perkenalan satu sama lain. Saya akhirnya tau bahwa bapak ini memiliki istri dan anak yang tinggal di Kalimantan Timur, sementara beliau sendiri mengemis di Jakarta, di tangga penyebrangan MPR-DPR. Bagi saya merekalah yang membuat saya maklum akan situasi bisu gedung MPR-DPR, gelak tawa kami di pagi hari sangat kontras jika disandingkan dengan gedung megah yang bisu tersebut.
Dahulu saya tidak terlalu perduli akan wakil rakyat yang menghuni gedung MPR-DPR tersebut, saat ini saya cukup perduli dengan mereka, akhirnya saya juga paham bahwa mereka adalah elit partai politik yang dipilih oleh rakyat, oleh saya. Saat ini juga saya tau biaya yang mahal untuk menjadi elit politik tersebut, modal yang harus disiapkan jika ingin berkantor di gedung bisu tersebut. Sungguh tidak dapat dipahami bagaimana menyuarakan suara rakyat butuh modal yang besar, dan walau Undang-undang berkata kita semua memiliki hak dipilih dan memilih, tetap saja bagian dipilih sangat jauh lebih sulit dari memilih. Lebih mudah duduk di tangga penyebrangan bersama bapak difabel, mentertawakan banyak hal, bertukar sapa di pagi hari, berbagi semangat hidup.
Saat ini kurang lebih satu dekade dari pengalaman itu dan dua dekade dari era reformasi di Indonesia, bahwa ada partai politik baru yang mau menyaring calon legislatif secara online dan terbuka. Hal ini pernah saya dengar dilakukan oleh Republique En Merche sebuah partai yang diusung Emmanuel Macron, namun membawa hal ini ke Indonesia adalah suatu kejutan besar. Dengan sistem online, maka siapun dapat dipilih asal mendaftar secara online, kasarnya bahkan pengemis yang selama ini duduk di luar gedung MPR-DPR pun bisa menduduki kursi parlemen, bukan hanya elit politik seperti saat ini.
Saat mendengar hal itu saya membayangkan beberapa orang turun dari bis kota yang dulu saya tumpangi untuk pergi ke kantor, lalu turun di halte yang sama seperti saya turun, namun mereka tidak naik jembatan penyebrangan, melainkan mereka melewati pagar tinggi MPR-DPR sambil tertawa dengan suara nyaring, saya membayangkan wakil rakyat yang berasal dari rakyat biasa, seperti anda dan saya.
Saya membayangkan gedung itu tidak akan bisu lagi karena elit politik lebih suka berbisik bisik sesamanya, membisiki para penguasa dan pengusaha, melainkan berubah menjadi ramah penuh gelak tawa seperti situasi pagi saya bersama para pengemis di jembatan penyebrangan MPR-DPR. Saya membayangkan politik yang terbuka bagi semua kalangan masyarakat, tua muda, kaya miskin, laki laki perempuan, dan banyak lagi kemungkinan terbuka, yang selama ini tertutup. Saya membayangkan reformasi sistem perpolitikan di Indonesia, yang terjadi setelah dua dekade reformasi bergulir di negeri ini, politik yang lebih terbuka, lebih transparan. Saya membayangkan matinya politik uang dan politik transaksional, rasanya nyaris seperti mimpi di siang bolong membayangkan semua hal tersebut.
Meski begitu saya boleh berharap, karena Partai Solidaritas Indonesia saat ini sedang mengusahakan hal tersebut. Segera setelah PSI lolos verifikasi KPU pada bulan Oktober 2017 maka mereka akan membuka pendaftaran Calon Legiselatif (caleg) dengan cara baru dan terbuka ini. Ini adalah harapan serta tuntutan saya untuk reformasi sistem perpolitikan Indonesia, saya mendukung perubahan, saya lelah dan jengah dengan sistem yang korup dan tertutup.
Sudah saatnya kita berubah, dan perubahan membutuhkan perjuangan, karena itu saya bermimpi akan gedung MPR-DPR yang hingar bingar menyuarakan aspirasi rakyat, sama seperti Masjid yang dengan toa menyuarakan ayat suci, agar terdengar! Bukan hanya megah, tapi juga ramah dan meriah. Untuk itu saya memilih berjuang bersama PSI #AkuPSI.
Salam Solidaritas,
Gorba Dom
Coordinator of Climate Change Adaptation Division
Indonesian Expert Network on Climate Change (APIK Indonesia Network)
Sub Region Jakarta, Banten, & West Java, Head of Academic Research Indonesian Humor Institute (IHIK3)