Editorial Koran Solidaritas, Edisi IX – April 2016
Tidak menunggu lama, sejak Ahok mendeklarasikan dirinya akan maju melalui mekanisme independen, hantaman datang terus menerus. Tampaknya partai politik merasa ditampar keras, kini Ahok benar-benar tanpa pembelaan. Belum tuntas urusan mengumpulkan ulang formulir dukungan sebagai syarat utama majunya Ahok sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta, badai teluk Jakarta datang menghantam, begitu juga pembelian tanah Rumah Sakit Sumber Waras yang dipersoalkan BPK menjadi epicentrum goncangan terhadap Ahok.
Seakan tidak cukup melihat ratusan anak muda hilir mudik masuk ke lorong-lorong RT Kota Jakarta demi mengumpulkan ulang KTP, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melontarkan persyaratan baru bagi Ahok, seluruh formulir harus ditandatangani diatas materai. Pada titik ini kita teringat sepotong cerita rakyat tentang Roro Jongrang dan Bandung Bondowoso. Dalam cerita itu Roro Jonggrang mengajukan syarat kepada Bandung Bondowoso yang berniat menikahinya. Syarat yang mustahil diwujudkan dalam waktu semalam, mendirikan 1.000 candi. Benar saja, keesokan harinya (berkat cara curang yang juga dilakukan Jonggrang) hanya 999 candi yang bisa dirampungkan Bondowoso. Merasa dicurangi, Bondowoso mengutuk Roro Jonggrang menjadi candi yang keseribu, lalu Roro Jonggrang menjadi arca yang kini dikenal sebagai candi Prambanan.
Inti cerita ini, terjadi pada Ahok, tidak satupun yang bisa menghalangi kehendek dan kedaulatan rakyat. Jika rakyat menginginkan Ahok maka tidak ada jalan untuk menghalanginya. Cara curang bisa dilakukan, tapi itu hanya semakin membuat rakyat murka, lalu langit menjatuhkan hukuman kepadanya. Baik Jokowi maupun Ahok adalah daulat rakyat. Telah diperlihatkan tanda-tanda bagi orang yang berpikir, setidaknya itulah ayat yang sering diulang-ulang dalam kitab suci Umat Islam.
Partai-partai politik sepertinya sulit menerima kenyataan bahwa jaman sedang berubah. Sama dengan ketidakpahaman pengusaha taksi yang mengerahkan sopir dan armada mereka untuk melakukan pemogokan massal menentang operasi taksi (yang menurut mereka gelap) berbasis aplikasi digital. Tidak ada kesadaran reflektif sedikitpun dari para pengusaha taksi lama yang sudah puluhan tahun diuntungkan dari hasil memerah keringat sopir dan ketidaknyamanan konsumen. Tiba-tiba hadir Grab, Uber, dll yang sangat memanjakan konsumen dengan berbagai fasilitas, juga memberikan keuntungan yang lebih besar kepada sang sopir. Apa yang terjadi? Intinya sederhana, setiap orang punya akses langsung kepada sopir dan armada taksi yang akan menjemput anda, disisi lain pemilik aplikasi tidak mengambil marjin keuntungan sebesar yang ditumpuk oleh pengusaha taksi konvensional. Era kedaulatan konsumen/rakyat bersamaan dengan era kesejahteraan dan kemandirian kaum buruh.
Selama berpuluh tahun partai politik menikmati banyak sekali fasilitas sebagai pilar penting demokrasi. Mereka bahkan telah membentengi diri mereka dengan berbagai regulasi dengan celah yang sangat sempit jika seseorang coba-coba meminggirkan peran penting parpol, calon independen misalnya. Bukannya belajar mengapa Parpol dan DPR setiap tahun menjadi lembaga dengan kinerja terburuk sejak tapak pertama demokrasi ditemukan pada Mei 1998 silam, parpol malah menuduh balik Ahok telah melakukan deparpolisasi.
Ahok memang tidak takut, baginya perlawanannya kepada korupsi dan keberpihakannya kepada warga yang dipimpinnya jauh lebih penting daripada memaksakan diri mencari uang untuk menebus tiket menjadi Cagub lalu disetor ke Parpol. Ahok rupanya telah siap, pun jika dirinya tidak lagi bisa menjadi Calon Gubernur, dia akan dikenang sebagai martir demokrasi tahap lanjut. Martir yang sangat ditakuti oleh partai politik, karena jika Ahok berhasil melaju sebagai Cagub independen, bisa dipastikan (dari berbagai survey dan polling) Ahok akan memenangkan Pilkada DKI hanya dengan satu putaran.
Tidak ada pilihan lain, Ahok harus dihentikan, dengan cara apapun dan berapapun harga yang harus dibayar demi langgengnya kehidupan surgawi partai politik yang dibentengi perangkat peraturan yang membuat mereka semakin tidak tersentuh. Partai politik semakin menjauh dari mandatnya sebagai penyambung lidah rakyat, Parpol bagaikan raksasa besar yang limbung karena menghirup racun dari tubuhnya sendiri. Ahok adalah pilihan rakyat Jakarta, sudah seharusnya partai politik mendukung pilihan rakyat DKI, bukan malah membunuh harapan jutaan warga DKI yang masih menginginkan Ahok memimpin DKI.
Parpol harus belajar dari direksi perusahaan taksi konvensional, yang keki dan malu bukan main, ketika ternyata aksi mereka malah disambut hashtag #BoikotBlueBird di media sosial. Tidak ada yang bisa membendung arus dan kehendak sejarah. Atau mungkin partai politik ingin berakhir sama dengan nasib Roro Jonggrang, menjadi arca candi yang kelak akan dikenang karena kecurangannya terhadap Bandung Bondowoso, curang pada Ahok.