DEPARPOLISASI (Diselingkuhi Parpol Sakitnya Tuh di Sini)

Satir Koran Solidaritas, Edisi IX – April 2016

Oleh: Geger Riyanto

Sewaktu Ibu Megawati, sang mantan, menyampaikan deparpolisasi membahayakan dan harus dilawan, apakah rakyat tergugah dan mengangkat panji-panji perlawanan bersamanya? Atau apakah rakyat, seturut kata para pengamat dan pakar, kecewa berat karena pernyataan tersebut menengarai parpol terpojok dan tak punya strategi mempertahankan dukungan selain dengan manuver kekuasaan?

Sayangnya, pertama, rakyat bukanlah sebatas kader partai Ibu Megawati. Kedua, rakyat pun bukan sebatas 0,01 persen penduduk Indonesia—kawula terdidik yang bukan hanya cukup beruntung dapat mengenyam pendidikan namun juga cukup berselera mengunyah perkembangan politik terkini yang selalu runyam dan tak selalu bermanfaat.

Saya menerka yang terjadi di kebanyakan warung kopi Pantura, misalnya, kurang-lebih adalah keseharian semacam ini.

“Ibu Mega bilang sekarang lagi jamannya deparpolisasi,” ujar Udin. “Kamu tahu deparpolisasi itu apa?”

“Depar… Apaan tuh? Lagu dangdut baru ya?” Mamad bertanya balik.

“Iya kali ya.”

Keduanya lalu pasrah. Lantas, lanjut menyeruput kopi. Obrolan tentang Liga Champions terasa jauh lebih menarik dibandingkan satu istilah yang tak jelas juntrungannya.

Dan, memang, pada kenyataannya, media sendiri tak yakin kalau yang memahami istilah ini lebih dari beberapa gelintir pembacanya. Baru-baru ini saya mencoba menelisik deparpolisasi di mesin pencari Google dan, alih-alih mendapati pemberitaan, yang muncul pertama-tama adalah artikel media mentereng yang menerangkan “apa itu deparpolisasi.”

Ketika saya mengetik “deparpolisasi,” Google pun mau mengarahkan saya ke pencarian “deparpolisasi artinya” dan “makna deparpolisasi.” Yang, artinya, profil kebanyakan pencari di Google dalam bahasa Indonesia nampaknya seperti Udin dan Mamad. Mereka ingin mengetahui apakah deparpolisasi merupakan tembang dangdut yang sedang naik daun, dan memastikan diri mereka tak ketinggalan tren.

Nah, seandainya saya diminta membantu memahamkan Udin dan Mamad makhluk apakah sebenarnya deparpolisasi, saya agaknya tidak akan memulai dengan menampik dugaan awam mereka.
“Ya, benar!” jawab saya dengan percaya diri selayaknya motivator handal. “Deparpolisasi itu lagu dangdut terbaru!”

Kita tahu, lagu dangdut gemar menggunakan singkatan-singkatan menawan sebagai judulnya. Jagung Bakar, misalnya, yang merupakan singkatan janda tanggung baru mekar atau meriang—merindukan kasih sayang. Saya akan menjelaskan, deparpolisasi itu semacam lagu-lagu tersebut. Singkatannya yakni “diselingkuhi partai politik sakitnya tuh di sini.”
Mari kita ulang. “Deparpolisasi. Diselingkuhi partai politik sakitnya tuh di sini.”

Dalam ilmu persingkatan yang baik dan benar, tentu saja saya keliru. Tetapi untuk kepentingan mengajar Udin dan Mamad, saya cukup yakin, keputusan saya tak sepenuhnya keliru. Deparpolisasi terjadi ketika para bakal pemilih berduyun-duyun menyingkir dari partai politik ke calon perseorangan karena situasi yang sama dengan yang dialami oleh para gadis Pantura yang kemasygulan hatinya terwakili lirik menyayat Cita Citata. Mereka diselingkuhi.

Tugas saya menggambarkan fenomena ini ke Udin dan Mamad pun selanjutnya tak terlalu sulit lagi. Bedanya, saya akan bilang, yang ini buayanya bukan lelaki tetapi partai politik. Lelaki juga sih—segerombolan lelaki tepatnya.

Bagaimana bentuk diselingkuhinya? Mudah saja menunjuknya. Sewaktu pemilu atau, sebut saja PDKT, pemilih adalah segalanya. Rayuan-rayuan paling gombal terlantun. Janji-janji paling manis terucap. Tetapi sesudah terpilih, bulan madu pun bahkan tak sempat dirayakan. Mereka tak henti-hentinya diberitakan menikmati kekayaan, kemewahan, privilese dari kebijakan atau kesepakatan yang mengecer murah aspirasi konstituennya.

Para pengrajin kata yang pandai menyebutnya di koran-koran sebagai pengkhianatan demokrasi. Namun, Udin dan Mamad pastinya lebih mudah memahaminya dari ref lagu favorit yang penetrasinya sepuluh kali lebih hebat dari koran paling besar sekalipun. “Sakitnya tuh di sini, di dalam hatiku. Sakitnya tuh di sini, melihat kau selingkuh.”

Pada saat yang demikian, dari antah berantah datanglah calon kekasih baru yang pemarah, bermulut serampangan, berpotensi suka menyakiti pasangan, namun memegang satu kualitas yang selama ini gagal dimiliki semua kekasih sebelumnya: setia. Dan kian menambah nilai lebihnya, ia datang tanpa gorengan-gorengan gombal parpol. Parpol ditinggal kendati menunjuk lelaki baru ini tidak santun? Tentu. Parpol menjadi posesif dan menggunakan ancaman-ancaman agar kekasih tak meninggalkannya? Inilah yang nampaknya terjadi.

Pada titik ini, Udin dan Mamad seharusnya sudah mafhum dengan deparpolisasi, mengutuk kekurangajaran parpol dan, semoga, menjauhkan diri seandainya niat berselingkuh terbersit.
Kuliah kecil ini berakhir? Belum.

Sejujurnya, saya tak yakin dinamika dan intrik yang sebenarnya bergulir sesederhana itu. Calon kekasih yang datang seorang diri tak pernah ada yang menjamin bebas dari syahwat menyelingkuhi konstituen. Malah, bisa jadi citra buruk sang mantan yakni mereka yang diusung parpol membutakan pemilih dari kritisisme yang diperlukannya. Sayangnya, drama parpol vs perseorangan, rezim vs rakyat, kotor vs bersih, selingkuh vs setia inilah yang jauh lebih mudah dan lebih sering menghinggapi benak kebanyakan insan.

Namun, untuk poin terakhir saya ini, tak ada cara untuk menyampaikannya dengan sederhana. Udin dan Mamad, mungkin, yang paling penting harus ingat. Tak ada jalan pintas untuk keluar dari kisah masa silam yang kelam.

Deparpolisasi tak menjawab semua kegalauan.

 

*.Penulisa adalah Esais dan peneliti. Bergiat di Koperasi Riset Purusha

Recommended Posts