Kemacetan dan kesemrawutan lalu-lintas di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia menjadi pemandangan sehari-hari.
Di tengah masih buruknya infrastruktur transportasi yang disediakan oleh pemerintah, praktik berlalu-lintas di tengah masyarakat pun acapkali membuat kita miris.
Contoh sederhana saja, banyak di antara pengguna kendaraan tidak memahami adanya marka yellow box junction (YBJ), garis kuning melintang di persimpangan yang fungsinya untuk mencegah agar lalu-lintas tidak terkunci saat terjadi kepadatan di salah satu ruas jalan.
Biasanya saat lampu masih menyala merah, orang masih saja menerobos persimpangan.
“Padahal jika lampu masih hijau sekalipun, tetapi di depan sana arus lalu-lintas padat, pengendara harus berhenti di belakang garis YBJ,” ungkap Anton Bramana, pegiat komunitas Campur Sari Vespa Jakarta (CSVJ) pada acara Kafe Solidaritas yang diselenggarakan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Pondok Indah Mall Jakarta, Kamis (25/6/2015).
Bersama anggota komunitas Vespa se-Jakarta tersebut, Anton beberapa kali menggelar acara safety riding sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat tentang praktik berlalu-lintas yang baik.
“Kalau anak Vespa biasanya punya manner dan attitude yang lebih baik dalam berkendara,” tutur Anton membanggakan komunitasnya.
Persoalan culture atau mindset di tengah-tengah masyarakat memang tidak terhindarkan. Kalangan masyarakat menengah ke bawah biasanya kurang cukup terdidik tentang etika dan praktik berlalu-lintas.
Realitasnya memang kesemrawutan di antara kalangan pemotor tampak lebih mendominasi, seperti naik ke trotoar atau pedestrian yang jadi hak pejalan kaki, hingga maju melewati area pemberhentian motor di persimpangan lampu merah.
“Memang pernah waktu ada Vespa murah dari Vietnam, awal-awalnya perilaku pengendaranya juga buruk, disinyalir karena ada migrasi dari jenis-jenis sepeda motor yang kelas di bawahnya, tetapi sekarang sudah lebih membaik,” kata Anton mengakui.
Anton sendiri tidak muluk-muluk bisa mengedukasi ribuan pemotor yang tiap harinya menyesaki ibukota.
Yang penting perubahan mindset itu dimulai dari diri sendiri, demikian ungkap Anton yang hadir bersama komunitas lainnya seperti Piaggio Club Indonesia (PCI), Piaggio Lover (PL), dan Bogor Scooter.
Semangat yang menyatukan komunitas Vespa adalah brotherhood, atau bisa diterjemahkan sebagai “solidaritas”. Baik Vespa baru, dua tak, empat tak, Vespa antik, semua bersatu dalam semangat solidaritas. “Pernah saat kami touring dari Bandung ke Jakarta, malam-malam anggota komunitas kami mengalami kerusakan sparepart. Datang anak Vespa dari Cianjur, menawarkan sparepart mereka dipakai dulu, karena jarak yang kami tempuh masih jauh.
Ketika mau diganti di toko, mereka menolak,” kisah Anton menggambarkan eratnya solidaritas komunitasnya.
Dalam kondisi karut-marut situasi bangsa ini, yang tercerminkan dalam praktik berlalu-lintas sehari-hari, semangat yang ditularkan oleh Anton dan rekan-rekan dari komunitas Vespa adalah pelajaran berharga yang layak dipetik.
Paling tidak, kehadiran mereka di ruang publik saat menggelar touring merupakan bentuk-bentuk edukasi kepada publik yang lebih luas, selain menyelenggarakan agenda-agenda bakti sosial.
“Awal bulan Juni lalu kami mengadakan touring menuju Titik Nol Kilometer di Sabang Aceh, titik paling barat yang menandai keberadaan bangsa kita,” cerita Anton mengakhiri obrolan malam itu.
PSI memuji solidaritas komunitas vespa. “Semangat ini sejalan dengan semangat solidaritas PSI,” timpal Ketua Umum PSI, Grace Natalie.