Oleh Dedek Prayudi B.A., M.Sc
Pasca-2015, ada tiga laju besar dinamika kependudukan untuk dicatat dalam agenda nasional pembangunan berkelanjutan.
Pemuda memiliki peranan sangat sen tral dalam mewujudkan keberhasilan pembangunan ini. Pertama, jumlah penduduk akan terus meningkat dengan tingkat pertumbuhan yang terus menurun. Proyeksi Penduduk tahun 2010- 2035 (BPS, 2014) menunjukkan bahwa dari 2010 hingga 2035 jumlah penduduk Indonesia terus ber tambah dari 237 juta jiwa menjadi 305 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) yang menurun dari 1,49% pada 2010 menjadi 0,6% pada 2035. Kedua, Indonesia memasuki era bonus demografi atau surplus penduduk usia kerja yang pada hari ini mencapai hampir 70% dari seluruh penduduk.
Ketiga, terjadi pergeseran pola mobilitas penduduk dari perpindahan permanen dan jarak jauh menjadi nonpermanen dan berjarak dekat atau kerap disebut komuter. Tulisan ini akan membahas poin kedua, yaitu bonus demografi di Indonesia. Kenapa dan di mana letak pentingnya pemberdayaan pemuda? Kenapa disparitas regional harus diperhitungkan dalam perencanaan pembangunan?
Bonus Demografi
Semenjak 2015, Indonesia mengalami demographic dividend atau sering disebut bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada 2035. Bonus demografi adalah sebuah transisi demografi di mana terjadi ledakan penduduk usia kerja (dua penduduk usia kerja banding satu penduduk non-usia kerja/rasio ketergantungan 50 atau lebih kecil). Tidak setiap daerah sudah mengalami bonus demografi dan daerah-daerah yang mengalaminya pun berada di fase yang berbeda dan memiliki karakteristik serta kebutuhan yang berbeda-beda. Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Tenggara adalah provinsi-provinsi yang berada di fase pra-bonus demografi.
Karakter umum dari provinsi-provinsi ini adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rendah, angka kelahiran yang masih tinggi, dan pertumbuhan penduduk yang juga masih tinggi tinggi. Sebaliknya DKI Jakarta, Yogyakarta, Bali, dan Jawa Timur adalah provinsi-provinsi yang sudah memasuki fase pasca-bonus demografi. Provinsi- provinsi ini memiliki karakter umum proporsi penduduk usia kerja yang terus menurun, angka kelahiran rendah, dan IPM yang cenderung lebih tinggi dari provinsi lain di Indonesia. Bonus demografi adalah jendela peluang dan pintu malapetaka sekaligus.
Saat ini jumlah pemuda di Indonesia kurang lebih 60 jutaan atau sekitar 1 di antara 4 orang Indonesia adalah pemuda berusia antara 16 sampai 30 tahun. Jika Indonesia berhasil mempersiapkan para pemuda ini menjadi manusia produktif, ekonomi kita akan meroket pada puncak bonus demografi nanti. Jika Indonesia gagal, mereka akan menjadi motor atas kriminalitas yang tidak ter kendali, bahkan berpotensi menimbulkan social unrest dan radikalisme.
Para ilmuwan mencatat bahwa sepertiga dari keberhasilan ekonomi negara-negara Asia Timur seperti China dan Korea Selatan disebabkan keberhasilan mereka memetik bonus demografi. Proporsi pemuda yang besar ini tidak akan pernah terulang karena tren proporsi pemuda yang saat ini terus menurun, disebabkan turunnya angka kelahiran dan meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia.
Respons Kebijakan Bukan Business as Usual
Dalam merespons fenomena bonus demografi diperlukan paket pembangunan terintegrasi sebagai solusi menyiapkan SDM Indonesia dalam menyambut puncak bonus demografi yang berorientasi pada dua hal. Hal pertama adalah pembangunan pendidikan dan pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan ketenagakerjaan atau mismatch supply tenaga kerja dan demand kebutuhan industri yang berfokus pada tingkat kabupa ten/ kota.
International Labor Organisation (ILO) pada 2015 merilis bahwa lebih dari separuh penduduk Indonesia tidak bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikan/pelatihannya, baik itu secara tingkat maupun subjek pendidikan/pelatihan. Padahal produktivitas tenaga kerja sangat bergantung pada kecocokan antara keahlian pekerja dan tugas pekerjaan yang diberikan. Pemerintah pusat dan daerah harus mampu bersinergi untuk berperan sebagai mediator dan fasilitator antara industri/ UKM dan penyelenggara pendidikan/pelatihan, baik itu swasta maupun milik pemerintah, terutama di tingkat kabupaten/kota.
Ini dilakukan dalam rangka menyiapkan SDM produktif dan industri yang absorbtif. Hal kedua untuk dijadikan orientasi pembangunan adalah peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan dengan pengarusutamaan gender. Setengah dari penduduk Indonesia adalah perempuan yang jumlahnya akan mencapai 152 juta jiwa lebih pada 2035 nanti.
Hanya separuh dari seluruh perempuan Indonesia hari ini berpartisipasi pada angkatan kerja nasional. Untuk meningkatkan produktivitas perempuan berbasis hak dibutuhkan perundang-undangan dan kebijakan terintegrasi yang mengakomodasi kebutuhan perempuan dan ibu atau women and mother friendly pada sistem ketenagakerjaan yang diintegrasikan pada peraturan perpajakan, kesehatan, dan pendidikan seperti disediakannya childcare bersubsidi, insentif pajak bagi perempuan/ibu, pelatihan dan pendidikan ekonomi perempuan yang disesuaikan dengan potensi ekonomi daerah, penyediaan sarana dan prasarana menyusui pada lingkungan kerja dan kuota minimum pekerja perempuan pada setiap lembaga pemerintah.
Kesimpulannya, Indonesia tidak memiliki pilihan selain mengakomodasi tiga megatren kependudukan tersebut ke dalam agenda pembangunan nasional dan daerah di mana salah satunya adalah bonus demografi. Pemberdayaan dan partisipasi pemuda dan perempuan serta pengakomodasian disparitas regional adalah kunci untuk memastikan Indonesia dapat memaksimalkan potensi kependudukan dalam pembangunan ekonomi.
*) Penulis adalah Peneliti Kebijakan Kependudukan dan Ketenagakerjaan dan Bacaleg PSI.