TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tema perempuan dalam politik tidak pernah habisnya dibahas, mengingat persoalan sudah kompleks, ditambah dengan isu-isu kontemporer.
“Budaya patriarki menganggap laki-laki lebih punya privilese, tetapi kini adanya sistem kuota membuka ruang partisipasi bagi perempuan,” tutur Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (Sekjen PSI) Raja Juli Antoni dalam diskusi serial Pojok Tanah Abang Solidarity Lecture ke-2, Rabu (30/11/2016), di basecamp DPP PSI Jakarta Pusat.
Menurut Toni, PSI mempunyai keseriusan untuk mendorong partisipasi politik perempuan.
Di antaranya dengan menempatkan perempuan pada posisi-posisi penting partai. “Di DPP ada 9 orang pengurus, hanya 3 yang laki-laki, dan di seluruh tingkatan struktur keterwakilan perempuan di atas 40%,” lanjut Toni.
Bagi Lanny Octavia, peneliti isu gender dan politik, bias gender masih sangat kental. “Sudah ada kuota 30% perempuan, tetapi dipertanyakan kualitasnya, memangnya legislator laki-laki juga tidak korup,” tegas Lanny.
Di sisi lain, demokrasi yang berkembang saat ini di Indonesia masih sebatas prosedural, belum mencapai yang substantif.
Ironi tersebut diamini oleh Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem, mengingat demokrasi prosedural bisa berjalan tanpa hal-hal yang substansial.
Menurut Titi, perjuangan untuk kuota 30% perempuan berjalan sejak Pemilu 1999, tetapi terdapat hambatan baik dari sisi elektoral maupun non-elektoral.
“Riset Perludem menunjukkan terjadi pencomotan calon-calon perempuan oleh partai politik sekadar formalitas, bukan lewat kaderisasi yang baik,” ungkap Titi.
Dalam pasar bebas kampanye, perempuan dibiarkan berkompetisi tanpa ada intervensi maupun asistensi, tengara Titi.
“Selain belum lepas dari patriarki, ada pula keterputusan antara gerakan perempuan dengan legislator perempuan, tidak lagi dikawal dalam formulasi kebijakan politik,” kritik Titi terkait hambatan non-elektoral dalam partisipasi politik perempuan.
“Contoh menyedihkan, dalam kasus Pilkada Bone Bolango, calon perempuan dari jalur perseorang mengundurkan diri karena tidak mendapat izin dari suami, meskipun ada faktor kuat terkait kekerabatan politik,” lanjut Titi.
Untuk memperbaiki sistem pemilu, Titi mengusulkan pencalonan secara bottom up, perbaikan desain surat suara, dan subsidi biaya kampanye oleh Negara.
Bagi Mariana Amiruddin, anggota Komnas Perempuan, tujuan akhir dari affirmative action untuk perempuan adalah pengarusutamaan gender. “Kesadaran perempuan tentang kebangsaan sudah ada sejak 1920-an, bahkan sejak era kerajaan sudah ada ratu-ratu yang berkuasa,” demikian refleksi Mariana.
Affirmative action adalah salah satu bentuk revolusi yang lahir dari era reformasi, terang Mariana.
Lebih lanjut Mariana menyoroti menguatnya fundamentalisme agama yang mengancam isu-isu perempuan. “Isu-isu progresif mudah dibalikkan, apalagi dikendarai oleh pihak-pihak tertentu serta mudah mengambil hati masyarakat,” kata Mariana.
Secara umum Mariana menganggap persoalan gender harus dikaitkan dengan persoalan keadilan, dan pengakuan terhadap beragamnya identitas perempuan yang memungkinkan adanya kompetisi antar-individu.
Setelah berhasil lolos dalam proses verifikasi Kemenkumham, saat ini PSI juga tengah menyorot pembahasan RUU Pemilu di DPR.
“Kompetisi tetap penting agar perempuan dapat belajar politik dengan perempuan, tetapi perlu ada rekayasa pemilu dengan menerapkan reserved seats bagi perempuan,”saran Titi.
Titi juga mengkritik RUU Pemilu yang menghambat partai-partai baru untuk mengajukan calon presiden.
“Bisa saja PSI mengusung capres perempuan, banyak calon tidak masalah, nanti ada seleksi pada putaran kedua,” kata Titi. PSI tengah mendorong agar pembahasan RUU Pemilu tidak mencederai hak partai baru dan hanya menguntungkan partai-partai di Senayan.
sumber: http://www.tribunnews.com/nasional/2016/12/01/bahas-ruu-pemilu-psi-bisa-usung-capres-perempuan