Berdamai dengan Masa Lalu

Rubrik Opini – Koran Solidaritas Edisi III, September 2015

Mengingat, Melupakan dan Memaafkan

Oleh: Wahyudi Akmaliah (Peneliti PMB-LIPI dan Associate Researcher Maarif Institute)

Simbol Palu arit selalu menarik untuk di reproduksi. Demikian yang terjadi saat suasana Pilpres 2014 yang lalu. Media utama dan media sosial di Indonesia sempat diributkan oleh sebuah foto Anindya Kusuma Putri, puteri Indonesia 2015, kelahiran 3 Februari 1992, asal Semarang. Foto tersebut memperlihatkan Anindya sedang berpose dengan kaos berlambang Palu-Arit. Kaos dalam foto yang diunduhnya di Instagram tersebut adalah tanda persahabatan dengan temannya asal Vietnam, ketika Anindya mengikuti pertukaran pelajar sekitar pertengahan Juni 2014. Temannya itu tergabung dalam Association internationale des étudiants en sciences économiques et commerciales (AISEC) di Vietnam. Nindya melakukannya semata karena penghargaan kepada sahabatnya, yang juga mengenakan baju berlambang Garuda darinya.

Pertanyaannya, apa sebenarnya yang membuat kebanyakan orang Indonesia begitu marah, khususnya di media sosial, lambang Palu-Arit? Bila ditelusuri, kemarahan itu bukan suatu yang spontan, melainkan memiliki akar dan doktrin yang sangat awet. Sebagaimana diketahui, semasa rejim Orde Baru berkuasa kata komunis dan PKI adalah sepaket kata yang menjadi stigma yang terus dihidupkan sebagai satu-satunya biang persoalan di Indonesia. Doktrin ini kemudian dirituskan ke dalam tiga hal dan menjadi ingatan kolektif sebagaian besar masyarakat: upacara, film, dan kurikulum sekolah. Dibacakan dan diulang terus-menerus selama 32 tahun, hingga akhirnya menjadi kebenaran yang tunggal. “Komunis” menjadi penanda kosong yang setiap orang bisa mengisinya, baik itu mencela, mengejek, ataupun menjatuhkan orang/lawan politiknya.

Upaya membuka kembali peristiwa 1965-1966 menemukan momentumnya saat Abdurrahman Wahid (Gusdur) terpilih sebagai Presiden. Selain berupaya untuk meminta maaf kepada korban peristiwa 1965-1966, ia juga meminta kepada DPR agar TAP MPRS No. XXV/1966, tentang larangan paham Marxisme dan Leninisme dicabut. Draft UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sudah dibahas di MPR sejak tahun 2000, baru disahkan di bawah kepimpinan Presiden Megawati menjadi UU 2 tahun 2004. Sayangnya, UU KKR tersebut digugurkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) ketika SBY baru menjabat sebagai Presiden. MK berpendapat ada ketidaksesuaian yuridis antara UU KKR dengan Hukum Internasional terkait persoalan Amnesti. Kasus 65, kembali redup tanpa kejelasan.

Jokowi Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia yang ketujuh, tampaknya meneruskan semangat yang diwariskan oleh Gusdur: Jalan Rekonsiliasi. Dukungan rakyat yang besar kepada Jokowi, rasanya memang sangat tepat untuk memulai kembali jalur rekonsiliasi terhadap kasus masa lalu. Indonesia masih punya banyak pilihan. Setidaknya ada empat pola dalam proses penyelesaian masa lalu.

Pertama, tidak melupakan dan tidak memaafkan, yang berarti adili dan hukum (never to forget and never to forgive). Ini terjadi pada Jerman setelah runtuhnya pemerintahan Hitler dengan bantuan negara-negara sekutu. Kedua, tidak melupakan tetapi kemudian memaafkan, yang berarti adili dan kemudian ampuni (never to forget but to forgive). Di sini, Afrika Selatan menerapkan pola kedua dengan penekanan pada pendekatan disclossure melalui KKR. Ketiga, melupakan tetapi tidak pernah memaafkan, artinya, tidak ada pengadilan tetapi akan dikutuk selamanya (to forget but never to forgive). Ini terlihat pada cara masyarakat Eropa terkait dengan akusisi penganut ajaran Protestan di Eropa selama Abad Pertengahan. Keempat, melupakan dan memaafkan, yang berarti tidak ada pengadilan dan dilupakan begitu saja (to forget and to forgive). Ini terjadi pada negara Spanyol setelah jatuhnya rejim junta pemerintahan Franco (Daniel Sparingga,  2005).

Terlepas dari keempat pola tersebut, satu hal yang perlu ditekankan adalah “pemenuhan rasa keadilan” terhadap korban. Keadilan ini meliputi: pengungkapan kebenaran atas apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu dan juga bagian dari pembelajaran publik Indonesia lebih jauh dalam menatap ke depan. Yang tidak kalah pentingnya adalah “rehabilitasi” atau pemulihan nama baik terhadap nama-nama korban yang menerima stigma Orde Baru. Terakhir adalah “restitusi” sebagi bentuk kompensasi, baik materil ataupun non materil atas kerusakan yang dialami oleh korban dan keluarga korban.

Mungkin tanpa sengaja dan dengan cara berbeda, Anindya Kusuma Putri, generasi Indonesia yang sama sekali tidak memiliki kaitan langsung dengan persitiwa masa lalu itu, punya posisi sendiri. Generasi Anindya, sudah melipat kasus tersebut sebagai sebuah stock pengetahuan masa kini, tentang masa lalu. Meretas jalan pengungkapan masa lalu memang tidak mudah, tidak ubahnya seperti jalan terjal yang sangat yang membutuhkan kesiapan, kearifan dan kebajikan semua pihak.  Tapi bukankah itu harga yang harus dibayar semua bangsa untuk menarik garis pemisah yang tegas antara masa lalu dan masa yang akan datang.

 

Recommended Posts