Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengapresiasi DPR yang menyetujui usulan pemerintah soal perubahan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun dan akan dilanjutkan ke tingkat pengesahan.
“Tentunya kami mengapresiasi kesepakatan antara DPR dan pemerintah itu ya. Bagi kami di PSI, ini adalah kemenangan besar kaum perempuan dan anak, semoga segera disahkan menjadi UU. Kami akan terus kawal isu ini,” ujar Juru Bicara PSI, Dara Nasution, dalam keterangan tertulis, pada Jumat (13/09/2019) siang.
Rapat Kerja Badan Legislatif (Baleg) dan Panitia Kerja (Panja) DPR bersama pemerintah telah mencapai kata sepakat dalam pembahasan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Salah satu pasal yang direvisi adalah pasal 7 ayat 1.
Dengan demikian, batas usia minimal perkawinan bagi perempuan akan sama dengan laki-laki, yakni 19 tahun.
PSI memang sejak lama mengupayakan kenaikan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan. Pada 11 Desember 2018, Ketua Umum PSI Grace Natalie, mengangkat isu pernikahan anak dalam pidato politik akhir tahun di Surabaya dan secara khusus datang ke Mahkamah Konstitusi (MK), dua hari setelah pidato tersebut, untuk mendengarkan langsung putusan hakim terkait permohonan uji materi UU Perkawinan.
Di MK, Grace menyatakan UU Perkawinan bertentangan dengan UU Perlindungan Anak. Hal yang dipersoalkan adalah, UU Perkawinan membolehkan perempuan menikah di umur 16 tahun. Sementara UU Perlindungan Anak menyebut seorang perempuan dihitung sebagai anak hingga usia 18 tahun.
Jika pernikahan anak terus dibiarkan, Grace khawatir, akan banyak perempuan yang akan kehilangan hak untuk mengakses pendidikan dan rentan terhadap kekerasan. “Kalau terjadi pernikahan di umur 16 tahun maka ia akan kehilangan hak-haknya sebagai anak termasuk hak pendidikan, dilindungi dari kekerasan, sementara pernikahan di usia dini itu sangat berpotensi menimbulkan kekerasan rumah tangga,” kata Grace.
Perhatian PSI terhadap pernikahan anak bukan tanpa alasan. Data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) memperlihatkan 25 persen perempuan muda (usia antara 20 – 24 tahun) mengaku menikah sebelum usia 18 tahun. Realita ini menempatkan Indonesia sebagai Negara penyumbang angka pernikahan tertinggi di kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Dara berharap, DPR akan peka dengan RUU lain yang lebih mendesak, yakni RUU P-KS (Penghapusan Kekerasan Seksual). Mengutip aduan yang masuk ke LBH Apik Jakarta, terjadi peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan selama 3 tahun terakhir (2016 – 2018), dengan total aduan 128 kasus. Apalagi sejak tahun 2014, Komnas Perempuan menyatakan Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual.
“Semoga hati nurani anggota DPR terketuk untuk segera mengesahkan RUU P-KS. RUU ini sangat penting, Indonesia sudah masuk darurat kekerasan perempuan sejak 2014. Kami berharap ini jadi bahan pertimbangan,” tandas dia.