Partai Solidaritas Indonesia mengapresiasi terbitnya peraturan baru Menteri Agama (PMA) No. 73 tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan di Bawah Kementerian Agama. PMA ini mulai diundangkan pada 6 Oktober 2022 lalu. PSI menilai PMA ini sebagai langkah maju guna merealisasikan janji yang pernah disampaikan oleh Menteri Agama untuk melakukan investigasi menyeluruh pesantren pasca terungkapnya kasus kekerasan seksual terhadap belasan santriwati di Bandung.
“Peraturan Menteri Agama ini penting sebagai langkah awal penanggulangan dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan keagamaan. Kita tentu masih ingat janji Menteri Agama pasca kasus pemerkosaan belasan santriwati di Bandung oleh pimpinan pesantren Herry Wirawan. Kasus ini menghentak kita semua, bahwa kejadian yang demikian mengerikan bisa terjadi di lingkungan pendidikan keagamaan sekalipun, dan bukan hanya lembaga pendidikan Islam. Oleh karena itu peraturan ini penting sekali disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga terbangunlah kesadaran kolektif yang progresif tentang kekerasan seksual ini,” kata Juru Bicara DPP PSI, Mary Silvita, Jumat 21 Oktober 2022.
Mengutip dari laman Kementerian Agama, PMA No. 73 tahun 2022 ini memuat 20 pasal yang mengatur tentang definisi dan bentuk kekerasan seksual, mekanisme pencegahan, penanganan, pelaporan, pemantauan, evaluasi serta sanksi. Di mana setidaknya ada 16 bentuk perbuatan yang digolongkan sebagai kekerasan seksual, baik yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Termasuk juga di dalamnya ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender seseorang.
“Meskipun ruang lingkup PMA ini adalah satuan pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama, namun sosialisasi kepada masyarakat luas dan para orang tua penting dilakukan. Dengan demikian masyarakat dan orang tua turut teredukasi sehingga dapat ikut mengawasi. PMA ini tidak akan berjalan efektif tanpa sinergi dari semua pihak. Baik pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, penyelenggara pendidikan, tenaga pendidik, orang tua dan masyarakat. Harapan kita semua adalah jangan ada lagi kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan keagamaan,” ujar Mary.
Meningkatnya angka kekerasan seksual dari tahun ke tahun, maraknya predator seksual anak dan tingginya angka kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan harus segera ditanggulangi. Harus ada payung hukum yang defenitif berupa regulasi yang akan menjadi acuan dan pedoman bagi upaya memutus mata rantai kekerasan seksual di manapun, termasuk lembaga pendidikan keagamaan. Karena itu semua upaya yang mengarah ke sana harus didukung.
Mary menambahkan bahwa kemenag mungkin akan menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan PMA ini. Kebiasaan menormalisasi pelecehan seksual yang berbentuk candaan seksis dalam percakapan sehari-hari, catcalling, serta objektifikasi tubuh perempuan karena perspektif yang bias gender adalah di antaranya.
“Mengubah perspektif dan pola pikir yang berkeadilan gender bukanlah pekerjaan yang mudah dan pasti butuh waktu. Sedangkan perspektif yang berkeadilan gender adalah nafas dari PMA ini. Seseorang dapat menjadi pelaku kekerasan seksual antara lain karena tidak punya perspektif gender. Mereka melihat perempuan sebagai objek, yang lemah, sehingga boleh diperlakukan sesuai keinginan. Oleh karena itu edukasi yang berkelanjutan kepada masyarakat penting dilakukan selain penindakan tegas kepada pelaku, sehingga PMA ini dapat dijalankan secara efektif dan efisien.” pungkasnya.