Anzi Matta, Bikin Malu!

Editorial Koran Solidaritas Edisi III, September 2015

Tentang Merawat Ingatan dan Meraih Masa Depan

Salam Solidaritas,

Kamis sore, sudah 8 (delapan) tahun sejak 17 Januari 2007 barisan keluarga korban masih menuntut keadilan. Dengan simbol payung hitam, mereka berdiri menghadap Istana Merdeka, mempertanyakan kejelasan kasus mereka. Kejahatan atas Hak Asasi Manusia dari berbagai kasus. Kadang ada yang terlalu “sok tahu” dan nyinyir mengatakan ‘kok gak bisa Move On?’  atau dengan sok bijak mengatakan ‘Ikhlaskan yang sudah berlalu’  Wajar saja, mereka adalah anak yang lahir dari kandungan spiral keheningan yang memuja ketundukan dan kepatuhan.

Namun tentu tidak bagi keluarga korban, mereka sudah memaafkan, tapi ingin negara mengakui, berani mengakui kebenaran karena mereka sudah berani memaafkan. Aksi Kamisan mereka lakukan secara rutin, tidak lain dilakukan, agar praktek penggunaan kekerasan atau penyebaran teror tidak menjadi sebuah model kekuasaan yang diambil oleh kelompok-kelompok yang malas berpikir lalu menggunakan senjata sebagai alat mengatur masyarakat.

Tahun 2014, ditengah suasana Pilrpes, muncul sosok Anindya Kusuma Putri, Putri Indonesia 2015, mengunduh fotonya mengenakan kaos berwarna merah. Fotonya biasa, namun logo Palu Arit yang melekat pada kaos tersebut, membuatnya ramai dibicarakan orang. Pada perayaan hari kemerdekaan Indonesia ke-70 bulan Agustus lalu, media dihebohkan oleh lambang palu arit yang diarak oleh peserta pawai budaya di Madura. Pada saat yang sama muncul grafity dengan logo yang sama di Taman Mini Indonesia Indah.

Orang marah, makian di media sosial bertebaran, spanduk di jalanan dinaikkan, bahkan entah disengaja atau tidak, beberapa Panglima Kodam secara hampir bersamaan mengingatkan masyaralat akan “Bahaya Laten Komunis” sebuah doktrin ancaman yang tidak ditemukan lagi dalam dokumen Strategic Review negara-negara moderen. Komunis selain menjadi momok menakutkan, juga merupakan obat dari segala obat. Jika terjadi korupsi, jangan terlalu keras terhadap koruptor, karena musuh kita yang sebenarnya adalah komunisme.

Redaksi Koran Solidaritas lalu tertantang untuk mencari perpektif berbeda,  mencari sebuah narasi sejarah yang berkembang di kalangan generasi muda, yang tahun kelahirannya tidak punya hubungan dengan peristiwa masa lalu tersebut. Dalam pencarian muncul beberapa nama, namun tampaknya satu nama ini membuat Redaksi KS tidak  bisa Move On. Redaksi terkagum-kagum pada sosok gadis belia, kelahiran 3 Oktober 1996 ini.

Melihat Anzi Matta bagaikan melihat tiga masa sekaligus: masa lalu, masa kini dan masa depan. Anzi tentu hidup tidak manja, dia menguasai dunianya dengan baik. Membaca blog Anzi memberikan petunjuk bagaimana dirinya begitu menguasai topik-topik yang ditulisnya. Anzi bicara pada dunia dengan bahasa yang dimengerti generasinya.  Dalam salah satu tulisannya, Anzi bicara tentang ketegangan sosial yang terjadi di Rembang sampai Lapindo kepada apa yang disebutnya Kawan-kawan Maha OK.

Anzi tidak menghindar dari status sosialnya yang berkecukupan. Dia menyebut dirinya “kelas menengah Ngehe’ yang baik hati.” Anzi tidak asal menggunakan bahasa “sekedar Pop” tapi Anzi menguasai teori Pop Culture dan teori sosial lainnya. Dia  bicara tentang Jimmy Hendrix, Lacan hingga Sigmund Freud. Tentu sedikit anak seusia dia mampu mengunyah bacaan seperti itu. Anzi juga terlahir di masa digital, keahliannya menuangkan pikiran dan perasaanya ke dalam sebuah Illustrasi juga diatas rata-rata. Topik yang dipilihnya sangat istimewa: Perempuan, Seksualitas, Kekerasan dan berbagai persoalan diatas realitas sosial yang nyata terjadi.

Dengan tema “the Woman Build Heaven” karya Anzi dipamerkan di Maquinna Gallery Portugal, Maret 2014 lalu. Bulan Juli yang lalu, melalui ilustrasinya berjudul “Pride” Anzi didaulat sebagai pemenang dalam Kompetisi Re-inovasi Memori yang diselenggarakan oleh Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK). Anzi berkarya di jamannya, dia melihat-mendalami-mempelajari, lalu mentransformasikan masa lalu dengan cara yang kontemporer. Karenanya Anzi tentu tidak akan pernah takut akan masa depannya. Anzi adalah sosok ideal, anak muda Indonesia terbaik: berani merawat ingatan dengan cara yang benar, menjadi yang terbaik di jamannya, dan tidak pernah ragu menatap masa depan.

Anzi adalah kitab melawan lupa, sekaligus membuat malu. Apa yang dilakukan Anzi harusnya membuat pemimpin negeri ini malu, membuat orang yang lebih tua dari dirinya malu, membuat media massa malu, membuat partai-partai politik malu, membuat kita semua harusnya menjadi malu. Gadi belia itu menggali dan mencari kebenaran dengan caranya sendiri, dia mengekpresikan keberpihakan sosialnya dengan kemampuannya sendiri, bahkan dia dengan tenaga dan tangan sendiri menyebarkan kebajikan dan solidairtas ke berbagai persoalan sosial disekitarnya. Sungguh kita sebagai bangsa harus optimis, bersama kelahiran Anzi Indonesia akan selalu menemukan kebanggaannya sebagai bangsa yang berdaulatn dan berperikemanusiaan. Karena malu pada Anzi, Koran Solidaritas mencatatakan namanya dalam editorial Edisi September 2015.

 

Recommended Posts