Dampak psikologis korban pedofil bisa terus dirasakan dalam jangka panjang. Perilaku pedofilia tidak hanya menimbulkan trauma kepada sang anak sebagai korban, tapi juga pada orang-orang di sekitarnya.
“Dampak psikologis anak korban pedofil bisa terus dirasakan dalam jangka panjang hingga mereka dewasa. Yang juga sering kali dilupakan kebanyakan orang, setiap orang yang mencintai si anak ini mengalami secondary trauma, yang kadang-kadang lebih besar dari trauma yang dirasakan si anak itu sendiri,” kata seksolog klinis Zoya Amirin dalam diskusi online “Awas Pedofil!” yang digelar DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Jumat 8 Oktober 2021.
Zoya pun menyebut anak korban pedofil berpotensi menjadi pedofil di kemudian hari jika tidak mendapat bimbingan psikologi dan mental yang tepat.
“Setiap anak korban pedofil yang tidak mendapatkan konseling psikologi dan rehabilitasi mental yang layak, menurut penelitian, memiliki kecenderungan 30 persen untuk juga menjadi pelaku,” lanjut Zoya.
Namun masalahnya, kata Zoya, orang-orang seperti dirinya kerap menemui kendala saat akan memberi bimbingan dan konseling kepada anak korban kekerasan karena ketiadaan payung hukum.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) yang didesain agar korban kekerasan seksual terpenuhi hak-haknya pun justru tak kunjung disahkan oleh DPR RI.
“Susah juga sih, karena sebenarnya di lapangan, saya banyak kepentok di payung hukum. Jadi dengan belum adanya rencana pengesahan RUU P-KS cukup membuat saya frustrasi,,” sesal dia.
Diskusi yang dimoderatori Koordinator Juru Bicara PSI, Kokok Dirgantoro, juga menghadirkan Koordinator Komite Solidaritas Pelindung Perempuan dan Anak PSI (KSPPA PSI), Karen Pooroe. Ia menceritakan pengalaman KSPPA ketika mendampingi anak yang menjadi korban pedofil oleh tetangganya beberapa waktu lalu.
Dari pengalaman itu dia beranggapan, proses hukum untuk kasus kekerasan seksual berjalan sangat lambat dibandingkan kasus-kasus lain. Belum lagi para korban dihadapkan pada prosedur birokrasi yang memakan waktu dan biaya, sementara korbannya banyak berasal dari kalangan kurang mampu.
“Menurut saya, proses hukum kita terlalu ribet, terlebih lagi korban harus bolak-balik ke P2TP2A yang jauh dari rumahnya. Untuk makan saja susah kok, apalagi harus bolak-balik keluar ongkos,” tegas penyintas KDRT itu.
Menyoal apa langkah tepat untuk mencegah praktik kekerasan seksual, Karen menyebut edukasi kepada masyarakat harus terus dilakukan dalam skala yang lebih masif dan intens lagi.
“Edukasi untuk ke masyarakat harus semakin banyak. Aktivis-aktivis perempuan dan orang-orang yang punya kepedulian terhadap anak perlu membuat lebih banyak penyuluhan-penyuluhan, supaya masyarakat mengerti bahwa ini extraordinary crime (kejahatan luar biasa), ini tidak bisa dibiarkan,” pungkas jebolan kontes Indonesia Idol tersebut.
Sementara, psikolog dan konselor, Nona Pooroe Utomo, mengingatkan pedofilia merupakan penyakit yang susah disembuhkan.
“Apakah pedofilia itu penyakit? Ya. Jadi ada yang namanya DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, fifth edition) yang disebut pedophilic disorder. Sejumlah studi dan fakta di lapangan memperlihatkan bahwa sangat sulit menyembuhkan pedofil. Umumnya, para pengidap penyimpangan seksual itu juga menolak melakukan upaya penyembuhan,” kata Nona.
Lebih jauh Nona menambahkan, individu dengan masalah tertentu berpotensi menjadi pedofil. Di antaranya, adalah perilaku anti-sosial. Seorang pedofil, menurutnya, cenderung menutup diri dari lingkungannya.
“Selalu ada korelasi yang besar antara seorang pedofil dan perilaku anti-sosial. Jadi orang-orang yang memiliki perilaku anti-sosial itu punya kecenderungan untuk terlibat dalam perilaku seksual dengan anak, karena punya kecenderungan perilaku seksual yang cukup ekstrem,” ucap lulusan London Guindhall University dan Harvard University Graduate School of Education itu.
Hal selanjutnya yang menyebabkan penyimpangan perilaku seksual pedofilia pada seseorang adalah riwayat kekerasan seksual atau pernah menjadi korban kekerasan seksual di masa anak-anak. Sehingga di usia dewasanya, mereka berisiko tinggi menjadi pedofil. Ketiga, pedofilia yang disebabkan oleh faktor biologis, atau adanya gangguan pertumbuhan saraf saat anak dalam kandungan.
Kendati susah disembuhkan, penyimpangan perilaku seksual seperti pedofilia dapat dicegah. Caranya, dengan memberikan pendidikan seksual kepada anak dan praremaja.
“Saya prihatin terhadap pendidikan seksual yang tidak dilakukan dengan baik di sistem pendidikan kita, karena sering kali pendidikan seksual itu dianggap sebagai sesuatu yang tabu karena dipikir pendidikan seksual itu berarti mengajarkan anak-anak untuk melakukan perilaku seksual, bukan itu sebetulnya,” tambah Nona.